Oleh: Purwanti
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Indonesia adalah salah satu negeri agraris di Asia Tenggara. Sebagian besar penduduknya menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Semestinya penduduk Indonesia, khususnya para petaninya hidup makmur.
Namun, fakta berkata lain, kehidupan para petani jauh dari kata makmur. Bahkan terkadang mereka harus menutupi kebutuhan sehari-harinya dengan mengutang karena hasil panennya jauh dari kata cukup.
Ditambah lagi pupuk yang menjadi produk paling diperlukan bagi para petani setiap tahun mengalami kenaikan. Walaupun ada pupuk bersubsidi, tetapi harganya mahal dan ketersediannya pun terbatas. Bahkan pada peraturan mentan terbaru, produk pupuk bersubsidi hanya diperuntukkan untuk para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) (Ekonomi.Republika.co.id, 21-02-2023).
Bukan Langka, tetapi Terbatas
Kelangkaan pupuk bersubsidi makin menambah beban petani. Pasalnya, di tengah mahalnya harga pupuk di pasaran, pupuk bersubsidi menjadi pilihan. Namun, sayang, ketersediaannya terbatas.
Menyadur pernyataan dari SVO PSO wilayah Barat PT. Pupuk Indonesia Agus Susanto mengungkap bahwa kebutuhan pupuk subsidi secara nasional adalah 25 juta ton, tetapi pemerintah mengalokasikan hanya sekita 9,1 juta ton (cnnindonesia.com, 22-12-2022). Bahkan subsidi untuk 2023 mengalami penurunan hanya 8 ton saja. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan dari Mentan Syahrul Yasin Limpo bahwa kemampuan keuangan negara hanya mampu memenuhi 8 ton pupuk bersubsidi.
Keterbatasan produksi pupuk bersubsidi oleh PT. Pupuk Indonesia berdampak kepada kriteria penerima bantuan pupuk bersubsidi. Sesuai dengan Permentan no. 10/2022, syarat untuk mendapatkan pupuk bersubsidi adalah wajib tergabung dalam kelompok tani, tergabung dalam program Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian (SIMHULTAN) dan menggarap lahan 2 ha.
Tak hanya itu, penyaluran pupuk bersubsidi dipusatkan untuk petani yang menanam 9 komoditas pangan berikut, yakni padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu, dan kakao. Padahal sebelumnya ada 72 komoditas pertanian yang ditanam oleh petani yang berhak mendapatkan subsidi pupuk (Cnbcindonesia.com, 13-03-2023).
Mengubah Metode Penyaluran
PT. Pupuk Indonesia (Persero) sebagai perusahaan yang didaulat oleh pemerintah untuk memproduksi dan mendistribusikan pupuk bersubsidi telah memastikan bahwa pendistribusian pupuk bersubsidi berjalan dengan baik. PT. Pupuk Indonesia menyediakan armada baik laut dan darat demi mencukupi kebutuhan pupuk di tingkat distributor dan kios-kios resmi. Penyaluran subsidi pupuk yang dilakukan oleh PT Pupuk Indonesia terbilang lancar, tetapi mengapa para petani masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi?
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah bersama PT. Pupuk Indonesia merancang sebuah sistem penyaluran baru, yakni bantuan langsung yang akan disalurkan pada rekening perbankan dan dompet digital yang dimiliki petani. Hal tersebut diamini oleh Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja, tetapi menurutnya, sistem bantuan langsung tersebut membutuhkan data yang akurat. “Jika ingin memasukkan indikator kemiskinan, petani harus memperhatikan karakteristik setiap daerah,” tambahnya.
Nasib petani Indonesia seperti makan buah simalakama. Apakah mereka akan melanjutkan menanam komoditas tertentu dengan risiko menambah modal ataukah mereka berganti profesi?
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani. Namun, dengan langka dan mahalnya harga pupuk, tak sedikit dari petani menjual lahan mereka demi kelangsungan hidup mereka.
Kelangkaan pupuk bersubsidi di pasaran terjadi bukan hanya karena terbatasnya produk yang dihasilkan PT. Pupuk Indonesia. Namun, diduga ada permainan harga atau penimbunan barang oleh distributor. Sebagaimana konsep supply dan demand. Harga satu produk akan naik jika demand (permintaan) meningkat sedangkan pasokan terbatas. Namun, harga produk akan turun pasokan (supply) barang banyak, tetapi demand menurun.
Di alam kapitalisme, mematok harga adalah wajar untuk memastikan ketersediaan barang. Oleh karena itu, ketika jumlah barang terbatas, maka para pemilik modal akan mengambil kesempatan emas untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Islam Punya Solusi
Islam sebagai sebuah din yang memancarkan aturan kehidupan memiliki aturan tersendiri terkait mematok harga. Allah Swt. dengan tegas melarang negara mematok harga dan memaksakan rakyat untuk bertransaksi dengan harga tersebut. Sebagaimana Rasulullah saw. menolak permintaan sahabat untuk mematok harga suatu barang. Jika seorang penguasa melakukan hal tersebut, maka ia telah melakukan keharaman dan berdosa di sisi Allah Swt..
Sedangkan untuk penimbun barang, maka ia dikatakan sebagai pendosa karena menyusahkan orang lain. Rasulullah saw. pernah bersabda melalui lisan Ma’mar bin Abdullah bahwa, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan kecuali dia pendosa.” (HR Muslim).
Negara sebagai pihak yang menerapkan aturan Islam akan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan penimbunan barang. Para pelaku penimbunan barang akan dijatuhi sanksi ta’zir, yaitu mereka harus menjual barang yang ditimbun ke masyarakat dengan harga pasar.
Namun, jika kelangkaan barang terjadi karena kenaikan harga, maka negara harus melakukan tindakan pencegahan dengan membangun gudang pupuk terdekat dengan wilayah pertanian yang bersangkutan dan juga melakukan tindakan pertolongan dengan mengambil barang dari gudang pupuk di daerah yang terdekat agar kebutuhan pupuk petani tercukupi.
Hikmah
Ini cerminan kegagalan sistem kapitalisme dalam mengurusi rakyatnya. Mereka hanya memikirkan para pemilik modal sedangkan rakyatnya diabaikan. Padahal rakyat adalah amanah dan pengabaian atas hak mereka adalah sebuah tindakan pengkhianatan. Maka kelangkaan pupuk bersubsidi dan penanganan yang kurang serius merupakan pengabaian atas hak para petani karena petani berhak mendapatkan pupuk dengan kualitas terbaik agar mereka menghasilkan tanaman yang berkualitas pula. Alhasil, ekonomi petani bisa membaik. Wallahu a’lam. [CM/NA]