Ayah, Ibu, dan Adik: Semua untuk Mereka, tapi Apa untuk Diriku?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rini Sulistiawati

CemerlangMedia.Com — Aku Faris, baru 22 tahun, tetapi hidup tidak pernah memberiku jeda untuk menjadi “anak muda.” Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar menyala, aku sudah bersiap untuk bekerja. Dengan gaji dua juta rupiah per bulan, aku mencoba memikul beban yang kadang terasa lebih besar daripada diriku sendiri. Setiap tetes keringat yang jatuh adalah untuk mereka, ibu, adik-adikku, dan mungkin sedikit untuk diriku sendiri jika aku sempat memikirkan itu.

Hidup mulai berubah saat usiaku tiga tahun. Orang tuaku bercerai dan aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Ayah pergi dan tidak pernah kembali. Ibu sering berkata bahwa perpisahan itu demi kebaikan, tetapi aku tahu, itu hanyalah cara lembutnya untuk melindungi kami dari kenyataan pahit.

Perceraian itu seperti badai yang merontokkan daun dari pohon keluarga kami. Ibu berjuang sendirian, menjadi akar yang tetap kokoh, meskipun angin kehidupan terus menggoyangnya. Sejak kecil aku belajar bahwa hidup tidak selalu adil dan satu-satunya pilihan adalah bertahan, meski dunia terasa begitu berat.

Beberapa tahun kemudian, ibu menikah lagi. Ayah sambungku orangnya baik dan penuh kasih. Ia bekerja sebagai buruh serabutan, tetapi hasilnya sering kali hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, ia tetap berusaha, seperti perahu kecil yang berlayar di samudra luas. Selalu mencoba bertahan, meski ombak kehidupan tidak pernah tenang.

Ia pernah berkata kepadaku, “Hidup ini ibarat menumbuk padi, Faris. Meski tangan kita perih, kita tetap harus menumbuknya agar ada yang bisa dimasak untuk keluarga.” Kata-katanya menjadi pelajaran tentang perjuangan. Dalam setiap kesulitan, aku mulai memahami arti cinta yang tidak selalu terucap, tetapi terlihat dalam setiap kerja kerasnya.

Aku punya empat adik yang masih kecil. Wajah mereka selalu menjadi alasanku untuk terus melangkah, meski langkah itu sering tertatih. Setiap kali aku melihat mereka tertawa, aku merasa sedikit lega, meski beban hidup terus bertambah berat.

Aku tahu, di mata mereka, aku bukan sekadar kakak. Aku adalah sosok yang mereka gantungi. Aku ingin mereka mengingatku bukan sebagai kakak yang hanya ada secara fisik, tetapi sebagai seseorang yang membuat mereka percaya bahwa impian bisa diraih, meski jalan menuju ke sana dipenuhi rintangan.

Ibu sering berkata, “Faris, pendidikan mereka tanggung jawab kita. Kalau mereka bisa sekolah, hidup mereka bisa lebih baik dari kita.” Aku tahu itu benar, tetapi ada saat-saat di mana aku merasa hidupku sendiri hilang dalam perjuangan ini. Namun, aku selalu teringat pada sabda Rasulullah ﷺ:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Aku tidak ingin mereka melihatku menyerah. Aku ingin mereka tahu bahwa aku, kakak mereka, pernah melangkah di jalan yang penuh duri agar mereka bisa berjalan di jalan yang lebih mulus.

Ibu adalah tiang utama dalam keluarga kami. Ia bekerja tanpa henti, meski tubuhnya mulai renta. Tangannya gemetar saat mengangkat beban di tempat kerjanya, tetapi ia tidak pernah mengeluh.

Ia sering berkata, “Kita ini harus kuat, Ris. Kalau bukan kita, siapa lagi?” Kata-katanya menjadi pengingat bahwa kehidupan ini memang tidak adil, tetapi kasih sayang bisa membuat kita tetap bertahan.

Ketika aku merasa lelah, aku sering teringat firman Allah yang menggambarkan perjuangan seorang ibu,
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.” (QS Luqman: 14).

Setiap kali aku membaca ayat itu, aku merenungkan bagaimana ibu telah berjuang sejak aku belum mengenal dunia. Mengandungku dalam kelemahan, melahirkanku dengan rasa sakit, dan menyusuiku dengan cinta. Semua itu tanpa meminta imbalan apa pun, kecuali harapan bahwa aku akan menjadi anak yang membanggakannya.

Aku tahu, ibu ingin kami—anak-anaknya—memiliki kehidupan yang lebih baik. Ia rela melawan lelah, mengorbankan masa tuanya demi melihat kami bisa tersenyum di masa depan. Dan aku? Aku hanya berharap bisa menjadi penerus kekuatannya, menjadi tempat ia bersandar di sisa hidupnya.

Dengan gaji dua juta, aku mencoba menyulap kebutuhan keluarga. Terkadang aku harus memilih antara membeli beras atau membayar tagihan sekolah adik-adikku. Tidak ada yang mudah, tetapi aku tahu, setiap sen yang kukeluarkan adalah bentuk kasih sayang.

Setiap malam aku bertanya pada diriku sendiri, “Sampai kapan?” Kadang aku ingin menyerah, tetapi suara hati kecilku selalu berkata, “Bertahanlah, Faris. Adik-adikmu membutuhkanmu.”

Aku ingin suatu hari nanti, ketika mereka telah tumbuh dewasa, mereka akan mengenangku. Bukan hanya sebagai kakak yang memberi mereka makan, tetapi sebagai seseorang yang menunjukkan bagaimana mencintai tanpa batas.

Aku sering teringat kata-kata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Tidaklah seorang hamba mengorbankan sesuatu karena Allah, melainkan Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.”

Aku percaya, meski saat ini aku merasa kehilangan mimpi-mimpiku. Allah pasti punya rencana yang jauh lebih indah.

Di akhir malam, saat semua tertidur, aku memandang mereka, ibu yang beristirahat dari lelahnya, adik-adik yang tidur nyenyak setelah seharian bermain. Aku berbisik pada diriku sendiri, “Hari ini untuk mereka. Mungkin suatu hari nanti, aku juga akan punya hari untuk diriku sendiri.”

Aku ingin dikenang sebagai kakak yang memberikan segalanya demi masa depan mereka. Aku ingin mereka tahu bahwa setiap langkah berat ini adalah cinta yang Allah tanamkan di hatiku untuk mereka.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Orang yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya adalah di jalan Allah.” (HR Thabrani).

Hadis itu menguatkanku. Aku percaya, meski jalan ini sulit, Allah bersama orang-orang yang sabar, seperti firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 153).

Aku berharap, suatu hari nanti adik-adikku akan berkata, “Kami bisa berdiri di sini karena abang kami, Faris, yang tidak pernah menyerah untuk kami.” Hingga hari itu tiba, aku akan terus berjalan, percaya bahwa Allah tidak pernah salah menempatkan hamba-Nya dalam ujian. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *