Oleh: Yasmira
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — “Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita, terkadang kita yang tidak menyadarinya.”
Fahreza termenung dengan tatapan kosong. Wajahnya tampak muram. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada. Coffee latte-nya pun sudah hampir habis, tetapi ia masih belum beranjak sejengkal pun dari kafe.
“Kapan Bapak akan mengembalikan uang saya?” tanya Fahreza untuk yang kesekian kalinya pada Pak Rudi, mantan atasannya di kantor. Mereka berjanji bertemu di kafe siang itu untuk menyelesaikan perkara utang piutang.
Pak Rudi menatap wajah Fahreza dengan tajam, ”Saya sudah bilang, semua akan saya lunasi setelah proyek ini berhasil. Tinggal menunggu pengusaha dari Amerika yang akan menyewa rig kita. Sabar sedikitlah, Za!” sahut lelaki paruh baya itu.
“Kamu tenang saja! Begitu alat itu disewa, jangankan utang saya, kamu akan mendapatkan bonus juga dari proyek ini,” jelasnya panjang lebar.
“Ya, tetapi kapan, Pak? Selalu tidak jadi. Janji Bapak juga mundur terus sejak tiga bulan lalu. Saya butuh uang untuk istri dan anak saya di rumah.”
“Saya juga butuh uang, Za. Bukan hanya kamu, tetapi ya, mau bagaimana lagi? Calon pembelinya masih mempelajari dulu sebelum memutuskan untuk menggunakan alat kita.”
Fahreza menghela napas, berusaha menahan emosinya. Rahangnya terkatup rapat.
“Sudah, begini saja. Saya akan bayar pinjaman ke kamu besok sore, tetapi tidak semua. Setengah dulu, bagaimana?”
“Tidak apa-apa, Pak! Yang penting ada itikad baik untuk membayar. Semoga besok tidak meleset lagi,” ujar lelaki berkaca mata minus tersebut.
“Besok pasti saya bayar!” tandas Pak Rudi meyakinkan.
“Baiklah, saya pergi dulu. Jangan khawatir, besok setengah uang kamu akan saya kembalikan!” Pungkas lelaki bertubuh tambun dan mata sipit itu sambil berdiri.
Sepeninggal Pak Rudi, Fahreza masih termangu. Penyesalan memenuhi hatinya. Seandainya dulu ia mendengarkan kata-kata istrinya untuk tidak terlalu percaya pada orang lain, tentu masalah ini tidak akan terjadi.
Pak Rudi adalah atasan Fahreza di perusahaan kontraktor minyak. Beberapa bulan lalu, terjadi pengurangan pegawai. Fahreza mengajukan diri untuk mengambil pensiun dini. Lelaki itu adalah manajer keuangan di perusahaan tersebut. Rencananya, ia akan menggunakan uang pesangonnya untuk memulai bisnis kacang kedelai Jepang “Edamame”.
Rencana itu tampaknya hanya tinggal rencana karena Pak Rudi mengajaknya berbisnis penyewaan alat-alat pengeboran minyak. Karena merasa sungkan, ia menerima ajakan mantan bosnya itu.
Awalnya bisnis mereka cukup lancar. Mereka sudah memiliki pelanggan yang akan menyewa rig selama setahun. Namun, di bulan ketujuh mulai timbul masalah. Uang yang seharusnya diputar untuk modal, digunakan oleh Pak Rudi untuk berjudi. Setengah bagian uang pesangon Fahreza yang ia serahkan kepada Pak Rudi dan seharusnya sudah bisa kembali dengan keuntungan, habis di meja judi.
Inilah yang membuat Fahreza marah. Saat ia menagih uangnya, jawaban Pak Rudi selalu berbelit-belit. Naira, istri Fahreza sudah pernah mengingatkan bahwa bisnis penyewaan alat berat itu berisiko tinggi. Alih-alih mendengarkan istrinya, lelaki bertubuh tinggi dan rambut lurus itu tetap mengikuti ajakan Pak Rudi. Sekarang, semua kekhawatiran Naira menjadi kenyataan.
Dengan lunglai Fahreza beranjak pulang. Terbayang wajah Naira dan Fayyadh, putra mereka. Ia merasa sedih. Keuangan mereka makin menipis.
‘Apa yang harus aku lakukan ya Allah? Kumohon pertolongan-Mu untuk memudahkan Pak Rudi membayar utangnya. Engkau Maha Kaya dan tidak ada yang mustahil bila Kau berkehendak.’ Lirih Fahreza berdoa saat mengendarai sedan hitamnya pulang.
*****
“Bagaimana Mas? Pak Rudi membayar utangnya?” Tanya Naira sambil membuka pintu saat melihat Fahreza pulang.
“Belum berhasil, Nai. Alasannya menunggu hasil dari proyek. Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menagihnya.” Jawab lelaki itu lunglai sambil membuka sepatunya.
“Makanya, Mas, kan aku sudah ngingetin kamu supaya tidak mudah percaya sama orang! Apalagi ini melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit,” tutur Naira ketus. Ia kesal karena Fahreza tidak pernah mendengarkan kata-katanya.
“Maafkan aku, Nai. Aku juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Aku pikir cukup mengenal Pak Rudi, ternyata dugaanku salah. Iya, Nai. Aku mengaku salah.” Fahreza memandang Naira dengan tatapan penuh penyesalan.
