Berbagai langkah yang diambil pemerintah untuk memberantas judi online tampaknya masih belum maksimal. Pemutusan akses yang dilakukan masih terkesan setengah hati karena faktanya, masih banyak situs judi online yang tetap aktif. Inilah bukti bahwa sistem demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi tuntas dalam menyelamatkan generasi muda.
CemerlangMedia.Com — Sebanyak 197.054 anak terlibat aktivitas judi online (judol). Angka tersebut tercatat dalam data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025. Nilai deposit aktivitas judol anak usia 10—19 tahun ini mencapai Rp50,1 miliar pada triwulan I—2025.
Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (Tunas). Melalui aturan tersebut, penyelenggara sistem elektronik (PSE) diwajibkan membatasi akses digital anak, meningkatkan literasi digital, hingga melindungi data pribadi. Langkah ini diambil pemerintah untuk memberantas judi online yang melibatkan anak-anak (19-05-2025).
Beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak terjerumus judi online, seperti kurangnya perhatian orang tua, minimnya pendidikan agama, lingkungan pertemanan yang buruk, hingga lemahnya negara dalam melindungi generasi. Para ibu yang sibuk bekerja membuatnya tidak mampu memaksimalkan peran serta perhatiannya terhadap anak. Akibatnya, anak sering dibiarkan asyik dengan gadget. Inilah yang menjadi pintu pertama anak-anak bisa terjebak judol.
Di sisi lain, penanaman akidah yang lemah membuat anak cenderung melakukan hal yang disukai tanpa mengetahui halal atau haram. Selain itu, lingkungan pertemanan yang buruk makin membuat anak-anak terjerumus pada perbuatan dosa. Mirisnya, lemahnya aturan dan sanksi kepada penyedia jasa judi online makin membuat bisnis ini terus menjamur.
Maraknya judi online yang melibatkan anak-anak disebabkan penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini mampu menghalalkan segala cara demi keuntungan materi meskipun akan berdampak pada rusaknya generasi penerus. Para kapitalis memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik perhatian anak-anak, hingga akhirnya terjerumus judi online. Inilah watak rakus kapitalisme yang tega merusak generasi.
Sementara itu, upaya pemerintah dalam memberantas judi online patut diapresiasi. Namun, berbagai langkah yang diambil tampaknya masih belum maksimal. Pemutusan akses yang dilakukan masih terkesan setengah hati karena faktanya, masih banyak situs judi online yang tetap aktif. Inilah bukti bahwa sistem demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi tuntas dalam menyelamatkan generasi muda.
Berbeda dengan sistem Islam yang mampu melindungi generasi penerus. Dalam Islam, penanaman akidah yang kukuh kepada anak-anak merupakan kewajiban bagi para orang tua. Melalui penanaman akidah yang kukuh, anak-anak akan menjauhi aktivitas judi online karena mengetahui bahwa hal itu merupakan suatu perbuatan dosa, sebagaimana firman Allah Swt.,
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Di sisi lain, sistem pendidikan dalam Islam tidak sekadar fokus pada aspek akademik, tetapi didesain agar anak-anak memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam. Alhasil, akan terbentuk kepribadian sesuai syariat Islam yang menjadikan aspek halal atau haram sebagai standar perbuatannya.
Selain itu, negara akan memblokir seluruh situs judi online serta konten-konten yang merusak generasi. Negara akan mengarahkan digitalisasi untuk kemaslahatan rakyat. Inilah bentuk tanggung jawab negara dalam sistem Islam kepada rakyatnya. Dengan demikian, sudah selayaknya menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah) agar anak-anak bisa terbebas dari bahaya judi online dan generasi penerus bisa diselamatkan. Wallahu a’lam bisshawab.
Neni Nurlaelasari
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]