Oleh: Zakiah Ummu Faaza
CemerlangMedia.Com — Sayup-sayup dari kejauhan terdengar lantunan azan Subuh begitu merdunya dari salah satu masjid terdekat. Kubuka mata ini dan bangkit dari mimpi indah, kemudian berwudu. Air yang begitu dingin serasa menusuk tulangku. Lalu aku melaksanakan salat Subuh.
Rasanya ingin sekali kumenyelinap kembali ke dalam selimut yang hangat, melanjutkan mimpi indah di hari libur. Namun tidaklah demikian, ada agenda yang mesti ditunaikan dan datangnya setiap bulan, yaitu berkumpul bersama teman seperjuangan yang memang wajib dihadiri.
Seperti biasa, langkah kaki ini bergegas untuk menyiapkan sarapan pagi untuk suami tercinta dan anak- anak tersayang. Saat aku memasak, terdengar suara serak anak bungsuku, Faaza memanggil, “Umi… Umi, sini Umi!” kata anakku. Tampaknya ia ikut terbangun karena mencium aroma masakan kesukaannya, sayur sup dan telur dadar pakai kecap.
Setelah itu ia pergi sendiri ke kamar mandi untuk membersihkan badannya, kemudian mengambil jilbab coklat favoritnya dan khimar berwarna biru yang disukainya. Begitupun dengan anak keduaku, Faqih, yang dari tadi sudah terbangun dan melaksanakan salat. Namun karena sekolah libur, ia tertidur kembali di atas kasurnya.
Jarum jam menunjukan pukul. 07.00 WIB, saatnya berangkat ke tempat kajian. Di sela menyimak kajian, aku melihat beberapa list chat teman-teman di grup CemerlangMedia yang akan hadir dalam agenda offline. Sebenarnya ragu untuk berangkat karena harus menjaga anak-anak, sebab suami juga ada agenda yang harus ditunaikan, yaitu mengajar les di akhir pekan.
Pengennya kita itu mabar, alias main bareng, tetapi masing-masing ada agenda yang ditentukan sehingga mabar tidak lagi menjadi prioritas. Aku berpesan kepada suami, sebelum berangkat mengajar, aku dan anak-anak diantar ke Sempur karena akan ketemu dengan teman-teman CemerlangMedia. Hari itu bertepatan dengan pertemuan para penulis, khususnya yang berada di Kota Bogor.
Sikap dingin dan raut wajah yang kaku menandakan ia tidak mengizinkanku untuk berangkat ke Sempur. Sebab, aku baru saja pulang kajian bulanan, terus harus berangkat lagi dan tanpa ia temani, baginya sesuatu yang tidak biasa.
Namun, aku sampaikan bahwa ini adalah momen yang langka, bu pemred jauh-jauh datang dari Kalimantan. Aku mencoba seribu bahasa dan rayuan untuk meluluhkan hatinya, perjuangan yang luar biasa untuk bisa diizinkan ke Sempur. Alhamdulillah pada akhirnya ia mengantarkan aku dan anak-anak ke sana.
Angin berhembus begitu dingin terasa menusuk tulang. Aku masih duduk di bangku taman menanti kedatangan teman-teman. Waktu yang ditentukan adalah pukul satu siang, tetapi sepertinya aku peserta yang paling duluan datang.
Di situ wajah suamiku terlihat kesal karena ia juga harus bergegas berangkat. Ia ingin memastikan bahwa ada teman CM juga di Sempur karena khawatir meninggalkanku, sementara ia mengejar waktu. Bola mataku menoleh ke kanan dan ke ke kiri, berharap ada yang datang.
Jarum jam menunjukan pukul 13.00 lewat, suamiku memintaku untuk pulang saja, mungkin tidak jadi acaranya. Ia juga menyarankanku untuk pulang karena langit sudah terlihat mendung.
Di tempat parkiran motor, tampak perempuan bergamis merah, kerudung hitam, dan berkacamata serta membawa dua anak. Sepertinya tidak asing, Teh Titin dan keluarga. “Alhamdulillah, akhirnya ada juga yang hadir, artinya suamiku bisa meninggalkanku di sini,” ucapku. Tidak berapa lama, suamiku beranjak dari sisiku dan melaju dengan motornya.
“Teh…!” aku setengah teriak memanggil Teh Titin. Rintik air hujan mulai membasahi dedaunan yang tertiup angin, rumput hijau tampak berkilauan dibasahi air hujan. Sebagian teman-teman mulai hadir saling susul-menyusul.
Hujan makin deras, aku dan teman-teman CM berlarian untuk mencari tempat berteduh. Kami pun berteduh di pos sekitar Sempur. Dari kejauhan terlihat Teh Titin berjalan bersama dengan sosok perempuan hitam manis berbadan tinggi, kurus, mengenakan jilbab pink berjaket coklat. Sudah kutebak, itu adalah Mbak Rahma.
Kami semua menghampiri untuk menyapa dan tidak lupa menyiapkan kamera ponsel untuk bergaya bersama guna mengabadikan momen yang langka ini. Makin lama hujan makin deras mengguyur Kota Hujan, kami pun memutuskan untuk berteduh di lorong Sempur.
Di situ, kita mulai menggelar tikar yang dibawa Teh Titin dan kawan-kawan. Teh Titin mulai mengeluarkan nasi liwet buatannya. Begitupun teman-teman yang lain, menyiapkan camilan dan snack yang mereka bawa.
Suasana canda tawa menghangatkan suasana yang dingin. Kami larut dengan ocehan masing-masing, seolah tidak peduli dengan waktu serta cucuran air hujan yang terus mengguyur Sempur.
Di sela-sela obrolan, Mbak Rahma membagikan buku antologi puisi Palestina. Sebelumnya, aku tidak tergabung di komunitas penulis puisi Palestina dan tidak ada coretanku sama sekali di buku tersebut.
Aku belum lama bergabung di komunitas penulis CemerlangMedia. Itu pun secara tidak sengaja sebenarnya. Berawal dari ponselku yang rusak, kemudian akunnya pun menghilang.
Sebelumnya, aku rutin menulis sebagaimana umumnya dan mengirimkan naskah ke media lain yang kadang kala memang diterbitkan oleh media tersebut karena mungkin lagi benar tulisannya. Hanya saja, aku belum pernah mengirimkan naskah ke CemerlangMedia.
Lalu, aku pun meminta pada salah seorang sahabat yang memang mengetahui link dan jalurnya untuk mengirimkan tulisan. Kemudian diberikan nomor WhatsApp Mbak Rahma. Aku coba mengirimkan naskah perdanaku waktu itu, tetapi banyak sekali koreksinya dan sepertinya tidak layak untuk dimuat.
Beberapa kali naskah yang aku kirimkan selalu banyak kesalahan. Akan tetapi, aku makin tertantang dengan koreksi dan masukan dari Mbak Rahma padaku terkait tulisan-tulisan yang kukirim. Aku berpikir, ke mana saja aku ini, sudah sekian purnama akau menulis, tetapi rasanya asal-asalan.
Sebelumnya, hanya menulis saja targetku, tidak ada harapan untuk dimuat. Kalau dimuat, ya, alhamdulillah. Setelah itu, Mbak Rahma menyarankan agar aku mengikuti kelas opini yang diadakan CemerlangMedia. Aku sambut dengan semangat karena menurutku itu memang perlu untuk bekal penulis.
Setelah diberikan ilmu kepenulisan melalui kelas opini dan juga kelas self editing, sepertinya tulisanku sedikit demi sedikit berangsur membaik dibandingkan sebelumnya yang tidak tahu arah. Hasilnya pun tampak, beberapa tulisanku lalu lalang di CemerlangMedia, alhamdulillah. Jazakillah khairan ya, Mbak Rahma dan tim yang senantiasa merevisi dan membuat naskahku dimuat. Itulah isi hatiku yang membuat aku semangat untuk bertemu, walaupun banyak iklannya di perjalanan.
Masyaallah, aku sangat senang sekali bertemu dengan sahabat CemerlangMedia secara offline. Selain itu, aku pun sangat senang karena bisa memiliki buku antologi puisi Palestina serta bisa membaca karya teman-teman CemerlangMedia yang sangat keren dan luar biasa, masyaallah. Rasanya aku ingin menyelipkan puisi di buku tersebut.
Nada dering ponselku berbunyi. Aku lihat panggilan suamiku sudah beberapa kali. Panggilannya tidak terdengar karena derasnya suara air sungai di samping lorong yang aku dan teman-teman CemerlangMedia tempati.
Aku mencoba telepon balik. Suamiku memintaku untuk bergegas pulang karena waktu sudah terlalu sore. Aku memintanya agar menungguku di area bermain anak karena aku dan anak-anak berada tidak jauh dari tempat itu.
Aku meminta waktu sebentar, aku masih ingin bersama teman-teman CM. Akhirnya, suamiku membolehkan dan ingin menungguku sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain.
Waktu begitu cepat berlari, menandakan bahwa ada pertemuan pasti ada perpisahan. Pertemuan ini memang singkat, tetapi bagiku penuh makna. Aku berharap semoga nanti ada pertemuan kembali, seperti saat ini.
Sebelum akhirnya kami berpisah, kami berpose bersama di depan tulisan Sempur. Setelah itu kami pun bersalaman dengan Mbak Rahma dan mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas waktu yang diberikan. Aku berharap, semoga pertemanan CM ini menjadi wasilah untuk menggapai rida-Nya. Aamiin.
Terlihat dari kejauhan, tepatnya di parkiran motor, sang pangeranku dengan kacamata dan mengenakan jaket hitam ditemani anak-anak yang sedang menungguku. Dia sudah bersiap untuk melajukan kendaraaanya sambil meneguk sebotol air mineral. “Ayo, Mi, keburu ujan lebat, sudah terlalu sore!”
Akhirnya, aku pun bergegas naik motor untuk pulang. Alhamdulillah, pertemuan dengan sahabat CM bisa aku ikuti sebagai motivasi untuk melayakkan diri menjadi penulis sejati yang mengharap rida Ilahi. [CM/NA]