Oleh: Neti E
(Ibu Rumah Tangga)
CemerlangMedia.Com — “Mau berapa kilo, Kak?”
Suara itu menyadarkan Nina dari lamunannya.
“Eh,” tampak dia berpikir lagi sejenak. “Satu kilo saja, Mbak.”
Di ulurkannya pecahan dua puluh ribuan terakhir di sakunya, sembari menerima kantung beras dari Mbak pedagang. Lalu diterimanya selembar pecahan lima ribuan dan satu koin seribuan sebagai kembalian.
Alhamdulillah. Paling tidak, beras sudah terbeli. Tapi bagaimana dengan esok? Sedang uang pesangon belum kunjung diberikan perusahaan yang telah menjadi tempatnya mengadu nasib hampir tiga tahun ini.
“Ah, mikir buat hari ini aja susah, ngapain mikir besok,” tandasnya.
Sebelum sampai di persimpangan gang depan rumah, sekelebat mata dia melihat penampakan Mbak Rani, tetangganya. Nina pun langsung bergegas berbalik, mencari jalan memutar.
Malas sekali dia bertemu dengan Mbak Rani hari ini. Teringat perkataannya pada Nina tempo hari.
“Ya Allah, Nin, ngapain resign? Nyari kerjaan tu susah, lo, zaman sekarang. Pekerjaanmu tu dah enak. Aku aja pengen, lo, kerja di tempatmu, daripada nganggur gini.”
Nina cuma cengar-cengir menanggapi komentar itu. Bagaimana mungkin dia bisa menceritakan yang sebenarnya bahwa dia menjadi salah satu karyawan yang terkena PHK dan kembali menjadi beban keluarga bersama dua adiknya. Pastilah malu sekali dirinya yang akhirnya bernasib sama seperti Rani.
Rani adalah sepupu Nina. Sudah setahun ini, Rani menganggur karena PHK. Beruntung ibu Rani punya usaha laundry sehingga dia masih bisa bekerja membantu ibunya. Sedang Nina, ibunya hanya tenaga bantu-bantu di warung angkringan.
Nina bingung mau kerja apa setelah ini. Usaha konveksi, banyak yang sedang melakukan PHK. Jadi, kemungkinan harus cari orderan jahit sendiri atau melamar ke butik.
***
Belum sampai masuk rumah, ibu Nina sudah menghadang di depan pintu.
“Ini, dijaitin ya, Nin.”
Tampak ibunya meletakkan mukena di meja jahit. Mukena yang baru tadi pagi diantar oleh Bu Saroh, tetangganya, tukang kredit segala macam barang.
“Lah… Kan masih baru, Buk?” Tanya Nina tanpa berhenti, langsung menuju dapur meletakkan belanjaan.
“Dipake miring-miring. Dibuka aja jahitan sampingnya. Dipepet di obrasan.”
“Mukena dah banyak, kok ya beli lagi to, Buk?”
Nina langsung menuju ibunya di meja jahit. Sekalipun dia sedang malas mengerjakan, setidaknya disanggupi dahulu. Biar ibunya tidak rewel.
“Ya nggak enak to, wong semua di pengajian pada beli. Itung-itung sodakoh juga ke Bu Saroh, sudah ngajarin ngaji.”
“Ni.” Ibunya menunjuk.
“Yang sini dibuka aja, sampe sini.” Kata ibu, sembari menyerahkan mukena pada Nina.
“Sebenernya ibuk nggak begitu suka sama mukenanya, tapi ya, gimana….” Ibu Nina seolah mengiba, minta dimaklumi.
“Tapi, kan nggak harus beli juga. Ibu kan dah punya mukena banyak, aku aja cuma punya satu,” gerutunya. Sayangnya, tidak didengar karena sang ibu telah melesat hilang keluar rumah.
“Bukannya ibadah yang dibagusin, malah mukena terus yang dibagusin.”
Malas sekali dia mengerjakan mukena itu. Dibolak-baliknya ke kanan dan ke kiri. Terlihat bordiran bunga-bunga kuning dan daun-daun hijau menghiasi.
“Ah, dibuka dahulu ajalah, yang penting nyicil.”
Begitulah, yang penting tampak dikerjakan, daripada nanti ibunya rewel beneran, candanya dalam hati.
“Ting!” Sebuah suara notifikasi mengagetkannya.
Tengak-tengok. Nina rupanya lupa di mana ponselnya. Seingat Nina, sebelum beli beras, ponselnya dia letakkan di meja samping televisi.
Benar saja. Ponsel masih di meja dengan bateai 5% yang langsung membuat sungutnya berdiri.
“Rio… kamu ef ef an, ya?” teriak Nina ke adiknya yang dia tahu sedang ada di samping rumah, membenahi kail pancing bersama sepupunya.
“Habis pake ponsel itu, langsung dicas lagi!”
Perintah yang mau tak mau harus dia lakukan sendiri, daripada ponselnya keburu mati.
“Kak, boleh nggak, beli pulsa lima belas ribu?”
Rio yang tadi diteriaki, ternyata telah berdiri di samping Nina sambil mengikat timbal.
“Buat apa? Emang punya uang?” Dengan sewot Nina meletakkan ponsel dalam kondisi tersambung kabel charge di meja.
“Buat nye-pin Kak. Aku punya lima belas ribu. Nanti nye-pinnya sebelas ribu. Sisa empat ribu buat Kakak.”
Tau aja nih, adek, cara melobi sang kakak.
