Oleh: Neni Nurlaelasari
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan utama yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam (Khil4f4h) akan menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas secara merata di seluruh wilayah sehingga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat.
CemerlangMedia.Com — Pendidikan menjadi gerbang utama dalam mencetak generasi penerus bangsa dan negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas. Demi mewujudkan pendidikan yang berkualitas, maka sistem dalam penerimaan siswa baru menjadi salah satu poin penting. Sistem yang diadopsi di Indonesia adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi. Namun, PPDB zonasi yang sudah berjalan selama beberapa tahun terakhir diwacanakan untuk dihapus.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti diminta untuk menghapus sistem zonasi oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Gibran beralasan bahwa tidak semua wilayah cocok menerapkan sistem zonasi (CNNIndonesia.com, 23-11-2024).
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais menilai sistem zonasi bisa mendorong pemerataan fasilitas dan kualitas pendidikan. Selain itu, PPDB zonasi dinilai mampu menghapuskan fenomena sekolah favorit sehingga ketimpangan kualitas pendidikan bisa diminimalisasi (Detik.com, 25-11-2024).
Lika-liku Penerapan Zonasi
PPDB sistem zonasi mulai diterapkan pada 2017 lalu. Permendikbud 17/2017 yang diperbaharui menjadi Permendikbud 14/2018 merupakan kebijakan untuk mengatur PPDB zonasi. Aturan ini dibuat oleh Mendikbud Muhadjir Effendy yang bertugas selaku menteri pendidikan pada masa itu. Tujuan penerapan sistem zonasi ini agar meringankan biaya transportasi dengan cara mendekatkan siswa ke sekolah terdekat.
Selain itu, melalui penerapan sistem zonasi diharapkan terjadi pemerataan antara populasi siswa dengan tenaga pengajar. Namun, berbagai permasalahan muncul saat pelaksanaan PPDB zonasi, seperti kurangnya sosialisasi dan ketidakseimbangan kuota penerimaan dengan jumlah calon siswa.
Menanggapi permasalahan yang muncul, Kemendikbud kemudian membentuk tim satgas pada Juli 2019 untuk implementasi pelaksanaan zonasi di tingkat daerah. Sementara itu, pada masa kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, kecurangan pelaksanaan PPDB zonasi masih terus terjadi. Salah satunya berupa kecurangan perpindahan domisili atau menumpang KK yang jaraknya dekat dengan sekolah favorit.
Akar Permasalahan Pendidikan
Jika kita cermati, permasalahan yang muncul pada proses PPDB zonasi sejatinya bukanlah permasalahan teknis semata. Akar permasalahan dunia pendidikan disebabkan tidak meratanya fasilitas dan kualitas pendidikan yang ada. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan yang layak bagi rakyat. Beberapa faktor yang memengaruhi buruknya kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu minimnya anggaran untuk sektor pendidikan, minimnya kesejahteraan guru, perubahan kurikulum pendidikan, hingga kapitalisasi bidang pendidikan.
Minimnya anggaran untuk sektor pendidikan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang ada. Akibatnya, tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang memadai untuk proses belajar mengajar. Ketimpangan fasilitas yang terjadi antar sekolah, membuat masyarakat berlomba untuk mendapatkan sekolah dengan fasilitas lengkap. Hal ini menjadi salah satu penyebab disematkannya gelar sekolah favorit yang dibidik oleh para siswa.
Di sisi lain, minimnya kesejahteraan guru ikut memengaruhi kualitas pendidikan, seperti kecilnya gaji guru honorer. Akibatnya, guru tidak bisa sepenuhnya fokus dalam mendidik para siswa. Ini terjadi lantaran guru honorer terpaksa mengambil pekerjaan lain di luar sekolah demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Selain itu, perubahan kurikulum pendidikan yang sering terjadi turut andil memengaruhi kualitas pendidikan. Akibatnya, tidak hanya para siswa yang kesulitan beradaptasi dengan kurikulum yang ada, tetapi para guru pun sering kali mengalami kesulitan untuk menerapkan atau mencapai target dari kurikulum yang sering berubah.
Sementara itu, kapitalisasi di bidang pendidikan menjadi celah terjadinya ketimpangan kualitas pendidikan yang ada. Ini terjadi akibat negara setengah hati dalam mendukung dunia pendidikan. Hal ini terlihat dari masih tertinggalnya kualitas sekolah yang disediakan negara dibandingkan dengan kualitas sekolah-sekolah swasta.
Istilah “ada uang ada barang” seolah tak terhindarkan dari sektor pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan yang diterima siswa tergantung pada kemampuan orang tua dalam membayar biaya pendidikan. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat yang berpenghasilan minim berlomba-lomba masuk sekolah negeri hanya demi mendapatkan pendidikan.
Permasalahan pendidikan yang terjadi disebabkan penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem yang memberi karpet merah bagi swasta maupun asing untuk menguasai sumber daya alam membuat negara kehilangan sumber pemasukan. SDA yang seharusnya bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat, termasuk memberikan pendidikan yang berkualitas, nyatanya diberikan kepada swasta maupun asing dengan dalih investasi. Akibatnya, negara tidak mempunyai cukup dana untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi rakyat.
Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme membuat negara memandang bahwa posisinya dalam sektor pendidikan sebatas fasilitator atau penyedia jasa, bukan sebagai pelayan rakyat. Oleh karena itu, tidak heran jika negara masih membiarkan banyaknya guru honorer yang jauh dari kesejahteraan hingga terjadinya kapitalisasi di bidang pendidikan. Bahkan, negara pun seakan menutup mata terhadap berbagai pungutan yang masih terjadi di sekolah-sekolah negeri.
Mirisnya, penerapan sistem sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) menjadi landasan utama dalam kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Akibatnya, kurikulum pendidikan yang ada tidak mempunyai visi yang jelas dalam mendidik generasi penerus.
Orientasi siswa dalam pendidikan pun hanya sebatas mendapatkan ijazah untuk bekal melamar pekerjaan. Alhasil, pergantian kurikulum pendidikan tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas para siswa. Selain itu, sekularisme pun menjadi penyebab terjadinya kerusakan akhlak para peserta didik, seperti maraknya bullying, kecanduan pornografi, tawuran, dan berbagai kerusakan lainnya.
Pendidikan Terbaik dalam Sistem Islam
Dalam Islam, pendidikan merupakan kebutuhan utama yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam (Khil4f4h) akan menyediakan fasilitas pendidikan yang berkualitas secara merata di seluruh wilayah sehingga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Selain itu, kurikulum pendidikan pun disusun berlandaskan akidah Islam sehingga sektor pendidikan mampu mencetak generasi penerus yang berkualitas, beriman, dan memiliki kepribadian Islam.
Di sisi lain, negara akan memberikan kesejahteraan kepada para guru agar mereka hanya fokus untuk mendidik para siswa. Sebagai contoh, masa kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid yang memberikan gaji guru rata-rata mencapai 2.000 dinar atau setara Rp12,75 miliar per tahun. Sementara itu, gaji untuk ahli fikih dan periwayat hadis mencapai 4.000 dinar atau setara Rp25,5 miliar per tahun.
Negara tidak mengalami kesulitan untuk menyejahterakan guru dan menjamin pendidikan yang berkualitas bagi rakyat. Hal ini lantaran negara memiliki banyak sumber pemasukan, seperti hasil pengelolaan SDA, zakat, jizyah, ganimah, fa’i, kharaj, dan sumber lainnya. Inilah bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
“Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, sudah saatnya kita menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah) agar permasalahan di bidang pendidikan bisa diatasi secara tuntas. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]