“Persoalan food waste bukan hanya masalah individu, tetapi juga masyarakat umum sehingga butuh perhatian dari negara. Negara harus bertanggung jawab, mulai dari pendistribusian hingga masalah perizinan para pengusaha dalam membuat produk.”
CemerlangMedia.Com — Sungguh miris! Di tengah banyaknya masyarakat yang kelaparan dan kekurangan gizi, justru ditemukan fakta yang mencengangkan, yakni Indonesia sebagai negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia, sebagaimana yang dipaparkan Komunitas Indonesian Gastronomy Community (IGC).
Ya, Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar nomor dua di dunia dengan jumlah 20,93 juta ton setiap tahun. Artinya, negara mengalami potensi kerugian hingga 219 triliun rupiah per tahun. Dari data yang diperoleh, kontributor penyumbang sampah makanan terbesar, yaitu dari sektor restoran, kemudian industri pangan, perhotelan, dan rumah tangga (20-6-2024).
Tidak hanya itu, food waste (makanan olahan yang sudah siap dikonsumsi dan memenuhi gizi yang seimbang, tetapi terbuang begitu saja) menjadi ancaman yang sangat nyata bagi keberlangsungan lingkungan hidup. Ketika sampah makanan mulai membusuk, akan menghasilkan gas metana yang dapat membentuk gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Banyaknya sampah dan gas metana yang bertumpuk juga dapat memicu terjadinya bencana ledakan sampah.
Tidak dimungkiri, Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam melimpah, mulai dari sayuran, buah-buahan, rempah-rempah, aneka ragam makanan lokal Indonesia. Hal ini menjadi salah satu kelebihan yang seharusnya patut disyukuri. Meskipun aneka ragam pangan di Indonesia mudah didapatkan, tetapi perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar bijak dalam mengonsumsinya.
Penduduk Indonesia mayoritas muslim, tetapi mengapa sampai bisa menjadi penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia? Sungguh miris, padahal dalam Islam diajarkan untuk tidak berlebih-lebihan. Menghabiskan makanan dan menjauhi perilaku mubazir merupakan sunah Rasulullah saw..
Bila ditelusuri, hal ini ternyata tidak lepas dari gaya hidup masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif, seperti senang berburu promo dan mudah latah mengikuti tren kekinian. Bisa dilihat, salah satu contohnya ketika makan di restoran, betapa banyak sisa makanan yang tidak habis karena mungkin awalnya ingin mencoba rasa baru, tetapi tidak suka dan akhirnya terbuang menjadi sampah.
Sangat jauh dari akhlak seorang muslim. Gaya hidup konsumtif ini tidak lepas dari sistem kehidupan yang mengatur masyarakat, yakni sekularisme. Sistem ini menjauhkan Islam dari kehidupan, sedangkan masyarakat diatur oleh aturan sendiri yang menjadikan hawa nafsu sebagai kepemimpinan berpikirnya.
Nyatanya, sampah makanan di Indonesia tidak hanya terjadi pada tingkat konsumsi saja, tetapi dimulai dari tingkat distribusi. Dalam tingkat distribusi, sampah makanan berasal dari produk makanan yang sudah ekspired dari pasar tradisional atau supermarket, sedangkan dalam tingkat konsumsi, sampah makanan berasal dari individu yang tidak menghabiskan makanan.
Persoalan food waste bukan hanya masalah individu, tetapi juga masyarakat umum sehingga butuh perhatian dari negara. Negara harus bertanggung jawab, mulai dari pendistribusian hingga masalah perizinan para pengusaha dalam membuat produk.
Banyak perusahaan makanan yang melakukan inovasi dengan meluncurkan beraneka macam jenis varian baru, tetapi akhirnya tidak laku di pasaran, lalu kedaluwarsa sehingga harus dibuang. Belum lagi penimbunan beras dan bahan pokok, mengakibatkannya busuk sehingga tidak bisa dikonsumsi. Sementara masih banyak sekali warga Indonesia yang kelaparan, stunting, dan kurang gizi.
Permasalahan sampah ini sudah cukup lama dan sulit diatasi, jargon seperti ‘habiskan isi piringmu’ tidak cukup mengatasi masalah ini. Masalah sampah erat pula kaitannya dengan kesadaran individu sehingga harus diorganisir oleh negara.
Oleh karena itu, Islam memiliki solusi yang hakiki, setidaknya ada 2 faktor yang bisa dioptimalkan.
Pertama, kepribadian individu masyarakatnya. Sistem Islam akan menciptakan manusia-manusia qanaah, tidak berlebih-lebihan, tidak konsumtif karena mereka paham bahwa segala sesuatunya akan ada pertanggungjawaban di sisi Allah. Langkah-langkah yang bisa diupayakan secara individu, seperti tidak mudah ‘lapar mata’, membuat meal planning, food preparation, memasak cukup porsi, dan mengolah sisa makanan.
Kedua, peran negara. Negara berperan penting dalam menjamin seluruh masyarakatnya untuk mendapatkan makanan yang halal, tayyib, dan terjangkau. Negara akan mengatur pendistribusian dengan baik, mensosialisasikan penyajian makanan dengan memprioritaskan penggunaan bahan pangan ramah lingkungan, mengurangi limbah makanan, dan memperhatikan jejak karbon (jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan) dari proses produksi hingga dikonsumsi.
Dengan pengaturan yang cermat, maka akan terwujud distribusi yang merata sehingga mampu mengentaskan kemiskinan. Alhasil, food waste dapat dihindarkan.
Anisa Bella Fathia, S.Si.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok [CM/NA]