Penulis: Ustaz Abu Zaid R
Tidak layak, kita sebagai pengemban dakwah lebih rajin dan semangat bekerja daripada berdakwah. Ini adalah bentuk kita tidak bersyukur atas nikmat Allah Swt., baik nikmat sehat, nikmat sempat, nikmat ilmu, nikmat harta, dan tentunya nikmat bisa bekerja. Oleh karenanya, jangan sampai kita menjadikan nikmat bisa bekerja sebagai alasan untuk tidak optimal dalam berdakwah. Jika begini terjadi pada kita, apa kata dunia?
CemerlangMedia.Com — Sebagaimana kita rajin bekerja, begitulah juga minimalnya kita rajin berdakwah. Berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Bekerja wajib bagi laki-laki muslim yang mampu, baik untuk menafkahi dirinya sendiri maupun keluarganya, yakni istri, anak, dan kedua orang tua yang sudah tidak mampu mencari nafkah.
Sebagai kewajiban yang sama-sama muwasa‘, artinya waktunya luas sehingga tidak berbenturan satu sama lain, kecuali pada momen-momen tertentu saja (bisa merujuk pada tulisan saya tentang solusi jika benturan-benturan antara kewajiban dakwah dan kerja). Oleh karena itulah, tidak selayaknya kita membenturkan antara keduanya.
Sebagai sama-sama kewajiban atas diri kita, maka minimal kita berlaku adil kepada keduanya, yakni serajin, sesemangat, sedisplin kita bekerja. Minimal seperti itulah kita berdakwah.
Jika hujan di pagi hari tidak menghalangi kita berangkat kerja, semestinya hujan di sore atau malam hari juga tidak boleh menghalangi kita berangkat agenda dakwah. Jika capai badan dan kalutnya pikiran tidak menghalangi kita ke kantor atau ke kebun, tentu tidak selayaknya pula hal itu kita jadikan penghalang untuk hadir ngaji.
Jika sekadar perut kembung atau flu biasa, masuk angin, atau pusing-pusing tidak menghalangi ngantor, selayaknya pula hal itu tidak boleh menjadi penghalang kita hadir ngaji. Begitu seterusnya. Ini minimalnya. Artinya, kalau kita hanya ingin menjadi pejuang Islam atau pengemban dakwah minimalis.
Oleh karena itu, alasan sakit sehingga tidak hadir ngaji atau agenda dakwah lain tidak bisa diterima ketika ternyata masih rajin bekerja. Alasan sakit sehingga tidak bisa berdakwah baru layak dan bisa diterima jika dengan alasan sakit yang sama sehingga tidak bisa juga bekerja. Ini minimalnya, sekali lagi.
Namun, apabila kita ingin menjadi hamba Allah yang lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih ingin mendapatkan pahala yang lebih besar, tentunya tidak bisa dengan standar minimalis. Apalagi menegakkan Khil4f4h bukan sekadar kewajiban biasa, tetapi tajul furudh.
Oleh karena itu, sewajarnya dan semestinya kita pun menjadikan kegiatan dakwah sebagai kewajiban tertinggi, yakni mahkota kewajiban. Artinya, kita mesti lebih rajin, lebih semangat, lebih serius, lebih maksimal berdakwah daripada serius kita, semangat kita, rajin kita, dan maksimal kita dalam bekerja. Sebab, Khil4f4h adalah mahkota kewajiban alias kewajiban paling penting.
Saking pentingnya, Imam ‘Alauddin al-Hashkafi al-Hanafi berpendapat bahwa menegakkan Khil4f4h adalah suatu kewajiban yang prioritas (ahammul wajibat). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh banyak ulama lainnya, seperti Imam Sa’duddin At-taftazani yang wafat pada 791 H.
Oleh karena itu, tidak layak kita sebagai pengemban dakwah lebih rajin dan semangat bekerja daripada berdakwah. Ini adalah bentuk kita tidak bersyukur atas nikmat Allah Swt., baik nikmat sehat, nikmat sempat, nikmat ilmu, nikmat harta, dan tentunya nikmat bisa bekerja. Oleh karenanya, jangan sampai kita menjadikan nikmat bisa bekerja sebagai alasan untuk tidak optimal dalam berdakwah. Jika begini terjadi pada kita, apa kata dunia?
Semoga kita diberi sehat dan istikamah bisa optimal dakwah hingga tarikan napas terakhir!
Ubur ubur ikan lele, jangan libur dakwah le!
Ngaji, yuk! [CM/NA]