Narasumber: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A. dan Nyai Hj. Siti Rofida, S.Pd.
Penghargaan orang tua kepada anak akan memompa semangatnya sehingga terbentuk self-esteem. Orang tua harus pula memberi contoh yang baik sehingga anak paham bahwa orang tuanya adalah teladan bagi dirinya. Kebiasaan baik orang tua akan membuat ‘permata-permata’ tetap berkilau.
CemerlangMedia.Com — Anak merupakan permata orang tuanya. Mereka juga akan menjadi aset berharga dunia dan akhirat. Oleh karena itu, anak-anak harus dijaga dan dibekali kematangan emosi yang cukup, salah satunya adalah self-esteem atau rasa percaya diri sehingga anak-anak tidak mudah rapuh terhadap berbagai persoalan, termasuk bullying verbal.
Self-esteem atau rasa percaya diri harus ditumbuhkan pada anak. Self-esteem adalah sebuah upaya untuk mengukur kemampuan diri sehingga tidak mudah rapuh. Self-esteem ini bersifat fluktuatif dan dipengaruhi oleh lingkungan, terkadang bisa tinggi dan bisa juga rendah.
Self-esteem yang tinggi bisa berdampak negatif, seperti over convident, narsis, dan berbuat sesuatu karena ingin dilihat oleh orang lain. Sementara itu, self-esteem yang terlalu rendah juga berdampak negatif, seperti gangguan kesehatan mental, gangguan kecemasan, dan tidak mampu berpikir positif terhadap dirinya sendiri. Bahkan, beberapa kasus depresi yang terjadi adalah akibat dari self-esteem yang rendah.
Beberapa Faktor yang Memengaruhi Self-esteem pada Anak.
Pertama, pola asuh orang tua. Penghargaan pada anak rendah, tetapi memiliki tuntutan tinggi, misalnya orang tua otoriter. Orang tua yang otoriter sering kali membanding-bandingkan dan sulit menghargai pencapaian anak-anaknya. Alhasil, anak-anak bingung mana tugas yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ditambah lagi dengan pola asuh ‘semua hal dilayani’ sehingga anak tidak siap menghadapi tantangan, tidak mandiri, mudah tantrum, dan lain sebagainya.
Kedua, pendapat orang di sekitarnya. Ketika pendapat orang lain di sekitar mengarah pada sisi positif, maka akan membuat self-esteem anak naik. Sebaliknya, apabila lingkungan di sekitar selalu menyalahkan, maka self-esteem anak akan rendah. Pendapat orang lain juga akan memberi dampak bagi self-esteem, misalnya suka narsis. Hal ini akan memengaruhi konsep diri seorang anak sehingga mudah mengiyakan pendapat orang lain, lalu akan mengejar hal tersebut.
Ketiga, diri sendiri. Ketika pendapat orang lain dipikirkan tanpa progres kemampuan dan upaya memperbaiki, maka anak akan tumbuh dengan self-esteem yang rendah. Oleh karena itu, orang tua tidak boleh melabeli anak-anak dengan hal-hal negatif. Sebaliknya, orang tua haruslah mendukung anak dan selalu memotivasi agar mereka mampu berkembang sesuai dengan kemampuannya.
Keempat, kemampuan diri. Pentingnya mengeksplor diri, menstimulasi kemandirian, dan belajar kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam membangun self-esteem anak, orang tua perlu memotivasi sehingga anak percaya diri dengan apa yang diperoleh. Orang tua juga haruslah fokus pada kelebihan anak, bukan pada kekurangannya.
Bukan hanya itu, komunikasi antara orang tua dan anak harus pula komunikasi yang positif. Orang tua jangan terlalu menyalahkan sehingga anak merasa tidak berharga di mata orang tuanya, padahal penghargaan dari orang tua dapat meningkatkan self-esteem pada anak.
