Oleh: Zakiatul Husna
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Di sebuah kota besar, tinggallah seorang gadis yang cantiknya bak bidadari. Suatu hari, dia teringat akan kejadian yang menimpanya—sebuah peristiwa yang meninggalkan luka, tanpa bekas dan nyaris tidak terlihat. Gadis yang lembut dan penyayang itu harus menghadapi trauma masa lalunya.
Aluna Putri Maheswari, gadis berusia 18 tahun, putri dari pasangan Maheswari Pramana dan Viola Ganesha. Namun, setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan tunggal, gadis itu hidup sebatang kara dan hanya ditemani pembantu dan supir pribadinya.
Dia bersekolah di Diamond High School, sekolah menengah atas ternama di kotanya. Dia dipanggil Luna oleh teman-teman dan keluarganya. Aluna adalah gadis mandiri dengan segudang prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Dia juga pintar dalam mengelola perusahaan yang diwariskan kepadanya.
Aluna adalah gadis yang lembut dalam tutur kata sehingga membuat semua orang terpaku oleh sifat dan perilakunya yang begitu baik. Aluna memiliki dua sahabat yang selalu bersamanya di sekolah, yaitu Sasha Dewantara dan Vanya Wijaya. Mereka berdua adalah sahabat terbaik Aluna.
Saat melihat Luna sedang duduk membaca novel, Sasha dan Vanya pun memanggil dan menghampirinya. Keduanya duduk berdampingan dengan Aluna. Sambil membaca novel bersama, mereka bertiga bercanda ria di gazebo sekolah.
Tak lama kemudian, lonceng pulang berbunyi. Aluna, Sasha, dan Vanya berjalan beriringan keluar gerbang sekolah sambil menunggu jemputan mereka masing-masing.
Sesampainya di rumah, Aluna langsung masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia mulai membersihkan diri dan melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah itu, ia membuka walk-in closet untuk berganti pakaian.
Aluna mulai menjelajahi setiap sudut kamarnya dan menemukan sebuah album foto tua yang berisi gambar-gambar masa kecilnya bersama kedua orang tuanya.
Tiba-tiba Aluna merasakan pusing. Kenangan kejadian itu berputar di memori kepalanya—kejadian yang membuat kedua orang tuanya meninggalkan Aluna untuk selamanya.
Aluna berjalan menuju balkon kamarnya sambil menghirup suasana angin malam dan berzikir untuk menenangkan pikiran dan jiwanya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, ia kembali ke kamar dan melepaskan lelah yang tersisa dari kemarin.
Aluna merebahkan diri di atas ranjang tidur yang empuk, semua beban hari itu seolah lenyap seketika. Matanya perlahan terpejam, alam mimpi pun menyambutnya.
**
Pagi datang menyelinap dengan lembut. Sinar matahari mengintip malu-malu dari balik tirai. Kicauan burung-burung di luar jendela menjadi musik alam yang menyapa telinganya, membawa ketenangan dan membangunkannya dari tidur lelap.
Aluna membuka matanya. Gadis itu merasa lebih segar dan siap menghadapi hari yang baru.
Setelah melaksanakan salat Subuh, Aluna bersiap untuk ke sekolah. Setiap gerakannya diiringi rasa syukur atas pagi yang indah.
Dengan langkah ringan, ia menuruni anak tangga. Aroma masakan yang menggoda menyambutnya begitu ia mendekati ruang makan.
“Pagi, Bibi!” Sapa Aluna dengan senyum yang indah, membuat suasana pagi itu makin hangat.
Bi Neta, asisten rumah tangga yang baik hati dan setia itu selalu mengerti selera Alun. Ia menyambut majikannya dengan wajah cerah.
“Pagi, Nona! Makanan kesukaan Nona sudah saya siapkan,” katanya dengan nada penuh kasih.
Mata Aluna berbinar melihat hidangan favoritnya tersaji rapi di meja. “Terima kasih, Bi,” ucapnya dengan penuh rasa terima kasih.
Aluna duduk dan mulai menyantap hidangan yang sudah disiapkan Bi Neta. Setiap suapan terasa begitu nikmat. Tidak hanya karena rasanya yang lezat, tetapi juga karena kehangatan dan perhatian yang terkandung di dalamnya.
Aluna menikmati setiap momen, menghabiskan suapan demi suapan. Ia siap untuk menghadapi hari yang penuh tantangan di sekolah.
“Nona, mobil sudah siap. Mari saya antar,” kata Pak Maman, sang supir pribadi sambil mempersilakan Aluna masuk ke mobil. Mobil itu mulai membelah jalan kota, berbaur dengan kendaraan lain menuju sekolah.
“Terima kasih, Pak.” Ucap Aluna kepada Pak Maman sambil membuka pintu mobil yang sudah berhenti di depan gerbang sekolahnya.
Pak Maman mengangguk sambil menatap Aluna dengan penuh perhatian. Senyum tulus selalu terukir di wajah sopir yang ramah itu.
Aluna melangkah masuk ke pekarangan sekolah. Suasana sekolah sudah mulai penuh dengan suara tawa dan obrolan teman-teman yang sudah berkumpul. Dengan semangat, Aluna melangkah ke dalam, siap menjalani hari penuh petualangan di sekolah.
Tiba-tiba, suara ceria Vanya memecah kesunyian pagi. “Luna!” teriaknya sambil melambai, diikuti oleh Sasha yang berlari mendekat dengan napas terengah-engah.
“Halo, Guys,” ucap Aluna dengan semangat, matanya berbinar melihat teman-temannya.
“Kita masuk kelas, yuk! Bentar lagi bel masuk dibunyikan,” tambahnya mengingatkan kedua sahabatnya tentang waktu yang terus berjalan.
Mereka bertiga melangkah menuju kelas sambil bercanda dan tertawa. Suasana penuh keceriaan mengisi koridor sekolah. Tiba-tiba, bunyi bel masuk terdengar nyaring.
Suara itu mengingatkan mereka bahwa pelajaran akan segera dimulai. Dengan cepat, mereka melangkah masuk ke dalam kelas, siap untuk memulai pelajaran.
Tepat pukul 09:00 WIB, bel istirahat berbunyi. Anak-anak kelas XII IPA mulai berhamburan keluar kelas menuju kantin.
“Vanya, Sasha, yuk, ke kantin! Gue lapar, nih,” ajak Aluna. Perutnya terasa keroncongan.
Sasha dan Vanya saling memandang sejenak, sebelum mengiyakan secara bersamaan. Suara mereka penuh semangat. Ketiganya sudah tidak sabar untuk menikmati makanan yang ada di kantin.
Mereka bertiga melangkah beriringan, suara tawa ketiganya mengisi koridor sekolah yang ramai. Setiap langkah diiringi dengan kisah-kisah seru dan candaan yang membuat suasana makin ceria. Rona wajah mereka bersinar penuh semangat saat melewati banyak ruang kelas, seolah-olah semua masalah dunia ini terlupakan sejenak.
Dengan langkah cepat, mereka bergerak menuju kantin. Aroma makanan yang menggugah selera makin dekat. Bayangan bakso hangat yang kenyal dan segelas jus jeruk yang segar mengisi pikiran ketiganya, membuat perut mereka makin berdendang.
Setibanya di kantin, suasana riuh rendah menyambut mereka. Mereka bergegas memesan bakso sambil berbagi tawa ketika salah satu dari mereka melontarkan lelucon konyol.
Uap panas dari mangkuk bakso menggoda selera. Ketiganya mengangkat gelas jus jeruk dan bersulang, “Untuk persahabatan dan hidangan lezat!” ucap mereka kompak. Ketiganya pun berdoa dan makan dengan lahap.
“Oh ya, Guys, gimana kalau habis dari kantin, kita mampir ke perpustakaan?” tanya Aluna dengan semangat di sela-sela makan. Matanya tampak berbinar-binar.
Sasha mengangguk, setuju. “Boleh juga, tuh! Sambil mencari bahan untuk ujian. Kan, beberapa bulan lagi kita bakal menentukan pilihan masing-masing,” katanya dengan nada serius. Satu pentol bakso terakhir mendarat mulus di mulut Sasha.
