Negara yang menerapkan Islam sebagai landasan bernegara memberikan jaminan atas pemenuhan segala kebutuhan primer rakyat, mulai dari sandang, pangan, dan papan (rumah tinggal) secara merata. Pemenuhan kebutuhan ini juga dilakukan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat, bukan untuk berbagi keuntungan dengan swasta ataupun korporasi.
CemerlangMedia.Com — Bukan lagi problematika baru di negeri ini bahwa kesejahteraan untuk rakyat belum bisa terdistribusi secara merata. Masalah yang terlihat masih berkaitan dengan kurangnya pemenuhan kebutuhan primer rakyat, salah satunya adalah kepemilikan rumah layak huni.
Baru-baru ini, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa sebanyak 26,9 juta rumah di Indonesia menjadi tempat tinggal yang tidak layak huni akibat kemiskinan ekstrem (25-4-2025). Tingginya angka tersebut tentu menggambarkan pula bagaimana tingginya kesenjangan ekonomi dan ketimpangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Sudah menjadi kenyataan pahit bahwa memiliki rumah layak huni akhirnya hanya menjadi sebuah angan-angan yang sulit terwujud, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Terlebih, fakta yang memprihatinkan justru ditemukan pada salah satu pemukiman di Ibukota Jakarta. Kota metropolitan dengan pendapatan perkapita tertinggi di Indonesia ini kenyataannya masih menyisakan satu rumah berukuran 4×4 meter yang dihuni oleh 18 orang sekaligus (01-01-2025). Kondisi yang demikian akhirnya memaksa penghuninya untuk tidur secara bergantian atau shift-shift -an.
Tidak dimungkiri, sulitnya rakyat dalam mendapatkan rumah layak huni juga disebabkan oleh adanya keterlibatan swasta yang melakukan kapitalisasi dalam jual-beli property. Rumah layak huni yang menjadi salah satu kebutuhan pokok dan wajib dipenuhi oleh negara, justru dikomersialisasi. Alhasil, banyak rakyat berpenghasilan rendah yang tidak mampu membeli rumah dan terpaksa hidup berdampingan dengan banyak orang sekaligus dalam satu tempat terbatas.
Berkaitan dengan bantuan untuk memiliki rumah, pemerintah memberikan penawaran berupa subsidi dan pembiayaan kredit, seperti KPR. Namun, perlu dilihat lagi bahwa selain pelaksanaannya menjebak rakyat untuk terlibat dalam akad ribawi, persyaratan yang digunakan untuk pengajuannya pun masih terlihat menyulitkan.
Di sisi lain, dalam mengentaskan masalah ini, pemerintah juga mencoba melaksanakan program bedah rumah sebagai salah satu perwujudan dari program tiga juta rumah. Tidak bekerja sendirian, program ini dilaksanakan pemerintah dengan menggandeng pihak swasta melalui program CSR. Terdengar seperti kabar gembira, tetapi perlu diingat bahwa pelaksanaan program semacam ini tidak mungkin berjalan tanpa ada motif keuntungan di baliknya.
Memiliki tempat tinggal yang aman dan nyaman jelas merupakan kebutuhan primer bagi rakyat di seluruh kalangan tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah rakyat terhitung orang yang mampu atau kurang mampu dari segi ekonomi, semuanya berhak tinggal di rumah yang layak huni. Terdengar mustahil diwujudkan dan memang inilah kondisi yang terjadi ketika rakyat kehilangan sosok raa’in (pengurus) yang sesungguhnya.
Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.”
Hal ini menegaskan bahwa pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab untuk mengurus segala kebutuhan rakyat yang dipimpinnya tanpa pandang bulu. Kepengurusan ini juga tidak terlepas dari bagaimana rakyat bisa mendapatkan tempat tinggal dan tempat berlindung yang layak. Oleh karena itu, rumah layak huni adalah salah satu jaminan kesejahteraan yang wajib diberikan negara secara murni tanpa mempertimbangkan faktor untung-rugi dalam pemenuhannya.
Bukan sekadar harapan, negara yang menerapkan Islam sebagai landasan bernegara memberikan jaminan atas pemenuhan segala kebutuhan primer rakyat, mulai dari sandang, pangan, dan papan (rumah tinggal) secara merata. Pemenuhan kebutuhan ini juga dilakukan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat, bukan untuk berbagi keuntungan dengan swasta ataupun korporasi. Hal ini akan terwujud ketika rakyat benar-benar memiliki sosok raa’in yang menjalankan amanahnya sesuai standar hukum syarak. Berbeda dengan para penguasa yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan dalam memimpin dan mengurus rakyat.
Penguasa yang menerapkan Islam sebagai landasan kepemimpinannya juga memiliki tata kelola negara yang baik sehingga tidak ada regulasi yang menyusahkan rakyat, salah satunya terkait hak atas kepemilikan tanah. Dalam Islam, tanah yang telah ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun dapat dikelola oleh negara dan berhak diberikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dalam hal ini termasuk untuk pendirian rumah.
Indah Puspasari, S.E.
Yogyakarta [CM/Na]