Oleh: Nuri Safa
CemerlangMedia.Com — “Saya enggak mau tau! Kalian pikirkan sendiri caranya gimana, yang penting anak saya bisa ikut pertukaran pelajar itu!” Demikian titah sang raja pada suatu hari. Titah yang membuat para pegawainya pusing tujuh keliling.
***
Adalah Negeri Seribu Sungai, sebuah wilayah yang dahulunya terkenal memiliki sangat banyak kanal sungai, membentang dari barat sampai ke timur. Wilayahnya sangat subur. Gunung-gunung berdiri kokoh dari utara sampai selatan. Sawah-sawah tumbuh menghijau. Pepohonan berbaris indah. Sungai-sungai jernih dengan udang dan ikan berenang lincah. Rakyatnya hidup sejahtera berdampingan dengan alam.
Para petani mengurus sawah dengan sangat bahagia. Pengrajin kayu menebang pohon dengan amat hati-hati agar bisa tetap melestarikan hutan sekaligus menghasilkan karya yang berkualitas. Penenun membuat pakaian yang sangat indah. Nelayan sangat mudah mencari ikan. Pedagang ramai diserbu masyarakat karena harga barang dagangan sangat terjangkau. Para pengajar dan tabib hidup sejahtera dengan gaji tinggi.
Negeri Seribu Sungai dipimpin oleh seorang raja yang secara turun-temurun dipilih oleh rakyat melalui pesta demokrasi sepuluh tahunan. Awalnya, raja yang memimpin benar-benar berasal dari rakyat dan mengelola negara demi kepentingan rakyat. Lama-kelamaan, raja mulai menampakkan wajah aslinya sehingga masyarakat perlahan-lahan mulai kehilangan kesejahteraannya.
Raja Balveer namanya. Ia berkuasa selama 29 tahun, setelah tiga kali berturut-turut memenangkan pesta demokrasi, mengalahkan para pesaingnya. Tahun ini adalah tahun terakhir ia bisa berkuasa karena aturan Negeri Seribu Sungai, seorang raja hanya boleh dipilih tiga kali berturut-turut.
Awalnya, rakyat menyambut suka cita kemenangan Raja Balveer. Terbukti dengan dipilihnya sang raja sebanyak tiga kali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah Negeri Seribu Sungai.
Raja Balveer dikenal rakyat sebagai sosok yang sederhana dan bersahaja, gemar terjun langsung ke pedalaman negeri demi membantu rakyat yang kesusahan akibat kekuasaan raja sebelumnya. Dengan perjuangannya yang tak kenal lelah dalam mencari simpati rakyat, Raja Balveer menang telak saat pemilihan perdananya.
Sembilan tahun pertama pemerintahan Raja Balveer, rakyat mulai merasakan keresahan karena harga-harga barang melonjak naik. Pedagang yang dulu diserbu masyarakat, ada yang mulai gulung tikar karena tidak mampu bertahan di tengah persaingan yang makin ketat dan daya beli masyarakat yang menurun.
Ketika sebagian rakyat berpikir kekuasaan Raja Balveer akan berakhir, di tahun terakhir, sang raja melakukan manuver yang sangat ciamik. Raja mengirimkan bantuan-bantuan kepada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan agar bisa menyambung hidup di tengah harga barang yang tidak masuk akal. Tindakan sang raja kembali menuai simpati masyarakat sehingga ia kembali terpilih untuk kedua kalinya.
Pada masa pemerintahan sang raja yang kedua, Negeri Seribu Sungai dilanda wabah menular, membuat perekonomian masyarakat kian sulit. Kembali, Raja mengirimkan bantuan agar masyarakat bisa tetap bertahan hidup. Tidak lupa, sang raja membangun fasilitas-fasilitas yang sangat canggih di daerah pedalaman. Demikianlah, sang raja lagi-lagi terpilih untuk ketiga kalinya.
“Dengar-dengar, di wilayah Sungai Kayangan ada kereta cepat, ya?”
“Ada, sih, memang, tetapi siapa yang mau pakai? Di situ, kan, masyarakatnya petani semua. Mau ke sawah naik kereta? Yang bener aja.”
Begitulah percakapan warga di suatu waktu.