Semua tahu, waktu makin dekat untuk mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Sekecil apa pun persiapan mereka, tentu sangat berarti untuk masa depan.
**
Bel sekolah berbunyi, menandakan waktu pulang. Suasana sekolah yang tadinya penuh dengan suara tawa dan diskusi, berganti dengan suara langkah kaki menuju pintu keluar. Perlahan, suasana sekolah mulai sepi,
Vanya melihat ke arah gerbang dan tersenyum melihat mobil jemputannya sudah menunggu. “Guys, aku pulang duluan, ya, jemputanku sudah datang.” Katanya sambil melambaikan tangan.
Aluna dan Sasha mengangguk. Keduanya tersenyum dan membalas lambaian tangan Vanya.
“Hati-hati, Van!” seru Sasha. Mereka berdua menunggu di depan sekolah sambil mengobrol tentang rencana sore itu.
Tidak lama kemudian, mobil jemputan Aluna tiba. Ia meraih tasnya dan beranjak berdiri. “Dadah, Sha! Gue pulang, ya.” Ucapnya sambil melangkah menuju mobil.
Sasha tersenyum hangat dan mengangguk. “Iya, Lun. Sampai ketemu besok, ya! Jangan lupa bawa catatan untuk kita review bareng!” balas Sasha mengingatkan.
Aluna melambaikan tangan sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil. Mereka berdua tahu, meski hari ini berakhir, persahabatan dan semangat belajar mereka akan terus berlanjut untuk membawa mereka ke masa depan yang lebih cerah.
**
Jarum jam menunjukkan pukul 08:00 malam ketika Aluna turun ke ruang makan. Aroma masakan menguar di udara, menyambutnya dengan kehangatan yang menenangkan.
Di meja makan, Bi Neta, sudah menyiapkan hidangan seperti biasanya. Bi Neta menyambut Aluna dengan senyum lembut.
“Mari, Nona, makanan sudah saya siapkan.” Kata Bi Neta dengan suara hangat sambil menunjuk ke hidangan yang tersaji rapi.
Aluna tersenyum. Ia merasa bersyukur. “Terima kasih, Bi,” sahutnya tulus, menghargai perhatian yang selalu diberikan oleh Bi Neta.
Sesaat sebelum makan, Aluna memandang Bi Neta dengan lembut. “Bibi, apakah boleh menemani aku makan?” tanyanya dengan nada penuh harap.
Bi Neta tertegun sejenak. Ia merasa ragu. “Apakah tidak apa-apa, Nona?” tanyanya, meski hatinya penuh rasa senang mendengar permintaan itu.
Aluna mengangguk, senyumnya makin lebar. “Tidak apa-apa, Bi. Aku ingin kita makan bersama.”
Dengan hati yang hangat, Bi Neta duduk di kursi sebelah Aluna. Suasana makan malam itu pun terasa berbeda, penuh keakraban dan kehangatan.
Mereka berbagi cerita dan canda sehingga momen sederhana itu menjadi begitu istimewa. Seolah-olah meja makan yang sederhana itu menjadi tempat bertemunya dua hati yang saling memahami.
**
Sinar mentari pagi menembus celah-celah jendela. Aluna terbangun dari tidurnya. “Selamat pagi dunia yang penuh dengan tipu-tipu,” ucapnya.
Aluna mulai membuka ponselnya dan melihat ruang chat yang sejak ia bangun terus saja berbunyi. Ternyata, itu adalah pesan dari kedua sahabatnya.
Room Chat: Sahabat Sepanjang Masa
“Selamat weekend, Guys!” ucap Vanya.
“Semangat weekend, semuanya!” sahut Sasha.
“Weekend juga, Guys,” tambah Aluna.
“Eh, Guys, bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman sambil refreshing? Rasanya mumet banget di rumah terus. Sekalian, aku ingin berkunjung ke makam Ayah dan Bunda,” ucap Aluna.
“Yuk, kita pergi!” jawab kedua sahabatnya.
**
Ketiga gadis cantik itu merasa senang. Mereka membeli berbagai macam jajanan, seperti tahu bulat, cilok, dan es krim sambil bercanda dan tertawa.
Suasana ceria di sekitar mereka membuat waktu terasa berlalu begitu cepat. Dengan ditemani sinar langit sore yang hangat, mereka duduk di atas rumput sambil menikmati makanan dan berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari.
Langit senja mulai menampilkan pesonanya, membentangkan warna-warni indah yang menyapa bumi dengan lembut.
“Oh ya, Guys, aku pamit duluan, ya. Soalnya, aku mau ke makam Ayah dan Bunda,” ucap Aluna dengan nada lembut.
“Okee, Lunn, Hati-hati di jalan!” sahut kedua sahabatnya dengan khawatir.
“Kalau butuh apa-apa, kabarin kita, ya!” tambah Sasha.
“Tentunya! Makasih, Guys. Sampai jumpa nanti!” balas Aluna sebelum melangkah pergi.
Beberapa menit kemudian, Aluna telah sampai di makam kedua orang tuanya. Ia terduduk lemah di samping makam, air matanya mulai berjatuhan. Aluna tak kuasa menahan tangis. Hatinya teriris mengingat kejadian yang membuat jiwanya hancur bak kepingan kaca.
Hujan mulai turun dengan deras, tetapi Aluna tetap setia di samping makam kedua orang tuanya. Suara hujan yang jatuh seolah menjadi irama kesedihan yang menyertai hatinya.
Dengan penuh harapan, Aluna berdoa agar orang tuanya tenang di sisi Allah, dikelilingi kasih sayang dan rahmat-Nya. Setiap tetes air hujan yang menyentuh wajahnya seakan menggambarkan rasa rindunya yang mendalam, seolah menyampaikan pesan kasih sayang yang takkan pernah pudar.
Setelah puas mencurahkan segala isi hatinya, Aluna berjalan menuju mobil yang terparkir di seberang jalan. Hari itu ia sengaja tidak menggunakan sopir pribadinya, Pak Maman. Dalam keadaan mata yang berat, mobil Aluna membelah jalanan kota.
Luka di hati Aluna mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, tetapi ia mulai belajar untuk hidup dengan luka itu. Aluna menyadari bahwa hidup adalah tentang perjuangan, ada sakit dan tertawa, ada sedih dan bahagia.
Namun, satu hal yang ia harus lakukan, yaitu menerima semua yang sudah menjadi takdir-Nya. Dengan begitu ia akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat.
Beberapa jam kemudian, mobil Aluna memasuki gerbang rumahnya. Ia melangkahkan kakinya menuju lantai atas dan langsung membuka pintu kamar. Pakaiannya yang basah kuyup mulai sedikit mengering. Aluna menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Langit malam dihiasi bintang-bintang, Aluna kembali duduk di balkon rumahnya, menikmati angin malam yang sejuk. Rutinitas malam yang selalu ia lakukan sejak kedua orang tuanya berpulang.
Di dalam hatinya, Aluna tahu bahwa perjalanan untuk menyembuhkan luka kerinduan itu masih panjang. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aluna merasa bahwa ia mampu melangkah ke depan.
Aluna terbangun pada pukul 03:00 WIB dini hari. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk mengambil wudu dan melaksanakan salat Tahajud.
Aluna ingin menghilangkan kegelisahan hati karena rindu kepada ayah dan bundanya. Selesai salat dan berdoa untuk kedua orang tuanya, Aluna mengambil Al-Qur’an dan melantunkan ayat-ayat-Nya hingga Subuh menjelang. Sejenak, hati Aluna mulai terasa tenang.
Tak terasa, cahaya mentari pagi masuk lewat tirai jendela kamar, menerangi wajahnya. Aluna masih duduk beralaskan sajadah. Sedari selesai Subuh, Aluna enggan beranjak.
Gadis itu masih diam merenungi semua kenangan bersama ayah dan bundanya. Rindu yang dirasakannya begitu dalam, seakan tak pernah bisa terobati. [CM/NA]