Islam memiliki solusi yang mengakar dan memberikan efek jera bagi pelaku L687. Sanksi tersebut hanya bisa diterapkan ketika syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Ini karena hukum Islam berasal dari Sang Pencipta alam, yang paling tahu kebutuhan makhluk ciptaan-Nya.
CemerlangMedia.Com — L687 makin marak di kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia. Dikutip dari riset Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2023, terdapat 4 provinsi yang memiliki populasi L687 terbanyak, yaitu Jawa Barat (302 ribu orang), Jawa Timur (300 ribu orang), Jawa Tengah (218 ribu orang), DKI Jakarta (43 ribu orang) (06-01-2023). Tidak menutup kemungkinan bahwa 2025 ini populasinya makin bertambah dan tumbur subur di daerah lainnya.
Dilansir dari portal daring, Kepala Dinas Kesehatan Kota Padang Srikurnia Yati mengungkapkan, dari 308 total kasus HIV di Padang, sebanyak 166 kasus (53,8 persen) berasal dari luar kota itu, sedangkan 142 kasus (46,2 persen) lainnya merupakan warga Kota Padang. Perilaku lelaki s3ks lelaki (LSL) menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya angka HIV di Kota Padang (04-01-2025).
Meski secara umum masyarakat Indonesia menolak kaum L687 ini, tetapi sebetulnya aktivitas mereka eksis dan teraba. Bahkan, mereka makin berani menunjukkan eksistensinya di negeri muslim terbesar di dunia ini.
Upaya mengatasi masalah L687 tentu sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatra Barat (Sumbar). DPRD Sumbar tengah mengkaji pembentukan peraturan daerah (perda) untuk memberantas penyakit masyarakat, termasuk L687 di Padang (04-01-2025). Lantas, apakah dengan upaya tersebut dapat memberantas L687 hingga ke akarnya?
Dalam sebuah negara yang menganut sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, seperti negeri ini, akan sulit memberantas L687 hingga ke akarnya. Sebab, aktivitas yang tidak bermoral seperti L687 bisa dilegalkan atas nama HAM (hak asasi manusia).
Tumbuh suburnya L687 karena keberadaan HAM yang melindungi kaum tersebut sehingga mereka terus mencoba eksis dengan mempromosikan dan mengampanyekan kaumnya. Oleh karenanya, tidak heran jika pelaku L687 makin masif di Indonesia.
L687 juga adalah agenda besar Barat. Seluruh pergerakannya terorganisir. Ingatkah awal 2022, ketika rencana utusan AS, Jessica Stern yang akan datang ke Indonesia terkait HAM untuk L687? Namun, upaya itu gagal karena banyak pertentangan dari berbagai pihak, khususnya para aktivis muslim.
Selain itu, ada pula konser Coldplay (pro L687) yang digelar di Indonesia. Ini semua sudah cukup menjadi bukti bahwa L687 adalah agenda besar Barat, khususnya AS sebagai negera kapitalisme terbesar untuk menghancurkan kaum muslim.
Dalam pandangan Islam, L687 hukumnya haram. Islam mengharamkan selera rendahan ala binatang seperti itu. L687 dalam Islam dianggap sebagai tindak kriminal yang harus dihukum.
Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Lesbian adalah (bagaikan) zina di antara wanita.” (HR ath-Thanrani).
Imam adz-Dzahabi menghukumi lesbian sebagai dosa besar. Hukumnya adalah takzir, bisa cambuk, penjara, publikasi, dan sebagainya. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhaam al-‘Uquubat).
Sementara homoseksual atau gay dikenal dengan istilah liwath. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat seluruh ulama mengenai keharamannya (Al-Mughni, 12/348). Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR Al-Khamsah, Kecuali an-Nasa’i).
Dari penjelasan di atas jelas bahwa Islam memiliki solusi yang mengakar karena terdapat sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku L687. Akan tetapi, sanksi tersebut tidak dapat diberlakukan hari ini karena ketiadaan sistem yang menerapkan syariat Islam secara kafah dalam kehidupan.
Satu-satunya solusi dari berbagai macam permasalahan kehidupan hanyalah dengan diberlakukannya penerapan syariat Islam secara kafah. Hanya syariat Islam satu-satunya sistem hukum yang langsung berasal dari Sang Pencipta alam ini, yang paling tahu apa yang dibutuhkan oleh makhluk ciptaan-Nya. Wallahualam bissawab.
Sukma Oktaviani, S.E. [CM/NA]