Naira masih ingin menumpahkan kekesalannya, tetapi melihat wajah Fahreza yang kusut dan putus asa, ia tidak tega. Biar bagaimanapun Fahreza adalah imamnya dan mereka sudah berjanji akan saling mendukung dalam kondisi apa pun.
Kini rumah tangga mereka sedang mendapat ujian, Naira sadar, ini bukan waktunya menyalahkan suaminya. Fahreza butuh dukungan dan cintanya untuk melewati semua masalah ini.
“Ya sudah, kita serahkan saja masalah ini pada Allah! Biarlah Dia yang mengatur semua. Ikhtiar kita sudah cukup dengan mengingatkan dan menagih. Selebihnya kita tawakal. Semua terjadi karena izin Allah, Mas,” ujar Naira berubah lembut.
Ia memeluk dan berusaha menghibur suami terkasihnya. “Jangan terlalu dipikirkan soal materi! Mungkin uang itu tidak berkah sehingga Allah mengambilnya. Insyaallah, semua akan ada gantinya. Allah akan cukupkan, selama kita memohon pada-Nya.”
“Iya, Nai. Terima kasih untuk semua pengertian dan pengorbananmu. Maafkan aku karena tidak mendengar kata-katamu.” Fahreza menatap lembut wajah Naira, perempuan yang selalu setia mendampinginya.
Hari-hari pun berlalu.
“Selamat siang, Pak! Saya bisa ketemu Bapak siang ini?” Fahreza menelepon Pak Rudi untuk menagih janjinya.
“Siang, Za! Aduh, maaf ya. Hingga saat ini uangnya belum ada. Saya salah perhitungan. Saya pikir akan ada uang masuk karena rig kita jadi disewa, ternyata saya salah. Rig kita memang disewa, tetapi mereka minta waktu pembayaran di akhir masa proyek. Saya setuju, daripada tidak ada pemasukan sama sekali,” ujar Pak Rudi tanpa rasa bersalah.
“Jadi janji Anda meleset lagi?” tanya Fahreza dingin. “Anda mungkir lagi?” lanjutnya dengan suara keras. Ia sudah tidak peduli dengan sopan santun dan memanggil Pak Rudi dengan sebutan Anda. Hatinya dibakar rasa marah dan putus asa.
“Atau bagaimana kalau kita ke polisi saja, Pak? Supaya bisa ada pembayaran dari pihak vendor.” Fahreza mengancam mantan atasannya.
“Lo, kamu apa-apaan, Za? Nggak percaya sama saya? Menuduh saya maling?” teriak lelaki tambun itu tidak terima.
“Ya, daripada uang saya tidak kembali? Siapa tahu kalau ada campur tangan polisi, uang saya bisa balik, Pak! tukas Fahreza.
“Nggak perlulah. Tunggu dulu sampai bulan depan! Kalau saya tidak bisa bayar, silakan laporkan ke polisi!” tantang Pak Rudi.
“Setuju. Satu bulan ya, Pak?” jawab Fahreza tegas. Ia pun segera mengakhiri percakapan telepon.
Janji Pak Rudi untuk membayar setengah utangnya pun meleset. Fahreza sudah kehabisan kesabaran. Akan tetapi, Naira tidak pernah berhenti memberikan dukungan untuk suaminya. Ia mengingatkan lelaki terkasih itu untuk bersabar dan meyakinkan bahwa semua masalah pasti akan ada jalan keluarnya.
Bagai malam yang makin kelam, menandakan bahwa fajar akan datang. Manusia harus punya harapan meski hanya setitik saja. Mereka harus yakin bahwa harapan itu akan menjadi kenyataan, entah kapan. Tugas mereka hanya berusaha dan berdoa. Berprasangka baik pada Allah.
Tahun terus berganti. Akan tetapi, harapan itu belum berbuah manis. Allah masih ingin mereka bersabar. Hingga suatu saat.
“Nai, tadi aku mendapat pesanan Edamame dari toko buah ‘Green Fruits’. Mereka ingin aku menjadi pemasok tetap di toko itu. Alhamdulillah, dengan begitu kita bisa mendapatkan penghasilan tetap. Kita juga bisa mencoba memasukkan Edamame ke toko-toko atau restoran lain,” kata Fahreza berseri-seri saat menyampaikan kabar gembira sore itu.
“Alhamdulillah. Allah menjawab doa kita. Meski uang kita tidak kembali, tetapi Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Betul kan Mas, Allah berikan yang lebih berkah.” Wajah Naira tampak berbinar. “Selalu ada kemudahan bersama kesulitan. Kita tidak boleh putus asa,” lanjutnya.
“Iya. Saat aku ikhlaskan semua uang yang hilang dan bertobat untuk menjadi lebih baik, Allah berikan jalan keluar mencari penghasilan yang lebih berkah. Kita hanya harus berusaha dan berdoa. Allah sudah tetapkan rezeki tiap umat-Nya.” Fahreza begitu bahagia karena akhirnya ia bisa menggapai impiannya memberikan nafkah yang halal untuk keluarganya.
Kesabaran yang berbuah indah.
-Tamat- [CM/NA]