Problematika kehidupan yang makin kompleks dan tanpa solusi seharusnya membuat masyarakat sadar akan pentingnya sistem hidup yang solutif. Seharusnya menyadari bahwa Islam bukan sekadar agama ruhiyah, tetapi juga siyasiyah, yakni pengatur urusan umat.
CemerlangMedia.Com — Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menggelar Manggarai Bershalawat untuk meredam aksi tawuran. Selain itu, ia juga mengupayakan lapangan pekerjaan yang luas dan membangun fasilitas olahraga untuk warga agar bisa menyalurkan energi ke hal yang positif (24-05-2025).
Bershalawat memang bisa menyentuh sisi spiritual seseorang. Namun, untuk menjadi solusi terhadap maraknya tawuran, bershalawat saja tidak cukup. Banyak hal yang perlu dibenahi.
Tawuran adalah bentuk ekspresi krisis jati diri, tekanan ekonomi dan lemahnya pengawasan keluarga, sosial, dan negara. Saat ini, remaja mudah terjerembab ke dalam pergaulan bebas.
Keluarga sebagai benteng pertahanan pertama rapuh akibat sistem ekonomi yang rusak. Orang tua yang seharusnya berperan sebagai pelindung, hilang perannya karena harus mencari pemasukan untuk bertahan hidup.
Mereka menghabiskan waktunya untuk bekerja, kemudian ketika sampai di rumah, tenaga yang dimiliki adalah sisa yang hanya bisa digunakan untuk beristirahat. Alhasil, kehangatan untuk bercengkerama bersama keluarga nihil, sementara anak butuh dekapan hangat orang tua.
Kekosongan inilah yang rentan terisi dengan hal negatif, misalnya tawuran, penyalahgunaan narkotika, s3ks bebas, dan hal buruk lainnya. Kehampaan yang dimiliki anak terisi dengan hal-hal yang merusak sehingga menyebabkan kehancuran pada diri anak dan keluarga.
Di sisi lain, lemahnya kontrol sosial. Ya, masyarakat sekuler sering kali apatis terhadap sekitar. Dengan prinsip hak asasi manusia, hal-hal yang merusak tatanan masyarakat dibiarkan begitu saja tanpa teguran atau sanksi sosial yang berarti.
Walhasil, terbentuklah masyarakat permisif yang kehilangan sensitivitas terhadap moral. Kebiasaan buruk dianggap hal biasa, asal tidak “merugikan” orang lain secara langsung. Inilah akar kerusakan tatanan masyarakat.
Sementara itu, negara yang seharusnya menjadi pelindung rakyat lebih peduli dengan sektor ekonomi. Mengurus moral rakyat tidak lebih penting daripada mengurus kelanggengan kekuasaan dan ekonomi.
Memperbaiki kurikulum pendidikan yang berbasis agama dianggap tidak menguntungkan karena kebijakan negara berada dalam kerangka kapitalisme. Pendidikan yang menjadi benih untuk berpikir dan bertindak senantiasa dianggap tidak penting karena hasil yang dicapai lama dan tidak menguntungkan secara ekonomi.
Oleh karenanya, fokus kebijakan lebih kepada infrastruktur dan investasi jangka pendek yang cepat menghasilkan keuntungan materi yang besar. Begitu pula dengan bingkai berbau agama, seolah dianggap mewakili ketaatan kepada Allah Swt.. Masyarakat saat ini sering kali hanya mencukupkan diri dengan mengikuti pengajian yang hanya menyentuh hati, bukan kajian tentang Islam yang menyentuh pemikiran, membuka pengetahuan tentang aturan-aturan Islam yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai solusi atas permasalahan hidup.
Seyogianya problematika kehidupan yang makin kompleks dan tanpa solusi membuat masyarakat sadar akan pentingnya sistem hidup yang solutif. Seharusnya menyadari bahwa Islam bukan sekadar agama ruhiyah, tetapi juga siyasiyah, yakni pengatur urusan umat.
Islamlah yang harus dibidik untuk segera mengganti tatanan sistem hidup yang rusak ini. Islam yang seharusnya menjadi rambu-rambu dalam berpikir dan bertindak sehingga terwujud manusia yang berkualitas (khairu ummah).
Demikianlah jika seluruh bentuk aturan Islam diterapkan, maka tawuran dan segala bentuk kemaksiatan lainnya akan tuntas teratasi. Tidak hanya itu, umat Islam juga makin totalitas dalam taat kepada Allah Swt.. Wallahu a’lam.
Hessy Elviyah, S.S.
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]