Sebaliknya, orang tua yang selalu menyalahkan dan tidak menghargai capaian anak-anaknya akan membentuk self-esteem yang buruk. Apabila hal tersebut tidak dibarengi dengan keimanan yang kuat, maka akan membentuk kepribadian yang buruk pada anak, bahkan mudah depresi.
Self-esteem Menurut Islam
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At Tin: 5).
Dari ayat tersebut, orang tua yang sudah matang harus punya keyakinan bahwa Allah Taala telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan. Ketika manusia diberi akal, kemudian ia juga diberi nafsu, dan pada saat yang sama pula, Allah Taala memberikan tuntunan berupa risalah Islam yang dibawa oleh Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.
Para ulama menjelaskan, ketika akal manusia di-install dengan Islam, maka ia bisa mengendalikan nafsunya sehingga orang tersebut menjadi اَحۡسَنِ تَقۡوِيۡمٍ (bentuk yang sebaik-baiknya). Ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sempurna.
Oleh karena itu, manusia harus menyadari bahwa ia diberi akal dan nafsu, malaikat hanya diberi akal dan tidak diberi nafsu, sedangkan hewan hanya diberi nafsu, tetapi tidak diberi akal. Dalam hal ini, manusia bisa mengalahkan malaikat jika mampu mengendalikan nafsunya dan memenangkan akalnya. Akan tetapi, manusia akan hina melebihi hewan apabila tidak mampu mengendalikan nafsunya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taala,
ثُمَّ رَدَدۡنٰهُ اَسۡفَلَ سَافِلِيۡنَۙ
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.” (QS At-Tin: 5).
Dari penjelasan di atas, maka manusia haruslah memiliki ihsas, yaitu kesadaran tentang fakta dirinya diciptakan oleh Allah Taala dengan sebaik-baik bentuk. Namun, kesempurnaan tersebut tidak selamanya alias fluktuatif, sama halnya seperti self-esteem.
Namun, kesadaran bahwa dirinya adalah ciptaan Allah Taala akan membuat seseorang untuk selalu menjaga kesempurnaannya dengan menyadari kekurangan, terus belajar, dan menyadari kelebihannya agar bermanfaat dalam kebaikan. Ulama menyampaikan, “Jika seseorang hanya fokus pada kekurangan, ia tidak akan pernah bersyukur terhadap apa yang Allah Taala karuniakan kepadanya.”
Orang tua sepatutnya belajar dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam mendidik para sahabat. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mampu melihat potensi para pemuda Islam dan berhasil mencetak generasi yang luar biasa, salah satunya adalah Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu. Seorang anak belia yang cerdas dan berintegritas sehingga Nabi Shalallahu alaihi wasallam meyakinkan Zaid bahwa kelak ia akan menjadi orang yang luar biasa hingga akhirnya Zaid mendapat amanah menjadi katib al-wahyu (penulis wahyu). Ada pula Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu yang dikenal sebagai shahibu sirr (pemegang rahasia) Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.
Kehebatan Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam melihat potensi para sahabat hendaknya menjadi pelajaran bagi orang tua untuk melihat potensi setiap anak. Orang tua harus pula menggali setiap potensi anak sehingga tercipta self-esteem yang baik dalam diri anak.
Andai belum ada pencapaian prestasinya, minimal menjadi anak saleh dan salihah, maka itu adalah aset berharga dunia dan akhirat bagi orang tua. Orang tua harus meyakinkan bahwa itu merupakan nilai plus bagi seorang anak. Hal itu bisa ia gunakan sebagai kekuatan untuk melakukan ketaatan.
Dengan demikian, betapa penting penghargaan orang tua kepada anak karena hal itu akan memompa semangatnya sehingga terbentuk self-esteem. Orang tua harus pula memberi contoh yang baik sehingga anak paham bahwa orang tuanya adalah teladan bagi dirinya.
(Diresume oleh Ummu Hasan Mahmud Al Fatih, Kelas IPA Banin) [CM/NA]