Oleh: Nor Zenah
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Seorang anak remaja duduk di teras rumah dengan wajah masam. “Kenapa sih, hidup aku gini-gini aja?” Gerutu Dini sambil memandangi beberapa anak kecil yang sedang bermain dengan asyik di luar pagar rumahnya.
Embun Dinihari, biasa dipanggil Dini. Namanya memang terasa menyejukkan, tetapi tidak dengan kepribadiannya.
Dini merupakan seorang remaja yang tinggal di pinggiran kota bersama kedua orang tuanya. Kehidupan mereka bisa dibilang pas-pasan. Setiap pagi, ibu Dini bekerja sebagai penjual nasi bungkus keliling, bapaknya bekerja sebagai kuli pupuk di pabrik.
Di senja hari, saat semua orang kembali ke rumah masing-masing, Dini yang baru pulang ekskul masuk ke rumah dan memanggil ibunya berkali-kali. Sontak saja, ibu Dini kaget. “Astaghfirullah, Dini, ada apa memanggil ibu berkali-kali? Lain kali, kalau mau masuk rumah, ucap salam terlebih dahulu,” ujar ibu Dini.
Bukannya menanggapi apa kata ibunya, Dini malah berkata lain. “Bu, Dini mau ponsel baru, Bu. Ponsel lama Dini nggak secanggih punya teman-teman Dini, Bu.”
“Nak, bukannya ponsel kamu masih bagus? Lagi pula, uang Ibu belum ada, Nak, untuk membeli yang baru,” ucap ibu dengan lembut.
“Ah, Ibu, Dini maunya ponsel baru, Bu. Dini memerlukannya untuk sekolah dan belajar, Bu,” kata Dini menyakinkan ibunya.
“Tapi, Nak, ….” Baru saja ibu ingin berbicara, tiba-tiba bapak datang sepulang dari kerjanya.
“Assalamualaikum. Wah, ada apa ini? Sudah hampir Maghrib malah pada ribut,” tanya bapak dengan heran.
“Waalaikumussalam, Pak. Ini, Pak, si Dini minta dibeliin ponsel baru. Kan bapak tau, kalau kita ini belum ada uang,” keluh ibu.
“Ponsel baru? Bukannya ponsel kamu yang sekarang masih bagus, Dini?” tanya bapak kepada Dini.
“Iya, Dini tau, Pak, kalau ponsel Dini yang sekarang masih bagus, tapi kan Dini, maunya yang baru. Beliin dong, Pak,” pinta Dini.
“Ya sudah, kalau kamu menginginkannya, tapi tunggu dulu ya, Nak. Bapak cari uangnya dulu.”
“Ih Bapak, Dini kan maunya sekarang! Daripada menunggu lama, lebih baik kalung yang Dini pakai, dijual saja, Pak! Biar uangnya bisa dibelikan ponsel baru!”
Sontak ibu Dini menggeleng dan mengatakan tidak. “Tidak perlu, Dini. Bukankah Ibu sudah bilang berkali-kali, jangan jual kalungmu itu, Dini. Benda itu merupakan benda yang berharga buat kamu, Dini.”
Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Dini ingin menjual kalung yang dipakainya itu. Setiap kali ada keinginan Dini yang tidak bisa lekas tergapai, maka Dini berpikir untuk menjual kalungnya. Namun, bapak dan ibu tidak ingin kalung itu dijual oleh Dini.
“Betul apa kata Ibu, kalung itu sangat berharga, Nak. Sebaiknya, urungkan saja niatmu untuk menjual kalung itu, simpan dan jaga baik-baik. Biar Bapak saja yang cari uang untuk membeli apa yang Dini inginkan,” pesan bapak kepada Dini.
Mendengar ucapan bapak, Dini ber-oh ria. “Ya, udah deh, Dini tunggu Bapak cari uangnya, tapi jangan lama-lama ya, Pak. Dini perlu banget.” Sepertinya Dini tidak memahami apa maksud dari perkataan kedua orang tuanya mengenai kalung berliontin itu.
Setelah Dini mengutarakan keinginannya untuk membeli ponsel baru, bapaknya Dini pun menambah waktu kerjanya demi keinginan serta membahagiakan Dini. Hari demi hari berlalu hingga akhirnya Dini mendapatkan ponsel baru.
Namun, lagi-lagi Dini mengeluh akan kehidupannya.
Di malam itu, bapak dan ibu berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. Tak lupa, ibu memanggil Dini untuk makan bersama.
“Dini, sini, Nak, makan malam dulu.” Mendengar namanya di panggil, Dini pun menuju ke meja makan. Ketika sampai di depan meja makan, Dini tiba-tiba bersuara, “Kok lauknya tempe tahu lagi, sih? Dini kan bosan setiap hari makannya itu-itu aja. Gak mau makan, ah!”
“Astaghfirullah alazim, Dini, gak boleh ngomong begitu di depan makanan, ini rezeki!” Ujar ibu seraya memandang Dini.
“Dini, ayo sini, Nak, duduk dulu! Dini jangan ngomong seperti itu lagi, ya. Ingat, tidak semua orang bisa makan dengan layak, bahkan di luar sana, banyak orang yang sedang menahan lapar.”
“Dini, gak masalah kan, kalau lauknya hanya tempe tahu? Hitung-hitung berhemat, kan Dini mau beli tas baru,” timpal bapak.
Bukannya memahami perkataan ibu dan bapak, Dini justru merasa jengkel.
“Ibu kok malah ngebandingin Dini sama orang lain, sih? Itu kan orang lain, bukan Dini sendiri. Lagian, Bapak juga, kenapa sih, kita hidup miskin dan serba kekurangan? Kenapa Bapak gak cari pekerjaan yang lebih besar gajinya? Dini capek, Pak, capek. Dini gak mau hidup susah kayak gini. Mau beli barang aja harus nunggu lama.” Dini merasa kesal dengan situasi. Ia pun pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya.
“Dini, jangan per…! Uhuk, uhuk.” Baru saja ingin memanggil Dini, tiba-tiba bapak batuk dengan sangat keras.
“Astagfirullah, Bapak!” pekik ibu khawatir.
Siapa yang tidak khawatir jika melihat seseorang terbatuk-batuk dengan sangat keras, bahkan mengeluarkan darah!
“Bapak, ayo diminum dulu air hangatnya!” perintah ibu. Bapak meminum air hangat yang diberikan ibu secara perlahan.
“Pak, ayo kita ke rumah sakit. Ibu khawatir dengan kesehatan Bapak,” seru ibu.
“Tidak apa-apa Buk. Kayaknya, Bapak cuma kelelahan kerja lembur ngangkut karung berisi pupuk,” ucap bapak masih terbatuk-batuk, tetapi tetap berusaha menenangkan ibu.
“Pak, tapi Ibu khawatir. Apalagi Bapak kerjanya di pabrik pupuk. Ibu takut kalau Bapak terus-menerus menghirup serbuk pupuk. Sebaiknya, Bapak tidak perlu menuruti semua kemauan Dini, Pak.”
“Iya, Bapak tau Ibu khawatir, tapi Bapak kerja atas kemauan Bapak sendiri, Bu. Bapak kan tulang punggung di keluarga ini, jadi Bapak harus bekerja dengan lebih giat,” ucap bapak dengan yakin.
Mendengar perkataan bapak dengan penuh keyakinan, ibu pun hanya bisa pasrah. Di lain sisi, ibu merasa sedih mendengar perkataan Dini kepada bapak dan dirinya. Siapa yang menduga, perkataan itu akan terucap dari seorang anak yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang.
Ketika bapak hendak menaiki angkot dalam perjalanan pulang menuju rumah, tiba-tiba bapak terbatuk keras hingga mengeluarkan darah. Bapak merasakan sakit yang luar biasa di bagian dada. Seketika tubuh bapak ambruk karena tak kuat menahan rasa sakit. Semua orang berhamburan membantu bapak dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Di lain tempat, ketika ibu hendak minum, tiba-tiba saja gelasnya jatuh. “Astagfirullahal azim, Ya Allah. Kenapa tiba-tiba jatuh?” tanya ibu Dini pada dirinya sendiri. Bersamaan dengan pecahnya gelas, ibu merasakan firasat yang tidak baik.
Dan benar saja, tiba-tiba telepon seluler milik ibu berbunyi. Setelah dilihatnya, ternyata nomor tidak dikenal. Dengan ragu-ragu, ibu pun mengangkat panggilan itu.
Alangkah terkejutnya, ternyata yang menelepon adalah pihak rumah sakit dan menyatakan jika bapak sedang dirawat di sana. Sontak ibu memanggil Dini dan keduanya bergegas menuju tempat bapak dirawat.
Sesampainya di rumah sakit, mereka bergegas menuju ke kamar tempat bapak dirawat. Terlihat seorang pria tua yang badannya terlihat kurus dan lemah terbaring di ranjang rumah sakit. Bapak sedang diperiksa oleh seorang dokter dan suster. Setelah memeriksa, sang dokter dan suster pun keluar dari kamar.
“Apakah kalian keluarga dari pihak Pak Hardin?” tanya dokter guna memastikan.
“B-benar, Dok. Saya anaknya Pak Hardin dan ini ibu saya,” kata Dini terbata-bata.
“Dok, Bapak saya sakit apa?” timpal Dini.
“Berdasarkan hasil diagnosis yang dilakukan, Bapak Hardin mengalami penyumbatan saluran kantung udara di dalam paru-paru. Dan penyumbatan ini telah berlangsung sejak lama sehingga penanganan untuk Bapak Hardin harus dilakukan secepatnya. Bapak Hardin harus melakukan perawatan yang intensif.”
Mendengar pernyataan yang dilontarkan sang dokter, tubuh Dini seketika diam tak berkutik. Ibunya menangis tersedu-sedu. Ia tidak mengetahui, ternyata selama ini, suaminya menyembunyikan penyakit yang ia derita.
Dini melihat bapaknya yang terbaring lemah. Menyadari Dini yang hanya berdiri di ambang pintu, ibu pun memanggil Dini.
“Dini, kok malah melamun. Ayo, sini masuk!” Dini mendekat, berdiri di samping ibunya.
Ibu yang biasanya tabah, kini tampak sangat cemas. Bapak harus mendapatkan perawatan intensif sehingga memerlukan biaya yang tidak sedikit, sedangkan mereka tidak memiliki cukup biaya untuk membayarnya. Melihat ibunya yang bingung, Dini mencoba mencari solusi.
“Ibu, bagaimana kalau Dini jual semua barang-barang Dini, termasuk kalung yang Dini pakai ini? Mungkin uangnya cukup, Bu untuk membantu biaya perawatan Bapak,” usul Dini dengan penuh harap.
Namun, ibu terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kenapa, Bu? Apa Dini tidak boleh menjual kalung ini, Bu? Bukankah kita butuh uang untuk Bapak?” tanya Dini dengan bingung.
Saat itu, bapak yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit membuka matanya dan memanggil Dini dengan suara pelan.
“Dini, kemarilah!” ucap bapak dengan suara yang pelan.
Dini duduk di samping tempat tidur ayahnya.
“Pak, kenapa Ibu selalu tidak ingin Dini menjual kalung ini?” tanyanya lirih.
Mendengar pertanyaan Dini, bapak melihat ke arah ibu. Mata bapak mengisyaratkan ingin memberitahukan sesuatu kepada Dini, ibu mengangguk lemah.
Bapak memegang tangan Dini dengan lembut.
“Ada sesuatu yang perlu Bapak katakan padamu, Nak. Sesuatu yang seharusnya sudah kami ceritakan sejak lama. Tapi Bapak menundanya karena tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
Dini menatap bapaknya dengan penuh rasa penasaran dan cemas.
“Sebenarnya, secara biologis, Nak Dini bukan anak kandung dari Bapak dan Ibu. Dahulu, Bapak dan Ibu kesusahan untuk memiliki anak hingga pada suatu hari,” bapak mengingat kembali kala ia menemukan bayi mungil di depan rumahnya.
“Pagi-pagi sekali, Bapak mendengar suara tangis bayi di teras rumah. Ternyata ada seorang bayi terbungkus selimut yang ditinggalkan begitu saja oleh orang tuanya. Di samping selimut itu tertinggal seutas kalung berliontin.”
Dini terperanjat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat.
“A-aku bukan anak kandung kalian?” ucapnya.
“Iya, Nak. Kami sudah mencari tau keberadaan kedua orang tua kandung Dini sejak lama, tetapi hasilnya nihil. Kalung itu merupakan satu-satunya barang peninggalan dari orang tua kandungmu. Maafkan kami telah merahasiakan ini semua. Kami ingin memberitahumu lebih awal, tetapi kami tidak ingin psikologismu terganggu dan menurut kami, inilah waktunya.”
Tanpa disadari, air mata membasahi pipi Dini. Perasaannya campur aduk antara kaget, bingung, dan bersalah. Selama ini, Dini selalu mengeluh dan merasa hidupnya kurang, tanpa menyadari betapa besar kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tua angkatnya. Ternyata ini alasannya mengapa mereka tidak ingin Dini menjual kalung itu.
“Maafkan Dini, Pak, Bu,” ucap Dini sambil menangis.
“Dini tidak pernah bersyukur dan selalu saja minta ini dan itu. Maafkan, Dini, Pak… Maafkan, Dini….”
Malam itu, Dini menangis dalam pelukan kedua orang tua yang telah merawatnya sejak kecil. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Dini merasa betapa berartinya kehadiran mereka. Dini menyesali semua perbuatan dan perkataan yang telah menyakiti kedua orang tuanya. Dini berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik, lebih bersyukur, dan lebih menghargai setiap hal yang Dini miliki.
Orang tua kandungnya mungkin tidak ia ketahui, tetapi kasih sayang sejati yang Dini terima dari bapak dan ibu adalah segalanya. Itulah yang mulai dipahaminya bahwa keluarga sejati tidak selalu tentang darah, tetapi tentang hati yang tulus memberikan cinta tanpa syarat. [CM/NA]