“Dapet uang dari mana kamu?” Waspada itu penting, jangan sampai adiknya melakukan tindak kejahatan, mengambil uang di dompet ibuk, misalnya, pikir Nina.
“Habis jual ikan gabus sama Dika,” cengir Rio.
Nina menghela napas. Halal dan lumayan, nanti dia dapet jatah pulsa empat ribu dari Rio, tapi…
“Nye-pin itu nggak baik, Yo… itu kayak judi. Dapetnya untung-untungan. Ya, kalo dapet yang bagus, kalau gak dapet apa-apa? Sayang, nanti uangnya hilang.”
“Tapi, yang lain pada barengan beli pulsa buat nye-pin, Kak,” rengek Rio.
“Nggak Rio, nggak halal, lo.” Telunjuk Nina menuding.
“Beli es krim aja atau beli apa yang kamu suka.” Nina berlalu, yang berarti sudah tidak ada lagi tawar menawar dengan Rio.
Mau kembali ke meja jahit, rasa malas masih mengumpul. Jadilah dia melipir ke meja makan.
Dibukanya tudung saji. Kaget, Nina menemukan ada makanan ala-ala Italia tersaji manis.
“Fonte-fonte punya siapa ini, Yo?” Teriak Nina seolah menembus dinding samping rumah, tempat Rio yang masih merakit pancingnya.
“Kak Wina tadi yang bawa,” Rio ikut teriak dari samping rumah.
“Ting.” Notifikasi kembali berbunyi.
“Jatuh tempo pembayaran apa ini?” Nina tampak bingung sendiri membaca pesan di ponselnya.
“Besok lagi, ya.” Suara Wina di ujung gang rumah terdengar sayup-sayup.
Tanpa berpikir lama, Nina melesat ke pintu menghadang Wina.
“Win, ponsel Kakak, kamu pake ngapain?” tanya Nina tanpa basa-basi.
“Ngapain?” Wina tampak kebingungan saat ditodong pertanyaan oleh Nina.
“Kakak dapet tagihan dari aplikasi saku-saku. Nggak mungkin Ibu minjem ke saku-saku karena Ibu gaptek. Rio juga nggak mungkin, dia masih kelas tiga SD, belum paham. Jadi, pasti kamu?” tuduh Nina.
“Itu… itu….” Wina tampak bingung memulai cerita.
“Kamu kan, sudah tahu pinjaman online itu berbah…”
“Bukan aku, Kak,” potong Wina sebelum Nina memulai ceramahnya.
“Siska yang pake.” Wina minggir ke samping pintu untuk menaruh tasnya. Tak berani dia menatap wajah kakaknya yang merah padam.
“Siska?” Nina makin bingung.
“Siska pake KTP ibunya untuk pinjem uang. Tapi, Bu Irah, kan nggak punya ponsel. Jadinya, tak pinjemin ponsel Kakak. “
“Yang mau bayar siapa?” Tanya Nina, masih bersungut-sungut.
“Ya Siskalah, Kak, masak aku?”
“Tapi, nagihnya ke ponsel Kakak, Wina…!” sungut Nina.
“Tapi, kan nanti kalo dah dibayar, Kakak nggak ditagih lagi,” tandas Wina.
“Masalahnya, bisa nggak, Siska membayarnya?” tegas Nina, yang kali ini mampu membuat Wina tidak dapat berkata-kata.
Dari yang Wina dan Nina ketahui, Siska teman sekelas Wina di SMK jelas belum berpenghasilan dan hanya mengandalkan uang saku.
Bu Irah, Ibu Siska berjualan sayur di pasar dan sampe sekarang tempat jualannya tidak tetap karena pasar masih dalam proses pembangunan yang tak kunjung usai.
Sedangkan Bapak Siska adalah tukang parkir yang bulan lalu terkena gusur KamTib karena lahan parkirnya ilegal.
“Berapa banyak ngutangnya?” Nina akhirnya meredakan nada suaranya.
“Lima ratus.”
“Bu Irah tau?” Ya, jelas Bu Irah harus tahulah, pikir Nina. Dia tidak mau menanggung utang yang bukan miliknya.
“Tahu, Kak, malah ibunya yang nyuruh ngutang.”
Wina bergeser lagi dan bergegas ke meja makan. Mengambil yang tadi Nina sebut fonte-fonte dan membawanya ke hadapan kakaknya.
“Ini yang ngasih Bu Irah, tanda terima kasih katanya. Enak lo. Kak.”
“Nggak mau, nanti Kakak disuruh ikut nyicil lagi!”
“Ya, enggaklah, Kak. Nanti tak tagihin,” bujuk Wina.
“Ya, sudah, Kakak masak nasi dulu.”
“Nggak usah masak, Kak,” cegah Wina. “Ibu tadi nitip ini.”
Wina mengeluarkan satu kantong kresek dari tasnya. Nina menyambutnya dengan tangan kanan.
“Tadi ketemu ibuk di jalan, suruh bawa pulang. Katanya dari Bu Saroh. Sisa hajatan.”
“Alhamdulillah. Kamu dah makan belum?”
“Belumlah, Kak. Makanan dari Siska aja belum aku makan, nunggu Kakak,” dengus Wina.
“Ya udah, sana makan sama Rio.”
Wina lekas memanggil Rio untuk makan bersama.
Nina membiarkan dua adiknya makan. Dia pun melanjutkan cicilannya menjahit ulang mukena baru ibunya. Bersyukur dalam hati, esok tak perlu pusing mencari beras lagi. [CM/NA]