Penulis. Hanim Novitasari
“Jauhilah olehmu sebagian besar dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah keburukan (dosa).” (QS Al Hujuraat: 12)
CemerlangMedia.Com — Bidadari surga? Ah aku tidak percaya. Apa yang ke luar dari mulut Lien sama sekali tidak sesuai dengan fakta. Berkali-kali Lien mengingatkanku untuk tidak mengumbar perasaan kepada lawan jenis.
“Fit, perasaan suka pada lawan jenis itu adalah fitrah yang Allah anugerahkan pada kita. Patut kita syukuri. Namun, kita juga harus mengelola perasaan suka itu. Jangan sampai perasaan suka kita menjerumuskan kita pada hal-hal yang diharamkan Allah,” begitu tuturnya.
Awalnya aku mengiyakan apa yang disampaikan Lien padaku. Lien adalah siswi yang aktif di rohis sekolah kami. Dia juga sahabat yang baik, yang selalu sabar mendengarkan gerutuanku, keluh kesahku, dan selalu menasihatiku.
Namun, akhir-akhir ini banyak hal aneh yang terjadi pada Lien. Semenjak gosip kedekatan Lien dengan salah satu putra ustaz di sekolah kami, Lien lebih banyak menyendiri dan sering pulang duluan. Tak jarang, ia juga tak pergi ke sekolah.
Kekecewaanku pada Lien semakin menjadi-jadi, ketika gosip yang menerpanya itu menerpa siswa laki-laki yang sudah lama aku idolakan. Bahkan Lien tau itu bahwa aku sangat-sangat menyukai Fahmi, sang ketua kelas sekaligus putra ustadz Muadz.
Hari ini, lagi-lagi Lien tidak masuk ke sekolah.
Mimi, teman sekelasku menyeletuk, “Fit, tuh Lien lagi-lagi nggak masuk sekolah.”
“Ya, mana aku tau,” jawabku cuek.
“Lah, kamu tau sendiri kan. Calon menantu ustadz mah bebas mau masuk sekolah atau tidak, guru-guru juga tidak ada yang menanyakan ke mana perginya Lien.” Kekehnya sambil berbisik-bisik.
“Jangan sok tau deh, Mi. Kalau yang kamu katakan tidak betul, itu namanya fitnah,” jawabku sambil mulai gerah dengan tingkah Mimi.
“Kalau yang aku katakan betul, berarti gibah ya! Astaghfirullah.” Kata Mimi masih cengengesan.
Aku hanya terdiam, merenungi apa yang dikatakan oleh Mimi. Mengapa Lien lagi-lagi tidak masuk sekolah? Mengapa dia tidak membalas pesanku? Bukankah selama ini aku sahabatnya, yang bahkan semua isi hatiku, aku curahkan padanya. Apakah betul Lien menghindar dariku, karena Fahmi? Apakah dia berencana pindah sekolah, agar hubungannya dengan Fahmi tidak aku ketahui? Pikiranku melayang tak karuan, berangan yang tidak-tidak pada Lien.
Keesokan harinya, aku membulatkan tekad untuk mengunjungi rumah Lien sepulang sekolah. Ini hari kedua dia tidak masuk sekolah.
“Assalamualaikum,” ucapku di depan pagar rumah Lien.
Suasana rumah Lien begitu sepi.
“Assalamualaikum, Lien! Ini aku Fitri,” teriakku lebih keras. Namun lagi- lagi tak ada jawaban. Nampaknya tak ada orang di rumahnya. Hatiku semakin hampa. Ya Allah, ada apa dengan Lien? Bahkan pesanku sejak 3 hari yang lalu tak kunjung dibacanya. Aku pulang, dan melangkahkan kaki ke rumah. Tiba-tiba hujan datang cukup deras, memaksaku untuk berteduh di sebuah toko di dekat rumah Lien.
“Fit! Ngapain kamu di sini?” tanya seseorang mengagetkanku.
“Astaghfirullah, Mimi! Kamu bikin aku kaget saja.” Kataku sambil mengelus dada.
“Hehe… maaf, ini kan toko milik Bibiku, Fit. Jadi aku ada di sini membantu bibiku.” Jawab Mimi sambil tersenyum.
“Oh gitu… Bolehkan aku numpang berteduh di sini?” tanyaku meringis.
“Boleh aja sih, asalkan kamu juga harus belanja di sini.” Jawabnya terkekeh sambil menjulurkan sebotol air mineral padaku.
Aku hanya diam, tak berani menerima pemberian Mimi.
“Ambil nih, aku yang traktir,” kata Mimi.
“Alhamdulillah… rezeki. Terima kasih, Mimi yang baik,” jawabku.
Aku mengobrol dengan Mimi beberapa saat, menceritakan kenapa aku ada di sini saat ini. Tiba-tiba sesuatu mengalihkan perhatian kami.
“Subhanallah! Coba lihat apa yang ada di hadapan kita, Fit.” Kata Mimi tiba-tiba bangkit dari duduknya.
Aku melongo, melihat ayah Lien ke luar dari mobil ustadz Muadz. Ustadz Muadz tidak turun dari mobilnya, hanya sekilas aku melihat beliau sempat bersalaman sebentar dan saling mengucapkan salam. Kemudian mobil ustadz Muadz kembali melaju, dan ayah Lien segera masuk rumah karena hujan masih cukup deras.
Mimi menepuk-nepuk pundakku dengan keras.
“Ini semua ketentuan Allah Fit, kamu digerakkan oleh Allah untuk datang ke sini supaya kamu melihat fakta!” ujarnya menggebu-gebu penuh semangat.
“Fakta apa maksudmu, Mi?” tanyaku sambil masih terheran-heran.
“Fakta kalau Lien, sahabat baikmu ternyata kini dalam perjodohan dengan lelaki yang paling kamu idamkan, Fit.” Katanya sambil berwajah iba.
“Atas dasar apa kamu bicara begitu, Mi?” tanyaku.
“Buktinya, Lien sedang kena gosip kalau dia dekat dengan Fahmi. Bahkan pernah kan suatu ketika mereka berdua sama-sama gak masuk sekolah? Kamu pasti ingat kan? Dan sekarang, kita temukan bukti lain bahwa ternyata memang kedua orang tua Lien dan orang tua Fahmi ada kedekatan khusus,” jawabnya sambil menganalisa.
Aku menunduk. Hatiku serasa hancur. Apakah benar yang dikatakan Mimi? Lien adalah sahabatku. Dia sangat mengetahui bahwa aku teramat sangat menyukai Fahmi. Tapi, dia selalu mengingatkanku untuk tidak memelihara perasaan pada Fahmi. Apakah benar karena mereka berdua dijodohkan? Aku teramat sangat patah hati.
***
“Lien, aku tidak percaya kamu sungguh mengkhianati aku,” jari jemariku dengan cepat mengetik pesan kepada Lien. Tanpa kuduga, Lien dengan cepat membalas pesanku.
“Assalamualaikum, Fitri. Maaf, aku baru sempat balas pesanmu. Beberapa hari ini aku kurang sehat. Maafkan aku, Fit. Jika beberapa hari tidak ada kabar, kenapa Fitri bicara begitu?” jawab Lien dalam pesannya.
Aku menghela nafas panjang, kemudian kembali mengetik pesan untuk Lien.
“Oh, kamu sedang sakit ya? Maaf aku tidak tahu. Semoga cepat sembuh,” jawabku. Kumasukkan ponselku kembali ke dalam tas. Aku tak mau membaca pesan dari Lien. Entah kenapa hatiku sakit sekali rasanya. Aku kembali melangkahkan kaki menuju ke sekolah. Suasana pagi ini begitu berbeda. Tak ada sinar matahari seperti biasa.
“Fit! Fitri!” Terdengar suara Mimi dari belakangku. Aku enggan menoleh, sambil terus saja melangkahkan kaki.
“Fit, sombong amat. Astaghfirullah.” Kata Mimi menepuk punggungku.
“Kenapa lagi?” jawabku.
“Ya Allah, Fit. Sebegitunya kamu padaku, aku cuma mau kasih info penting lho!” kata Mimi.
“Info dari kamu itu picisan, Mi! Gosip belaka.”
“Astaghfirullah, ini sungguh valid tau!” jawab Mimi lagi.
“Info apa memangnya?” tanyaku.
“Tadi pagi, sebelum berangkat ke sekolah, aku mampir ke toko bibiku. Kata bibiku, semalam jam 11 ada ambulan datang ke rumah Lien,” jawabnya.
“Ambulan? Maksudnya gimana. Ada yang sakit?” tanyaku kaget.
“Kata bibiku, Lien sakit. Orang tuanya memanggil ambulan untuk mengantar ke rumah sakit,” jawab Mimi.
“Oh pantas, tadi Lien mengirim pesan padaku kalau dia kurang sehat, tapi ya syukurlah kalau sudah dibawa ke Rumah Sakit. Pasti sudah diberi tindakan, insyaallah Lien segera sehat,” jawabku.
Sampai di kelas, aku langsung duduk di bangku. Kupandangi bangku di sebelahku yang sudah kosong beberapa hari ini. Biasanya, Lien pasti menyambutku dengan senyum saat aku datang. Kemudian dia akan mendengarkan ceritaku dengan antusias. Kubuka kembali ponselku untuk memeriksa apakah Lien sudah membalas pesanku atau belum.
“Terima kasih doanya, Fitri. Aku rindu sama kamu nih! Insyaallah, kalau aku sehat, kita makan bareng lagi ya di kantin seperti biasa. Aku yang traktir deh,” jawab Lien dalam pesannya.
Aku hanya tersenyum, lalu kumasukkan kembali ponselku ke dalam tas.
Bel masuk berbunyi, siswa-siswa yang tadinya masih di luar kelas berhamburan masuk ke kelas masing-masing. Fahmi, sang ketua kelas terlihat terlambat datang. Ia terengah-engah dan langsung terduduk di bangkunya.
“Masyaallah, Fahmi,” batinku kagum melihat pesona Fahmi. Ia tidak hanya tegas, tapi juga masyaallah, betul-betul idaman semua wanita. Tapi jika betul Fahmi dijodohkan dengan Lien, sepertinya mereka cocok. Apalah aku, yang tidak begitu cantik, tidak begitu salihah, pasti aku bukan termasuk menantu kriteria ustadz Muadz.
Lalu kalau setelah lulus mereka menikah, apakah aku akan diundang? Apakah aku akan kuat melihat Fahmi bersanding dengan Lien? Kenapa nasib cintaku begini ya.
“Assalamualaikum wr wb…” tiba-tiba ustadzah Ine, pengajar bahasa Arab masuk kelas.
“Waalaikumsalam wr wb…” jawab anak-anak serentak.
Pelajaran pun dimulai. Ustadzah Ine masih antusias menjelaskan perbedaan fi’il dan isim. Sementara aku, masih termenung melihat ke luar jendela. Di luar hujan turun. Terlihat siswa-siswa yang sedang olahraga di lapangan bergegas berlari untuk berteduh. Tiba-tiba guru olahraga masuk ke dalam kelas, menemui ustadzah Ine. Entah apa yang mereka bicarakan, ustadzah Ine langsung minta izin untuk ke luar sebentar.
Siswa-siswa tampak riang ketika ustadzah Ine ke luar kelas. Beberapa ada yang langsung duduk selonjoran di lantai, ada juga yang langsung ke luar kelas menghirup bau tanah yang tersiram hujan. Tidak lama kemudian ustadzah Ine kembali ke kelas dengan terburu-buru.
