CemerlangMedia.Com — Baru-baru ini ramai akun media sosial dari keluarga pejabat yang mengupload foto-foto gaya hidup mewahnya. Aksi flexing atau pamer kemewahan ini menyebabkan masyarakat bertanya-tanya dari mana hasil pendapatan tersebut. Sementara penghasilan sebagai pejabat negara, bisa jadi kurang dari harga barang mewah yang mereka pamerkan. Namun, melihat gaya hedon yang super wah tersebut rasanya mustahil bila semua harta tersebut diperoleh dari sekadar gaji pejabat.
Kasus ini pun sempat ditanggapi oleh Menteri Keuangan Indonesia, dengan menyelidiki 69 Pegawai Negeri Sipil atau PNS Kemenkeu yang dianggap memiliki jumlah harta yang tidak wajar. Harta yang kurang jelas asal-usulnya dari mana sehingga perlu untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Tak dapat dipungkiri bahwa media sosial memang memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap gaya hidup sesorang. Kebutuhan akan mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain bagi mereka sangatlah penting dan dibutuhkan. Tak pelak rasa candu akan kepuasan atas pujian membuat orang berbuat di luar nalar. Flexing bagi mereka adalah sebuah kebutuhan.
Akibat aksi flexing yang dilakukan oleh keluarga pejabat tersebut, akhirnya pemerintah memberikan tindakan tegas dengan menonaktifkan sang pejabat dari tugas-tugasnya. Pencopotan jabatan ini diharapkan bisa menjadi contoh bagi yang lain agar tidak melakukan hal tidak terpuji, baik di media sosial ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai pejabat, seharusnya mereka bisa menjadi public figure bagi masyarakat dengan menerapkan hidup sederhana, bukan malah menunjukkan kehidupan hedonnya. Padahal di luar sana masih banyak rakyat kurang beruntung yang hidup dalam kekurangan. Banyak anak yang putus sekolah, anak yang kurang gizi (stunting), banyak pula yang tidak mampu berobat, bahkan masih begitu banyak gelandangan yang membutuhkan uluran tangan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya rasa empati dan simpati kepada masyarakat miskin, dan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri saja.
Di dalam Islam, terdapat Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan untuk mengawasi para pejabat, termasuk para pelaku flexing. Hal ini dapat dilihat pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahan beliau, Umar bin Khattab pernah mengangkat Muhammad bin Maslamah yang mana beliau ditugaskan untuk mengawasi harta dan kekayaan para pejabat.
Tugas dari badan ini adalah melakukan pembuktian terbalik, yaitu menghitung jumlah kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Apabila terjadi kenaikan yang tidak wajar, maka pejabat yang bersangkutan diminta membuktikan sendiri. Bahwa harta yang dimilikinya itu diperoleh dengan cara yang halal.
Namun, bila ia tidak sanggup membuktikan harta kekayaan tersebut, maka kelebihan harta tersebut termasuk harta ghulul (harta yang diperoleh dari hasil penggelapan). Harta ghulul tersebut wajib diberikan ke baitulmal (Pos Kepemilikan Negara). Dengan demikian tidak ada celah bagi para pejabat untuk melakukan perbuatan curang dengan menumpuk kekayaan pribadi melalui cara-cara yang tidak baik.
Selain itu, apabila ada pejabat yang ketahuan telah melakukan tindak pidana korupsi maka pemerintah akan menjatuhkan ta’zir (hukuman/sanksi), karena tindak korupsi merupakan tindakan yang telah merugikan negara. Hukuman ta’zir ini dapat berupa tasyhir yaitu pewartaan atau ekspos, denda, penjara yang lama, bahkan bisa jadi dijatuhi hukuman mati. Hal ini disesuaikan dengan dampak dan tingkat korupsinya. Seberapa besar nominal yang diambil dan seberapa besar mudharat yang ditimbulkannya.
Seperti inilah Islam mengatasi masalah korupsi sehingga kemungkinan besar perbuatan flexing dapat dicegah. Selain itu melalui contoh teladan yang baik yang diberikan Khalifah Umar bin Khattab dalam menjaga kesucian harta pejabat maupun warga negaranya, diharapkan pejabat dalam pemerintahan dapat berbuat yang sama seperti halnya sang Khalifah. Wallahu a’lam bish showab. []
Misita (Pelajar )
[CM/NA]