Oleh: Fakhriyah Ahlamah
CemerlangMedia.Com— Desir angin terasa sejuk dari sawah depan sekolahan. Tampak anak perempuan tengah duduk di sana. Kerudung putih panjang yang dipakainya menambah anggun gadis itu. Sorot mata yang teduh dan senyuman manis terlukis indah di wajahnya. Dia adalah sahabatku, Nur Faizatus Saidah yang biasa dikenal dengan sebutan Ida.
Ida melambaikan tangan agar aku menghampirinya. Sudah biasa, kami pulang sekolah bersama. Melewati jalan favorit dengan hiruk-pikuk jalanan dilengkapi dengan canda tawa riang terbawa suasana pasar Leuwiliang yang ramai. Setelah melewati keramaian, kami pun masuk ke jalan yang lebih kecil dengan disuguhkan pemandangan sawah yang indah. Suasana pun menjadi syahdu.
Anak perempuan di sebelahku memulai percakapan. Seketika aku memalingkan pandangan karena sepertinya obrolan kali ini menarik. Ida menjelaskan tujuan hidup manusia. Diikuti pertanyaan dari mana asal manusia, mau apa di dunia, dan akan ke mana? Belum pernah ada yang menanyakan hal ini kepadaku. Dahiku mulai mengeryit, aku mencerna setiap kata yang keluar dari ucapannya.
Dia memang terkenal sebagai anak yang cerdas dan salihah. Dari kelas satu SD tidak ada yang bisa menggeser peringkatnya. Kini kami di kelas empat SD dan belum ada yang bisa menandinginya. Tidak heran jika setiap ucapan yang keluar darinya itu brilian.
Aku sangat takjub dengan pemikiran yang dibawanya saat itu tentang kehidupan, manusia, dan alam semesta. Dari sahabatku itulah aku yang awam ini mengenal tentang Islam, dari sisi yang lain juga mengenalkanku pada sebuah perjuangan yang mulia. Perjuangan yang sampai saat ini aku tapaki, walaupun banyak onak dan duri yang mengiringi.
Fakhriyah kecil saat itu mulai mengikuti pengajian dan masyiroh kala itu. Momen yang tidak akan pernah terlupakan di saat kami berlarian di kelas dengan memegang bendera Rasulullah, al-Liwa dan ar-Rayah. Seakan ingin menyebarkan ghirah yang kami bawa dari masyiroh kemarin kepada teman-teman.
Tidak hanya itu, Ida adalah sosok yang menjadikan Fakhriyah kecil tertantang untuk belajar lebih giat lagi. Ida saja bisa menjadi anak pintar dengan segudang prestasi, kenapa aku tidak bisa. Dengan tekad kuat, aku berazam untuk bisa ranking 5 besar di kelas.
Singkat cerita, ujian akhir semester telah selesai, saatnya mengumumkan hasil. Saat itu, aku tidak terlalu berharap lebih, tetapi Allah memberikan yang lebih baik dari yang aku harapkan. Dengan tangis bahagia dan syukur yang terus kupanjatkan dengan menyebut asma Allah, subhanallah, walhamdulillah, Allahu Akbar. Fakhriyah kecil menduduki rangking dua dari yang sebelumnya rangking 10 terbawah. Sebuah pencapaian yang luar biasa.
Dengan bahagia kupeluk sahabatku yang ada di sampingku. Ida tetap pada posisinya di peringkat pertama. Tetesan air mata terus mengalir sampai membasahi piagam penghargaan yang berada di tanganku. Dari atas panggung terlihat raut wajah penuh kebahagiaan dari orang tuaku. Aku berkata dalam hati, “Penghargaan ini untuk Umi dan Abi.” Sambil tersenyum kepada mereka.
Setelah itu Fakhriyah kecil dipercaya oleh sekolah untuk mengikuti berbagai macam perlombaan, antara lain lomba mengarang bebas, cerdas cermat, dan sains. Aku sangat antusias dan akhirnya dapat menjuarai hingga tingkat kota dalam perlombaan sains.
Sebuah pengalaman hidup yang tidak akan pernah dilupakan. Kepingan memori semasa sekolah dasar masih melekat kuat di ingatan menjadi titik tolak bagiku menuju hidup yang lebih mulia yaitu, hidup meraih rida Allah.
Sahabatku Ida, kini sudah menyandang gelar doktor dan menjadi dosen di usianya yang menginjak 30 tahun di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia. Sementara Fakhriyah kini menjadi salah satu pegawai negeri sipil dengan jabatan tenaga medis di salah satu rumah sakit daerah.
Dari sahabatku itulah, Allah mengajarkanku untuk menjadi orang yang terus belajar tanpa lelah, haus akan ilmu, dan terus berkontribusi untuk kebangkitan Islam. Imam syafi’i berkata, “Jika kita tidak dapat menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan.” [CM/NA]