Suami Pilihan Abi

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Yeni Nurmayanti

CemerlangMedia.Com — Aku pikir setelah hijrah, semua keadaan akan lebih baik. Ternyata tidak seperti yang aku harapkan. Saat aku sibuk mengerjakan tugas skripsi, Allah memanggil umiku. Betapa hancur dan kecewa hatiku saat itu.

Umi adalah tempatku berkeluh kesah, berbagi cerita di kala suka dan duka, rujukan saat mencari solusi tanpa khawatir ceritaku bocor ke mana-mana. Di balik hijrahnya diriku, ada doa Umi yang setiap saat tanpa kenal lelah agar aku menjadi anak yang lebih dekat dengan Rabbnya.

Aku kehilangan sosok Umi yang selalu ada untukku. Terlebih lagi, aku adalah anak tunggal, aku merasa makin sepi hidup tanpa Umi. Begitupun dengan Abi, ia kehilangan sosok istri yang selalu setia mendampingi di saat susah maupun senang.

Pasca hijrah, aku memang lebih dekat dengan Umi karena teman-temanku semuanya menjauhiku. Mungkin karena setiap mereka mengajak untuk nongkrong-nongkrong di mall, di club malam, menonton konser musik, atau nonton ke bioskop, aku selalu menolak mereka.

Kemudian setiap aku mengajak mereka untuk hadir ke kajian-kajian ustaz/ustazah yang viral di medsos, mereka selalu menolak dengan berbagai alasan. Akhirnya mereka meninggalkanku.

Namun entah kenapa, meskipun sendiri, aku semangat mengikuti kajian ustaz/ustazah yang isi kajiannya digandrungi kalangan anak muda. Aku mendapatkan jadwal kajian offline para asatiz dari media sosial.

Dari kajian tersebut, aku mulai mendapatkan teman hingga circle yang baru. Aku mulai ikut kajian mingguan hingga bulanan. Setelah lulus kuliah, aku mengajar di SMAIT.

Saat usiaku dua puluh tiga tahun, aku merasa sudah siap untuk membina rumah tangga. Aku menyampaikan kesiapanku untuk membina rumah tangga kepada ustazah pembina kajianku.

Beberapa bulan kemudian ustazah menyampaikan bahwa ada ikhwan yang siap menikah. Aku pun diminta bertukar biodata dengannya. Setelah satu minggu, ikhwan tersebut berniat melanjutkan ke jenjang lamaran dan pernikahan. Satu bulan kemudian ikhwan tersebut datang kerumah untuk melamarku dan menentukan tanggal pernikahan.

Aku dan Abi menerima lamaran mereka. Kami sepakat dalam tiga bulan akan melangsungkan pernikahan. Setelah tiga bulan, semua rencana berjalan lancar hingga kartu undangan pun sudah siap disebar.

Esok harinya, ikhwan tersebut meneleponku. “Assalamu’alaikum, Aluna. Ana minta maaf, sepertinya ana tidak bisa melanjutkan pernikahan ini karena ana belum bisa move on dari wanita yang dahulu pernah taaruf dengan ana. Dahulu orang tuanya tidak setuju dan sekarang orang tuanya setuju,”ucap si ikhwan.

“Wa’alaikumussalam, kenapa baru bilang sekarang? Besok undangan sudah siap untuk disebar, keluarga dari Abi sudah tahu semua tentang kabar pernikahan kita. Kenapa harus saat ini, antum kasih kabar?” Aku menjawab telepon dengan isak tangis dan air mata yang tidak berhenti mengalir di pipi. Rasa malu bercampur kecewa dan sedih menjadi satu.

“Iya, maaf. Ana telah membuat kecewa, semoga anti mendapat pengganti yang lebih baik dari ana. Ana tidak bisa menikah dengan wanita yang ana tidak sukai. Sebelumnya ana telah mencoba, tetapi tidak bisa. Ana memilih menikah denganmu karena desakan orang tua, juga pelarian semata.” Ia lalu menutup teleponnya setelah mengucapkan salam, seolah tidak peduli dengan perasaanku.

Abi pun sangat kecewa dengan apa yang telah dilakukan ikhwan tersebut. Namun, Abi menguatkanku bahwa di balik semua ini pasti ada hikmahnya. Abi memintaku untuk bersabar. “Lebih baik terlambat menikah daripada menikah dengan laki-laki yang salah, seumur hidup itu lama, Nak,” sahut Abi menghiburku.

Dua minggu kemudian aku mendengar kabar pernikahan ikhwan tersebut. Setiap hari aku menangis hingga mataku bengkak dan kepalaku pening. Tidak ada tempat untuk cerita selain kepada Allah Swt,. Agar bisa move on, aku memilih meningkatkan ibadahku, dari salat duha, tahajud hingga berpuasa Senin dan Kamis.

Setelah lima bulan kemudian, ustazahku kembali menawarkan ikhwan yang siap untuk menikah. Namun karena rasa sakit dan trauma belum hilang dari ingatanku, aku pun menolaknya. Hingga usiaku mencapai dua puluh lima tahun, aku mulai membuka hati untuk mencari calon suami.

Kebetulan ada ikhwan yang siap menikah dan ingin berta’aruf denganku. Kami bertukar biodata dan bertanya tentang visi dan misi, ternyata visi dan misi kami sama. Kemudian ikhwan tersebut meminta waktu untuk berbicara dengan kedua orang tuanya.

Setelah satu minggu berlalu ia memutuskan untuk tidak melanjutkan ke proses selanjutnya karena orang tuanya tidak setuju dengan alasan usiaku terlalu tua. Mereka ingin calon menantu di bawah usia dua puluh tiga tahun. Aku kembali kecewa, tetapi itu tidak membuatku stres seperti dahulu.

Satu tahun kemudian, aku kembali mencoba untuk berta’aruf dengan seorang ikhwan. Sayangnya, ikhwan tersebut kembali menolakku dengan alasan usiaku yang sudah tua dan bukan kriterianya. Ia ingin wanita yang cantik, putih, tinggi, dan langsing.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan putus asa tidak ingin melakukan ta’aruf lagi. Aku lebih fokus memperbaiki diri. Abi merasa iba melihatku terus-menerus gagal untuk mendapatkan calon suami.

Abi mengajakku pergi umrah dengan menghabiskan semua uang tabunganya. Aku sudah menolak permintaan Abi karena uang itu untuk biaya hidup Abi mengingat usia Abi sudah 65 tahun. Namun Abi bersikukuh ingin pergi umrah bersama. Akhirnya aku luluh juga dan mengikuti keinginan abi.

Akhirnya kami pergi umrah. Di sana kami berdoa dan beribadah dengan khusyuk. Hingga sampai di hari terakhir umrah malam itu, Abi pergi keluar hotel untuk membeli oleh-oleh yang belum sempat Abi beli di siang hari. Namun Abi lupa membawa ponsel dan saat hendak kembali ke hotel, Abi lupa nomor kamar hotelnya. Lama, Abi mencari kamar hotel yang ditempati.

Abi kemudian mencoba satu persatu membuka pintu kamar hotel dengan kunci hotel yang Abi punya. Tidak ada satu pun pintu yang terbuka hingga ketika Abi akan mencoba membuka pintu selanjutnya, pintu itu terbuka sendiri. Abi kaget dan penghuni kamar juga kaget melihat orang asing yang tiba-tiba berdiri di depan pintu.

Sorry, Mr,” Abi meminta maaf dengan wajah bingung dan kaget. Hanya kata itu yang bisa Abi katakan karena Abi tidak mengerti bahasa Inggris.

Yes, no problem, can i help you, and where are you from?” balas orang itu.

I am from Indonesia,” sahut Abi.

“Oh, saya juga dari Indonesia. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Orang itu menawarkan bantuan dengan tulus.

“Ya Allah, Nak. Bapak tersesat, lupa dengan nomor kamar hotel yang bapak tempati, dari tadi bapak sudah keliling mencoba satu persatu mencocokkan kunci hotel ini, tetapi belum berhasil.” Abi menceritakan keluh kesahnya.

“Baik, Pak, saya bantu cari kamar Bapak, ya. Tadinya saya hendak mencari makanan di luar hotel.” Laki-laki asing itu pun membantu Abi.

Sambil mencari kamar hotel, laki-laki itu memperkenalkan diri, Hamzah bin Ahmed. Ia keturunan Arab, ia umrah bersama ibunya, ini umrah yang ke tiga kalinya bagi Hamzah. Setiap ibunya ingin umrah atau ingin ke manapun, Hamzah selalu siap mengantar.

Tidak terasa, akhirnya Abi berhasil menemukan kamar hotel. Abi meminta Hamzah untuk masuk dan beristirahat sebentar setelah lama berkeliling mencari kamar Abi. Abi menceritakan bahwa ia juga pergi umrah bersama putri semata wayangnya karena istrinya sudah lama meninggal dunia dan ternyata Hamzah juga anak tunggal.

“Nak Hamzah, apakah sudah menikah dan berapa usianya?” tanya Abi pada Hamzah.

“Belum, Pak, kebetulan saya selalu ditolak oleh wanita yang hendak saya nikahi karena mereka tidak ingin setelah menikah tinggal bersama ibu saya. Mereka ingin hidup terpisah dengan mertua, sedangkan kondisi ibu saya sudah tua dan lumpuh, butuh perhatian khusus dan hanya saya anak satu-satunya. Jadi, tidak mungkin saya meninggalkan ibu saya.”

“Di rumah, saya menyediakan suster yang membantu merawat Ibu, tetapi mereka tetap tidak mau tinggal bersama Ibu. Itulah kenapa saya selalu gagal mendapatkan calon istri hingga usia 35 tahun. Saya tidak mungkin meninggalkan Ibu sendirian pasca Ayah meninggal,” jawab Hamzah.

“Mohon maaf, jika berkenan, sudikah Nak Hamzah menikah dengan putri Bapak, Aluna Puspita. Usianya sudah 30 tahun. Ia juga selalu mengalami kegagalan saat proses ta’aruf. Putri Bapak tidak secantik wanita Arab, tetapi menurut Bapak, ia wanita paling cantik sejagat raya.” Abi tersenyum saat memuji putri semata wayangnya disusul dengan senyuman Hamzah.

“Jika Ibu menyukai putri Bapak dan putri Bapak bersedia tinggal bersama mertua, maka saya akan setuju jika ibu saya setuju,” jawab Hamzah kepada Abi.

Kemudian Abi menunjukkan foto Aluna dan berbagi foto dengan Hamzah. Abi juga meminta foto Hamzah untuk ditunjukkan kepadaku.

“Aluna pasti mau tinggal dengan mertuanya karena ia merindukan sosok seorang ibu,” kata Abi menyakinkan Hamzah.

Kemudian Hamzah pamit dan ia berjanji akan mengabari secepatnya. Hamzah menyimpan nomor Abi, begitupun dengan Abi. Setelah dua jam, Hamzah menelpon Abi, ia menyampaikan bahwa ibunya ingin bertemu dengan Aluna.

Abi pun mengatur pertemuan sebelum kembali ke tanah air. Sementara Hamzah dan ibunya masih memiliki waktu dua hari lagi untuk kembali ke tanah air.

Abi bergegas meneleponku dan menceritakan semua yang terjadi pada Abi. Namun, aku merasa ragu. Aku merasa minder setelah melihat foto Hamzah karena di antara laki-laki yang pernah berta’ruf denganku, Hamzah laki-laki paling ganteng di antara mereka.

Aku trauma karena yang kurang ganteng saja menolak, apalagi dengan pria ganteng seperti Hamzah. Aku merasa minder tidak pantas untuknya.

Abi lantas memintaku untuk salat istikharah, “Jangan berkecil hati, siapa tahu dia memang jodoh yang Allah siapkan untukmu. Kita tunggu esok hari, bagaimana respons ibunya Hamzah kepadamu,” sahut Abi. Aku pun merasa sedikit lega setelah mendengar perkataan abi.

Esok harinya kami bertemu dengan Hamzah dan ibunya. Aku tidak berani menatap Hamzah. Aku hanya tertunduk malu, “Namamu Aluna, ya? Berapa usiamu?” tanya ibunya Hamzah kepadaku.

“Iya, Bu. Usia saya 30 tahun. Aktivitas saya mengajar di SMA IT,” jawabku.

Ibu Hamzah kembali bertanya, “Apakah kamu mau menikah dengan Hamzah dan tinggal denganku juga?”

Aku menjawab, “Iya, saya bersedia.”

Kemudian ibu Hamzah mengatakan bahwa nanti setelah umrah, ia dan Hamzah akan berkunjung ke rumahku. Ia pun meminta alamat rumah kami dan aku memberikannya. Lalu kami pun pamit kepada mereka untuk kembali ke tanah air.

Setelah dua minggu aku di tanah air, ibu Hamzah meneleponku. Ia memberi tahu akan datang ke rumahku untuk acara lamaran esok hari.

Hari yang ditunggu pun tiba. Hamzah beserta ibunya datang untuk melamarku dan menentukan hari pernikahan. Kami memutuskan, satu bulan lagi akan mengadakan pesta pernikahan.

Aku mulai resah dan teringat akan kegagalan di masa lalu. Setiap hari aku selalu berdoa agar acaranya lancar hingga hari H tiba. Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba.

Pesta pernikahan berjalan sesuai rencana kami, yaitu memisahkan tamu laki-laki dan perempuan. Teman-teman satu profesiku memberiku ucapan selamat dan tidak menyangka aku bisa menikah dengan laki-laki keturunan Arab.

Setelah menikah, suamiku meminta Abi turut serta bersamanya agar tidak tinggal sendirian, tetapi Abi menolak. Abi lebih suka tinggal sendiri. Lalu suamiku berjanji akan sering-sering berkunjung ke rumah Abi.

Sesampainya aku di rumah suamiku, mertuaku memperlakukanku dengan baik. Ia menganggapku seperti anaknya sendiri, begitu juga denganku. Aku merasa mendapatkan sosok ibu yang selama ini aku inginkan.

Setelah satu tahun kami menikah, kesehatan ibu mulai menurun dan akhirnya Allah memanggil ibu mertuaku. Untuk kedua kalinya aku harus kehilangan sosok ibu. Aku tak kuasa menahan kesedihanku.

Beberapa bulan pasca kepergian ibu, suamiku meminta Abi tinggal bersama kami. Awalnya Abi menolak, tetapi suamiku tak pantang menyerah membujuknya hingga akhirnya Abi luluh juga dan bersedia tinggal bersama kami.

Di tahun kedua pernikahan, kami mendapatkan kabar gembira. Aku dinyatakan hamil, suami dan abiku begitu gembira mendengar kabar baik ini. Suamiku makin protektif menjagaku, mengingat aku hamil di usia yang tidak muda lagi. Aku bersyukur, Allah masih memberiku kesempatan untuk menikah dan hamil.

Saat tengah malam tiba, perutku merasakan sakit yang luar biasa yang belum pernah aku alami sebelumnya. Aku membangunkan suamiku karena setelah aku dari toilet rasa sakit tak kunjung hilang.

Suamiku pun akhirnya bergegas menuju rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung di bawa ke UGD. Perawat di sana mengatakan bahwa aku sudah mengalami pembukaan lima dan akan segera melahirkan. Setelah menunggu selama satu jam, akhirnya aku melahirkan anak laki-laki yang sangat mirip sekali dengan ayahnya. Selesai. [CM/Na]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *