Oleh: Sari Chanifatun
Islam terbukti memiliki sistem yang mampu mengurusi masyarakat secara adil dan menyejahterakan. Ada Majelis Umat yang secara syar’i ditetapkan berdasar perilaku Rasulullah saw. dan diikuti oleh Khulafaur Rasyidin. Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dalam wilayahnya sebagai representasi umat.
CemerlangMedia.Com — Selasa (1-10-2024), bertempat di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, resmi dilantik 580 anggota DPR RI terpilih periode 2024—2029. Ratusan anggota diharapkan masih dapat berpihak dan mewakili kepentingan rakyat untuk kurun waktu lima tahun mendatang. Namun, hasil riset Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), ditemukan sejumlah anggota terpilih terindikasi dengan dinasti politik (tirto.id, 2-10-2024).
Anggota DPR adalah anggota partai politik yang dipilih melalui pemilihan umum yang berfungsi mewakilkan dan menyuarakan aspirasi rakyat dalam sebuah lembaga negara berdasar konstitusi Republik Indonesia. Selain berjuang untuk kepentingan rakyat, anggota dalam DPR berfungsi dalam membuat kebijakan berupa undang-undang. Mereka memiliki hak mengajukan, membahas, mengubah, dan mengesahkan undang-undang.
Idealnya, para wakil rakyat mampu menjalankan kerangka representasi untuk rakyat. Tugas mereka dalam lembaga tidak boleh dipasung oleh sebuah kepentingan elite politik dan kekuasaan eksekutif, apalagi demi meraup keuntungan pribadi dan keluarga.
Realita hari ini, banyak anggota terpilih memiliki hubungan antara satu dengan yang lain sehingga rawan konflik kepentingan. Dinasti politik telah mencengkeram, kekuasaan hanya dikuasai sekelompok oligarki. Bisa dikatakan tidak ada oposisi, bahkan semua menjadi koalisi. Siapa yang berpihak kepada rakyat jika semua berada dalam satu barisan membela kepentingan oligarki?
Kerusakan Individu yang Sistemik
Dari tiap periode pergantian kepemimpinan juga anggota dewan, telah tampak kerusakan birokrasi dalam demokrasi. Dinasti politik dianggap cara efektif dan efisien untuk mencapai sebuah kekuasaan. Manufer politik dilakukan oligarki guna melanggengkan kekuasaan untuk tercapainya tujuan mereka, meraup kepentingan dan fasilitas yang diberikan, bukan semata kepentingan rakyat.
Dalam konsepnya, Jeffrey A. Winters, seorang Guru Besar Ilmu Politik Northwestern University, Amerika mendefinisikan oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan. Oligarki bercirikan, terlibat langsung pada pemerintahan atau kekuasaan yang memaksakan hak kekayaan dan harta.
Oligarki dalam parpol jelas merusak struktur dalam praktik demokrasi, memanfaatkan relasi kekerabatan guna mencapai kekuasaan dalam meraih kepentingan. Analis politik Dedi Kurnia Syah dari Indonesia Political Opinion (IPO) menyampaikan bahwa cara parpol mengambil langkah menjadi anggota dewan seperti itu merupakan cara yang buruk dan harusnya ditindak.
Rusaknya cara berpikir dan bertindak, baik itu individu maupun kelompok, tidak lain muncul akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh paradigma yang menaunginya. Paradigma sekularisme dalam demokrasi, yakni hukum yang diciptakan untuk mengurusi kemaslahatan masyarakatnya tidak boleh terikat pada hukum Tuhannya.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik UMJ, Dr. Luci Andriyani, M.Si. menjelaskan, konteks dinasti politik adalah praktik yang tidak sehat untuk demokrasi itu sendiri. Politik yang sengaja mengutamakan kepentingan kelompoknya, merekonstruksi atau memaksakan keluarga untuk ditempatkan dalam kekuasaan tertentu, menutup peluang bagi orang lain untuk kompetensi, dan orang di luar dinasti tidak punya pontensi atau tidak ada kesempatan duduk di kursi pemerintahan.
Anggota DPR dipilih bukan karena kemampuannya, tetapi karena kekayaan atau jabatan dengan mekanisme politik transaksional. Lantas, adakah sistem negara yang benar-benar mengurusi rakyatnya secara adil?