“Eh, eh, bandara di Sungai Kembayan udah jadi, belom, sih?”
“Udah, tetapi sepi, cuy!”
“Kok, bisa? Kan mantep, ada bandara di sana.”
“Sungai Kembayan tuh, jauh dari pusat kota. Siapa juga yang mau ke sana, mending di Sungai Menyangkir aja, persis di tengah kota.”
“Padahal kayaknya lebih bagus Bandara Sungai Kembayan, ada fasilitas mesin cetak makanan, kan?”
“Percuma bagus, tetapi jauh. Hampir seratus kilometer, lo, jaraknya!”
Percakapan warga yang lain di waktu yang lain.
“Katanya, ibu kota mau pindah, di Sungai Seminyak, ya?”
“Aku enggak setuju! Parah, sih, Raja Balveer! Udah survei dulu, nggak, sih, ke sana? Sungai Seminyak, lahannya subur-subur, lo. Selama ini jadi pemasukan terbesar negara. Kan sayang, kalau mau dijadikan ibu kota!”
“Lo, kenapa enggak? Kan, bakal maju wilayah Sungai Seminyak? Nggak pernah banjir, bebas gempa lagi. Beda, kalau masih di Sungai Bata, udah langganan banjir, macet banget lagi.”
“Ngabis-ngabisin duit, tau, mindahin ibu kota! Rakyat aja masih banyak yang hidupnya susah. Kenapa enggak bikin program mengentaskan kemiskinan aja? Toh, enggak penting-penting banget, kok, pindah ibu kota itu.”
Percakapan lainnya di waktu dan tempat yang berbeda.
Demikianlah, di akhir kekuasaan sang raja, rakyat yang merasa hidupnya tidak sejahtera mulai gelisah. Beberapa penolakan muncul di masyarakat. Namun, sang raja tidak peduli. Raja Balveer sedang sibuk membantu anak-anaknya agar mulus jalan hidupnya.
Si sulung, misalnya, sedang berusaha mengikuti jejak sang ayah untuk menjadi sosok pemimpin yang dicintai rakyat. Oleh karena itu, raja membantu dengan cara membuat peraturan, anak raja boleh menjadi pemimpin. Aturan yang membuat rakyat tercengang karena sepanjang sejarah Negeri Seribu Sungai, anak keturunan dan sanak famili raja tidak diperbolehkan menduduki jabatan pemerintah di segala jenjang.
Lolosnya si sulung menjadi pemimpin di wilayah Sungai Kemiri menimbulkan reaksi yang berbeda di masyarakat. Ada yang mendukung karena merasa nyaman dengan pemerintahan Raja Belvaar. Tidak sedikit yang menolak karena kesewenang-wenangan raja dalam membuat aturan. Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak karena si sulung sudah berkuasa dan memimpin wilayah Sungai Kemiri.
Saat ini, publik Negeri Seribu Sungai dihebohkan dengan anak bungsu sang raja yang ingin ikut pertukaran pelajar. Masalahnya, anak bungsu raja masih kelas tiga, sedangkan syarat ikut pertukaran pelajar minimal kelas lima.
Semua huru-hara ini dimulai pagi ini, ketika asisten pribadi sang raja menyampaikan undangan dari Negeri Seribu Batang.
“Mohon izin, Yang Mulia. Raja Kashmeer mengundang seribu pelajar berprestasi untuk mengikuti program pertukaran pelajar di Negeri Seribu Batang. Pelajar yang ikut, mulai dari kelas lima sampai kelas sembilan. Masing-masing dua ratus anak per jenjang, yang akan ditempatkan di sepuluh wilayah. Masing-masing wilayah menerima dua puluh anak per jenjang. Seleksi penerimaan diserahkan kepada kita. Demikian, Yang Mulia.”
Raja Balveer mengangguk sambil meneguk kopi paginya yang masih menguarkan uap panas. Melihat sang raja yang tidak langsung berkomentar, sang asisten pribadi menunggu dengan cemas.
“Anak saya, Andalus, kelas berapa?” tanya sang Raja.
Kepala pelayan istana bergegas mendekat. “Mohon Izin, Yang Mulia. Ananda Raden Cilik Andalus saat ini kelas tiga, Yang Mulia.”
Raja Balveer kembali mengangguk. “Ya sudah, daftarkan Andalus ke program pertukaran pelajar itu.”
“Mohon izin, Yang Mulia. Ananda Raden Cilik Andalus tidak bisa ikut, Yang Mulia,” ucap asisten pribadi Raja Balveer gugup. Ini bencana, jelas bencana besar, pikir sang asisten.
“Kenapa?” tanya Raja Balveer dingin.
“Mohon izin, Yang Mulia. Yang bisa ikut hanya siswa kelas lima sampai kelas sembilan, Yang Mulia,” jelas sang asisten dengan wajah pucat pasi.
“Saya enggak mau tau! Kalian pikirkan sendiri caranya gimana, yang penting anak saya bisa ikut pertukaran pelajar itu!” Demikian titah sang Raja sekaligus menutup pertemuan pagi itu.
***
“Gimana, ini, Mas? Kita nge-lobi Raja Kashmeer aja kali, ya, biar Andalus bisa ikut?”
“Enggak bisa, Kang! Raja Kashmeer itu tegas banget, sekali bilang A, ya harus A. Bilang aja ke Raja Balveer, Andalus enggak bisa ikut karena kemudaan.”
“Kayak bisa aja nge-lawan titah raja, Mas.”
“Kita enggak bisa nyusupin Andalus yang masih kelas tiga itu, Kang!”
“Atau kita manipulasi aja data Andalus, Mas? Kalau itu bisa, kan?”
“Manipulasi gimana, Kang?”
“Ya, gitu, Mas. Coba kontak sekolahnya Andalus, suruh ubah datanya dia. Pindahin ke kelas lima, gitu.”
“Susah, Kang. Banyak yang harus diubah kalau kayak gitu. Belum tentu pihak sekolah mau. Data umurnya juga harus diubah, kan?”
“Bayar aja, Mas. Seberapa pun yang mereka minta, kasih aja!”
***
“Lo, kok si Andalus bisa ikut? Kan dia masih kelas tiga?”
“Anakku kelas tujuh enggak lolos, padahal juara satu lomba memanah se-Sungai Putri!”
“Heran, cucunya Raja Linde bisa ikut, padahal kata anakku isi otaknya kosong.”
“Kok Amudya enggak lolos? Kan, dia pemenang lomba memancing se-Negeri Seribu Sungai.”
“Lo, lo, lo, bukannya Ameera ini udah lulus, ya? Kok, bisa ikut?”
“Waduh, ini, sih, antek-anteknya dia semua yang lolos. Gimana, sih, sistem seleksinya?”
“Kalau gitu, mending nggak usah diseleksi aja! Hobi bener nipu masyarakat!”
Begitulah percakapan rakyat di suatu hari. Publik digemparkan oleh berita anak bungsu raja yang masih kelas tiga bisa ikut pertukaran pelajar yang mensyaratkan pesertanya dari kelas lima. Entah ajian apa yang dilakukan Raja Balveer sehingga anaknya bisa lolos begitu saja. Tidak hanya anak Raja, ada hampir dua ratusan nama yang diduga masyarakat tidak layak ikut program pertukaran pelajar tersebut.
***
Seminggu kemudian, rakyat Negeri Seribu Sungai kembali heboh. Penyebabnya lagi-lagi anak bungsu sang Raja.
“Ketauan, ya? Mampus!”
“Dibalikin, enggak, tuh?”
“Di-blacklist, katanya!”
Begitulah. Di akhir masa jabatannya, Raja Balveer kehilangan kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat. Dimulai dengan utang negara yang diam-diam dilakukan Raja Balveer demi menyuap rakyat agar mau memilihnya kembali, fasilitas-fasilitas fantastis yang tidak tepat guna, hingga penyelewengan kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Rakyat yang kecewa dengan kepemimpinan Raja Balveer memutuskan melakukan kudeta dan mengambil alih kepeminpinan, mengganti sistem yang selama ini mereka gunakan dengan sistem lain yang tidak memungkinkan ada celah kezaliman di dalamnya. Dan masyarakat Negeri Seribu Sungai kembali sejahtera.
Tamat. [CM/NA]