Wajahnya tampak pucat, kemudian berkata
“Anak-anak, Innalillahi wainailaihi rajiun. Teman kita, Liena Nurrohmah, baru saja dipanggil oleh Allah Swt..”
Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak.
“Innalillahi wainailaihi rajiun. Ya Allah, Lien,” ungkap salah seorang teman perempuanku dengan keras.
Tiba-tiba tubuhku lemas, pandanganku gelap. Seseorang berteriak, “Fitri pingsan, Ustadzah!”
*******
Aku mulai membuka mata perlahan, saat menyadari aku sedang terbaring di UKS.
“Sudah bangun, Fit?” tanya Mimi.
Dia membantuku untuk bangkit, lalu memelukku sambil menangis.
“Sabar ya, Fit. Sabar.” Kata Mimi sambil tersedu-sedu.
Aku kembali mengingat kejadian sebelum terbaring di UKS.
“Sekarang semua sudah berangkat takziah ke rumah Lien, kalau kamu mau kesana, aku temani kamu Fit.” Katanya lagi sambil masih tersedu-sedu.
Aku hanya diam dan mengangguk pertanda setuju.
Suasana di rumah Lien begitu ramai, terlihat siswa-siswa yang berseragam putih abu-abu berlalu lalang di sana. Beberapa karangan bunga mulai memenuhi jalan depan rumah Lien. Terlihat juga para asatidz hadir, termasuk ustadz Muadz. Mimi memapahku, membimbingku berjalan perlahan memasuki rumah Lien.
“Sebentar lagi jenazah akan disalatkan, bagi yang ingin ikut menyalatkan jenazah, saya persilakan untuk berwudhu,” ucap seorang pria yang menggunakan gamis dan peci putih.
“Fit, mau ikut salatin?” tanya Mimi.
Aku mengangguk sembari berjalan mencari tempat untuk berwudhu. Tiba-tiba ibunda Lien datang menyambutku dan memelukku.
“Tolong maafkan kesalahan Lien ya, Fit,” bisik ibu Lien.
Tangisku pecah mendengar perkataan ibunda Lien. Tak mampu aku membendung air mata.
“Insyaallah, Lien sudah senang, tidak merasakan sakit lagi. Selama ini, dia menjalani kemoterapi dibantu oleh dokter Fatimah, istri Ustadz Muadz,” katanya lagi.
Aku semakin tercengang, ke mana saja aku selama ini? Bahkan tidak tau kalau temanku sedang sakit parah hingga harus kemoterapi?
Hatiku semakin hancur melihat tubuh sahabatku terbujur kaku. Ia sudah rapi terbalut kain putih, bersiap untuk menjumpai sang Illahi Robbi.
“Lien, maafkan aku telah berburuk sangka padamu. Sungguh, kamu wanita mulia yang terjaga kehormatannya, bidadari surga, hatiku sungguh jahat menimpakan fitnah itu padamu,” bisikku.
Tak lama, beberapa orang segera masuk ke rumah untuk menyalatkan jenazah Lien. Setelah itu, puluhan orang berbondong-bondong ikut mengantarkan Lien hingga ke peristirahatan terakhir. Mimi menggenggam tanganku erat sepanjang perjalanan menuju ke pemakaman.
“Fit, semoga Allah mengampuni dosaku, aku begitu berdosa pada Lien. kalau Allah panggil aku juga, tolong mintakan ampunan untukku ya,” kata Mimi pelan.
Kugenggam tangan Mimi dengan erat sambil mengencangkan istighfar.
“Astaghfirullah… Astaghfirullah….”
“Maafkan aku Lien, ampuni aku ya Allah…”
****
“Jauhilah olehmu sebagian besar dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah keburukan (dosa).” (QS Al Hujuraat: 12) .[CM/NA]