Sistem Islam Adil Mengurusi Seluruh Rakyatnya
Berbeda dengan sistem demokrasi saat ini, Islam terbukti memiliki sistem yang mampu mengurusi masyarakat secara adil dan menyejahterakan. Ada Majelis Umat yang secara syar’i ditetapkan berdasar perilaku Rasulullah saw. dan pada masa Khulafaur Rasyidin. Anggotanya dipilih langsung oleh umat dalam wilayahnya sebagai representasi umat.
Aktivitas Rasulullah saw. sering meminta pendapat (musyawarah) dari kaum Muhajirin dan Anshar untuk mewakili kaum di wilayah mereka. Keduanya mendapat perlakuan khusus dari Rasul saw. dalam bermusyawarah, dibanding kepada para sahabatnya, seperti Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah, dan lainnya.
Diriwayatkan dari Ali ra. bahwa, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tak seorang pun nabi sebelum aku kecuali diberi tujuh pemimpin (kaum), pembantu yang mulia. Aku telah diberi empat belas pembantu, pemimpin yang mulia, tujuh dari Quraisy dan tujuh dari Muhajirin.” (HR Imam Ahmad).
Bukti bahwa keadilan ditegakkan oleh Rasul saw. untuk seluruh umat tidak hanya seputar kepentingan wilayah sahabat-sahabat terdekatnya saja. Begitu juga kala kepemimpinan Abu Bakar radhiallahu’anhu, ia memperlakukan kaum Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dan menjadi rujukan dalam urusan-urusan tertentu. Namun demikian, hingga kekhalifahan berikutnya berlangsung, majelis ini tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan dan hukum. Kedaulatan hukum mutlak milik Allah Swt..
Anggota Majelis Umat tidak hanya kaum muslim, nonmuslim yang menjadi warga daulah boleh menjadi anggota dalam majelis. Mereka hanya sebatas menyampaikan pengaduan soal kezaliman penguasa atau praktik penyimpangan penerapan hukum syariat yang berlaku kepada mereka (nonmuslim).
Orang kafir tidak memiliki hak untuk melakukan kontrol dan koreksi (muhâsabah) terhadap kebijakan-kebijakan negara yang tegak di atas syariat Islam. Mereka tidak memiliki hak dan tidak terlibat dalam musyawarah urusan-urusan negara dan masyarakat.
Sementara kaum muslim memiliki hak dalam musyawarah dengan khalifah sehingga mereka juga berkewajiban mengontrol dan mengoreksi tugas dan kebijakan para penguasa (muhasabah al-hukkam). Imam Muslim menuturkan dalam riwayat dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Nanti akan ada para pemimpin. Kalian mengakui kemakrufan mereka dan mengingkari kemungkaran perbuatan mereka. Siapa yang mengakui kemakrufan mereka akan terbebas dan siapa yang mengingkari kemungkaran mereka akan selamat. Akan tetapi, yang rida dan mengikuti kemungkaran mereka, itulah yang celaka.” Para sahabat bertanya, “Apakah kita perangi saja pemimpin seperti itu?” Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih salat.”
Kata salat dalam hadis ini adalah kiasan (kinayah) dari aktivitas memutuskan perkara dalam pemerintahan. Demikian pula dalam praktik kolusi, sistem Islam yang disebut Khil4f4h mampu mengatasi dengan empat cara.
Pertama, memiliki sistem penggajian yang layak. Para anggota majelis adalah insan yang mempunyai kebutuhan hidup. Oleh karenanya, daulah akan memberi gaji yang cukup dan tunjangan hidup lainnya.
Kedua, haram merima suap atas jasa terkait suatu kepentingan, Rasul bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud).
Ketiga, untuk menghindari perbuatan curang, dilakukan penghitungan atas kekayaan, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar kepada seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara. Kemudian menghitung ulang di akhir jabatan.
Keempat, hukuman yang setimpal bagi pelaku tindak korupsi dan kolusi termasuk jarimah (kejahatan) yang akan terkena takzir. Bentuknya bisa berupa hukum tasyhir, yaitu berita atas diri koruptor. Dahulu diarak keliling kota. Saat ini bisa lewat media massa. Selain itu, ada hukum kurungan dan hukuman mati apabila korupsi dalam jumlah besar. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]
One thought on “Wakil Rakyat, Benarkah Berpihak untuk Rakyat?”
❤️❤️❤️