Oleh: Rizika Nur Azizah
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Langit masih terlihat gelap. Kabut pagi masih menggantung di langit, udara yang dingin seolah tak ingin beranjak dari muka bumi. Kicauan burung terdengar riang ingin menyambut mentari naik.
Beberapa petani berjalan memanggul cangkul menuju sawah. Terlihat seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah putih abu-abu sedang mengayuh sepeda ontelnya. Baskara Praditya, seorang anak laki-laki yang mengenakan kacamata.
Dia adalah siswa sekolah menengah atas yang sangat berprestasi, bahkan sering mengikuti lomba sains nasional untuk mewakili sekolahnya. Saat ini, Baskara duduk di bangku SMA kelas XI.
Baskara dikenal sebagai pribadi yang baik, rajin, dan taat agama. Dia bahkan menjadi guru mengaji di masjid tempat tinggalnya. Tidak hanya itu, dia juga suka membantu warga sekitar dalam kegiatan yang ada di tempat tinggalnya.
Baskara adalah anak yatim piatu. Baskara hidup sebatang kara di rumahnya usai ditinggal pergi kedua orang tuanya. Baskara sudah ditinggal oleh sang ayah saat dia masih berumur 8 tahun. Satu tahun yang lalu, Baskara juga ditinggalkan oleh sang ibu akibat serangan jantung yang dideritanya.
Di dalam keterpurukannya ini, Baskara tidak memiliki siapa pun, sanak saudara tidak tahu menahu dengan nasib Baskara. Namun, beruntung masih ada beberapa orang yang peduli dengan Baskara dan mau membantunya.
Dengan hidup yang sederhana dan tak ada ada satu pun sanak saudara, Baskara tetap bersyukur masih diberi kesehatan dan hati yang tabah untuk menghadapi cobaan yang ada di hidupnya.
Meski pintar dan siswa teladan, bukan berarti kehidupan sekolah Baskara menyenangkan. Baskara selalu mendapatkan perundungan dari teman-temannya. Bahkan, perundungan itu sudah ia alami sejak masih duduk di sekolah dasar.
Baskara tidak punya kekuatan untuk melawan. Menurutnya, melawan hanya akan memperburuk masalah. Untuk itu, dia hanya diam dan memendam sendiri.
Dimas, Rangga, Radit, dan Farhan merupakan sekelompok anaklaki-laki yang selalu melakukan perundungan terhadap Baskara. Mereka adalah anak laki-laki yang nakal, selalu berbuat onar dan masalah di sekolah.
Meski bertahun-tahun menjadi korban perundungan di sekolah, Baskara tidak pernah menyerah dan tidak pernah ada niat untuk putus sekolah.
Setiap hari, Baskara berangkat sekolah dengan mengayuh sepeda ontel peninggalan mendiang ayahnya. Hari ini dia harus berangkat lebih awal ke sekolah karena ada janji untuk mengerjakan PR miliki Dimas dan teman-temannya. Jika ia terlambat dan tidak mengerjakan PR mereka, Baskara akan dihukum oleh Dimas dan teman-temannya.
Di sepanjang jalan menuju sekolah, Baskara terlihat khawatir datang terlambat karena jarak sekolah dengan rumahnya sangatlah jauh, meski dia sudah berangkat lebih awal.
“Aduh, bagaimana ini, sepertinya aku akan terlambat. Bisa-bisa aku akan dihukum oleh Dimas dan teman-temannya. Aku harus cepat-cepat sampai ke sekolah,” ucap Baskara.
Baskara bergegas untuk mengayuh sepedanya. Namun sesampainya di sekolah, bel masuk sudah berbunyi, gerbang sekolah akan segera ditutup. Baskara langsung bergegas masuk, sebelum gerbang ditutup oleh satpam.
Saat Baskara hendak memarkirkan sepedanya, terdengar suara anak laki-laki yang meneriakinya di belakang.
“Hai, c*l*n! Ke mana saja? Jam segini baru datang, bagaimana tugas kami?” teriak salah satu anak laki-laki itu.
Baskara membalikkan badannya dan melihat sekelompok anak laki-laki. Baju seragamnya dikeluarkan dari celana abu-abu yang mereka kenakan, dia Dimas, Rangga, Radit, dan Farhan.
Baskara sangat gemetaran. Ia takut, badannya mulai panas dingin. Baskara takut akan dihukum oleh sekelompok anak laki-laki yang tengah berhadapan dengannya. Sorotan tajam dari mata salah satu anak laki-laki itu seolah memberi kode kepada teman-temannya.
“Sudah mulai berani mengingkari janji, ya?” tanya Dimas.
Baskara yang gemetaran takut dan hanya terdiam tak mengeluarkan satu kata.
“Jangan diam saja, jawab!” teriak Rangga.
“A-aku terlambat, t-tapi aku sudah berangkat lebih pagi. Aku tidak mengingkari janji sama sekali,” jawab Baskara dengan gemetaran.
“Bohonggg!” sahut Farhan.
“Sudahlah, tidak usah banyak bicara lagi. Kita hukum aja si c*l*n ini” Ucap Dimas
Mereka langsung menghajar Baskara. Baskara tidak berani melawan, dia hanya bisa diam dan pasrah.
Saat itu, suasana parkiran sudah sepi. Apalagi parkiran sekolah berada di belakang dan siswa-siswi sudah melakukan pembelajaran di kelas.
Dimas dan teman-temannya terus menghajar Baskara sampai dia tidak berdaya. Wajahnya penuh dengan memar bekas pukulan. Radit mengambil tas Baskara, entah apa yang akan dilakukannya. Baskara hanya bisa diam.
Mereka mengambil bekal dan uang saku Baskara. Ia bahkan merobek buku tulis Baskara, lalu pergi begitu saja meninggalkan Baskara yang lemah dan tidak bertenaga.
Baskara berusaha untuk berdiri, meski badannya masih terasa lemah. Mau tidak mau, Baskara terpaksa tidak mengikuti pelajaran di sekolah karena kondisi badan dan wajahnya yang babak belur.
Baskara pergi diam-diam melewati jalan belakang sekolah agar tidak ketahuan oleh guru dan satpam. Baskara berusaha mengayuh sepedanya dengan secepat mungkin agar segera sampai di rumah, meski kondisi badannya masih sangat lemah.
Sesampainya di rumah, suara azan Zuhur sudah berkumandang di masjid. Baskara langsung mengganti pakaiannya dan segera mengambil wudu untuk menunaikan salat Zuhur. Namun hari ini, Baskara terpaksa harus salat Zuhur di rumah karena dia tidak mau orang-orang mengkhawatirkan dan menanyakan kondisi wajah Baskara yang penuh dengan memar.
Selesai salat, Baskara berdoa kepada Allah agar diberi petunjuk atas kejadian perundungan dan kekerasan yang baru saja ia alami.
“Ya Allah, berilah hamba petunjuk dari kejadian yang telah hamba alami, berilah hamba keadilan atas apa yang mereka perbuat kepadaku, Ya Allah, berikanlah hamba hati seluas samudra untuk memaafkan hal yang membuat hamba sakit. Aamiin ya rabbal alamin.”
Setetes air mata pun mulai membasahi pipinya. Perasaannya kini sangat hancur, Baskara tidak bisa melupakan apa yang mereka lakukan terhadapnya. Pikirannya dipenuhi dengan rasa takut.
Keesokan harinya, Baskara berangkat ke sekolah seperti biasanya, meski wajah dan matanya masih ada memar. Perasaan takut pergi ke sekolah dia lawan dengan tekad yang membara.
Saat Baskara hendak mengeluarkan sepedanya, Bu Yuli, tetangganya datang menghampiri Baskara untuk memberikan bekal. Namun, betapa kagetnya Bu Yuli melihat kondisi wajah Baskara yang penuh dengan memar. Ia menyentuh wajah Baskara, memastikan kondisi wajahnya yang memprihatinkan.
“Baskara, kenapa wajahmu penuh dengan memar?” tanya Bu Yuli cemas.
“Ah, ini, Baskara hanya terbentur karena jatuh dari sepeda kemarin,” jawab Baskara. Ia terpaksa berbohong.
“Saya tidak yakin, Baskara. Jangan bohong! Apa kamu dipukuli oleh temanmu di sekolah? Jawab jujur saja, Baskara,” sahut Bu Yuli.
“Ah, tidak kok, Bu. Ibu saja yang terlalu berlebihan,” Baskara berusaha meyakinkan Bu Yuli.
“Jangan bohong, Baskara! Saya tahu betul, yang mana memar bekas pukulan. Matamu juga ada bekas memarnya dan membengkak. Itu pasti karena kamu dipukuli!”
“Tidak kok, Bu. Ini karena benturan saja,” ucap Baskara.
“Jawab jujur saja, Baskara. Saya tau, kamu diperlakukan tidak baik di sekolah. Kamu jangan diam saja, itu sudah keterlaluan. Sebaiknya, kamu laporkan itu ke pihak sekolah,” ucap Bu Yuli.
“Tidak bisa, Bu, saya tidak punya banyak bukti. Orang-orang di sekolah tidak akan pernah percaya dengan omongan saya,” jawab Baskara pasrah.
Setetes air mata pun membasahi pipinya. Baskara tidak kuasa menahan tangis yang sedari awal ia tahan. Bu Yuli mencoba menenangkan Baskara.
“Baiklah, Baskara. Bu Yuli yakin, kamu bisa melaporkan semua itu. Kamu jangan diam saja, ya. Jika kamu begitu, mereka akan berbuat semaunya saja kepadamu.”
Baskara hanya menganggukkan kepalanya. Sebelum berangkat, ia bersalaman dengan Bu Yuli.
“Bu Yuli, saya berangkat dulu ya, Assalamualaikum,” ucap Baskara.
“Iya, walaikumussalam. Hati-hati di jalan, ya!”
Sesampainya di sekolah, Baskara segera memarkin sepeda. Tepat sekali, saat Baskara masuk ke dalam gerbang, bel berbunyi.
Baskara bergegas untuk menuju ke ruang kelasnya dan segera duduk di bangkunya. Guru sudah datang dan pelajaran pun berlangsung. Tidak sengaja, guru yang mengajar melihat wajah dan mata Baskara.
“Baskara, kenapa wajah dan matamu banyak bekas memar?” tanya sang guru heran.
“Kemaren saya terjatuh dari sepeda, Bu. Wajah dan mata saya terkena benturan,” jawab Baskara.
“Baskara, lain kali kalau bersepeda hati-hati, ya! Untuk kalian juga, kalau berkendaraan hati-hati, khawatirnya nanti seperti Baskara,” ucap Bu guru mengingatkan.
“Iya, Bu,” sahut siswa-siswi di kelas serentak.
Baskara tidak mau memberitahu terlebih dahulu yang sebenarnya terjadi.
Tidak lama kemudian, datanglah Dimas dan teman-temannya dengan pakaian lusuh. Mereka tidak diizinkan masuk oleh Bu guru karena sudah terlambat.
“Kalian ini, sudah terlambat, pakaian tidak rapi dan lusuh, lebih baik kalian berdiri di depan tiang bendera sampai jam pelajaran saya habis!” ucap Bu guru dengan perasaan penuh amarah.
“Baik, Bu,” jawab Dimas dan teman-temannya dengan wajah yang letih dan lesu.
Mereka pun berdiri di lapangan sampai jam pelajaran pertama berakhir. Mereka diawasi oleh salah satu guru kesiswaan.
“Kring…kring…kring”
Tidak terasa, suara bel istirahat telah dibunyikan. Pelajaran pertama pun telah berakhir.
Baskara bergegas keluar kelas untuk menuju ruang BK. Sesampainya di ruang BK, dia disambut hangat oleh Bu Novi, guru konseling.
Baskara langsung saja menjelaskan semua kejadian dan perbuatan yang dilakukan oleh Dimas dan teman-temannya. Baskara memperlihatkan wajahnya yang penuh dengan memar bekas pukulan sebagai bukti bahwa mereka melakukan perundungan dan kekerasan kepada Baskara.
Bu Novi segara melaporkan kasus perundungan dan kekerasan ini kepada kepala sekolah untuk segera memproses masalah itu.
Tidak lama kemudian, Dimas, Rangga, Radit, dan Farhan mendapatkan panggilan dari kepala sekolah untuk segera ke ruangan kesiswaan. Mereka pun memasuki ruangan kesiswaan, di sana sudah ada Baskara, kepala sekolah, dan Bu Novi.
Kepala sekolah tidak banyak berbicara. Ia langsung menyerahkan surat pemberhentian siswa kepada Dimas, Rangga, Radit, dan Farhan.
Mereka yang menerima surat itu pun langsung terkejut.
“Ini surat pemberhentian siswa untuk kami, Pak?” tanya Dimas.
“Iya, benar. Saya sudah tahu, kalian telah melakukan perundungan dan kekerasan terhadap Baskara. Masalah ini telah terdengar ke telinga sekolah lain. Nama baik sekolah kita tercoreng karena perbuatan kalian. Beberapa sekolah telah menandai nama kalian dan tidak akan menerima kalian di sekolah tersebut,” ucap kepala sekolah.
Mereka memohon kepada kepala sekolah agar diberi kesempatan satu kali lagi supaya tetap bisa sekolah di SMA ini. Bahkan, mereka bersujud kepada kepala sekolah dan Baskara, mereka meminta maaf serta menyesali perbuatan mereka terhadap Baskara saat itu.
Suasana ruang kesiswaan dipenuh dengan suara tangisan. Dimas beserta temannya benar-benar menyesali perbuatan yang telah mereka lakukan. Rasanya jika ada mesin waktu, mungkin mereka tidak akan melakukan semua itu.
“Baskara, kami benar-benar minta maaf kepadamu. Kami sangat menyesali perbuatan yang telah kami lakukan kepadamu. Mungkin jika kami berada di posisimu, kami tidak akan sekuat kamu. Karena kelakuan kami sendiri, nama kami tidak diterima di beberapa sekolah. Kami benar-benar sangat menyesal dan kami meminta maaf sebesar-besarnya,” ucap mereka dengan tangisan penuh penyesalan.
“Aku maafkan, bahkan aku tidak ada rasa dendam sama sekali kepada kalian. Aku harap, ini bisa kalian jadikan pelajaran,” jawab Baskara.
Dimas, Rangga, Radit dan Farhan menganggukkan kepalanya. Keempatnya diliputi rasa penyesalan. Mereka terpaksa meninggalkan sekolah yang dicintai ini karena perbuatan mereka sendiri.
Sejak kejadian itu, tidak pernah lagi terdengar kabar Dimas, Rangga, Radit, dan Farhan. Sekarang kehidupan Baskara jauh lebih berwarna dari sebelumnya. Hidupnya sekarang tenteram, aman, dan damai.
Kini Baskara telah mempunyai banyak teman, tidak ada lagi kasus perundungan di sekolahnya. Sudah tidak ada lagi perasaan takut ke sekolah di hati Baskara.
Perundungan dan kekerasan yang Baskara alami menjadi memori di hidupnya karena perundungan senantiasa meninggalkan luka yang mendalam dan susah untuk menyembuhkannya dalam waktu sekejap. Maka dari itu, berpikirlah sebelum bertindak, jangan mudah melakukan kekerasan. Mereka yang melalukan perundungan itu, bisa saja berbalik menjadi korban. [CM/NA]