Oleh: Merliana Eka Auhaina
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)
CemerlangMedia.Com — Di kota kecil yang tenang, hidup seorang gadis bernama Illona Rein. Dia adalah siswi kelas akhir di salah satu sekolah menengah atas terkemuka. Dengan rambut pendek berwarna hitam legam dan bola mata hitam pekat yang berkilau, Illona selalu menjadi pusat perhatian.
Namun, bukan hanya kecantikannya yang membuatnya terkenal, melainkan juga kecerdasannya yang luar biasa. Dia adalah siswa teladan dengan prestasi gemilang di segala bidang—akademis dan seni.
Sejak kecil, Illona dididik dengan penuh disiplin oleh kedua orang tuanya yang bekerja sebagai profesor di universitas ternama. Mereka menanamkan dalam diri Illona bahwa kesuksesan hanya bisa diraih dengan kerja keras dan ketekunan.
Illona pun tumbuh menjadi pribadi yang ambisius, selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Bagi Illona, hidup adalah sebuah kompetisi dan dia harus selalu berada di puncak.
Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh siapa pun, bahkan oleh sahabat terdekatnya. Illona menyimpan perasaan cinta yang dalam kepada seorang siswa di sekolahnya, Artha Joe. Artha adalah kebalikan dari Illona—dia pendiam, sederhana, dan lebih suka berada di balik layar daripada menjadi pusat perhatian.
Meskipun demikian, senyum lembutnya dan sikap rendah hati Artha membuat banyak orang tertarik padanya. Illona selalu terpesona oleh ketenangan dan kelembutan hati Artha, tetapi dia menyadari bahwa perasaan itu harus dipendam dalam-dalam.
Di sisi lain, ada Anne Kim, seorang gadis yang juga berprestasi, tetapi memiliki kepribadian yang jauh berbeda dari Illona. Anne adalah sosok yang penyabar, penuh pengertian, dan selalu mengutamakan perasaan orang lain.
Berbeda dengan Illona yang berorientasi pada hasil, Anne lebih mengutamakan proses dan kebahagiaan dalam mencapai tujuannya. Hal inilah yang membuat Artha jatuh hati pada Anne. Artha melihat dalam diri Anne sesuatu yang tidak dimiliki Illona—kelembutan yang tulus, tidak mengharapkan balasan.
Suatu hari, saat jam istirahat, Illona duduk di bawah pohon besar di sudut halaman sekolah sambil memperhatikan Anne dan Artha yang sedang bercakap-cakap di dekat air mancur. Sahabatnya, Yoshita, datang dan duduk di sampingnya.
“Kenapa kamu terus memandangi mereka?” tanya Yoshita dengan nada penasaran.
Illona tersentak dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya. “Tidak, aku hanya berpikir… tentang kompetisi sains minggu depan.”
Yoshita mengernyit tak percaya. “Illona, aku tahu kamu lebih dari itu. Kamu selalu memikirkan Artha, kan?”
Illona mendesah dan menunduk. “Yoshita, aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Setiap kali aku melihat mereka bersama, hatiku terasa sakit. Tapi, aku tahu, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”
“Kenapa tidak coba berbicara dengan Artha? Siapa tahu dia juga punya perasaan yang sama denganmu,” saran Yoshita dengan lembut.
“Tidak semudah itu,” jawab Illona pelan. “Dia menyukai Anne. Aku bisa melihatnya. Aku tidak bisa mengubah perasaan orang lain, Yoshita.”
Yoshita terdiam sejenak, lalu meraih tangan Illona. “Illona, kamu adalah orang yang kuat. Jika kamu merasa perasaanmu tidak terbalas, mungkin sudah saatnya kamu fokus pada dirimu sendiri. Kamu selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik, tetapi kadang-kadang kamu harus menerima bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kamu kendalikan.”
Illona mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bimbang. “Mungkin kamu benar, tetapi aku tidak bisa begitu saja melupakan perasaanku.”
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sekolah mengadakan kompetisi sains tingkat nasional dan Illona serta Anne terpilih sebagai perwakilan sekolah.
Kompetisi ini sangat bergengsi dan Illona melihatnya sebagai kesempatan untuk membuktikan bahwa dia layak mendapatkan perhatian Artha. Dia bertekad untuk memenangkan kompetisi ini dengan cara apa pun, tidak peduli berapa banyak usaha yang harus dia lakukan.
Pada hari kompetisi, suasana di aula terasa tegang. Seluruh siswa berkumpul untuk menyaksikan kompetisi yang mempertemukan para siswa terbaik dari berbagai sekolah.
Illona duduk di barisan depan, bersiap dengan semua strategi yang telah dia susun. Namun, ketika dia melihat Artha yang duduk di antara penonton mendukung Anne dengan senyumnya yang hangat, kepercayaan diri Illona mulai goyah. Dia merasakan kekosongan di dalam hatinya yang tidak bisa diisi oleh prestasi apa pun.
“Illona, kamu siap?” tanya Yoshita yang duduk di sebelahnya, mencoba memberi semangat.
Illona mengangguk pelan. “Aku harus siap, Yoshita. Ini adalah saat yang aku tunggu-tunggu.”
“Tetapi ingat, apa pun hasilnya, itu tidak mengubah siapa dirimu,” kata Yoshita mengingatkan. “Kamu tetap Illona yang hebat.”
Illona tersenyum tipis, meskipun hatinya masih penuh keraguan. “Terima kasih, Yoshita. Aku akan mencoba yang terbaik.”
Kompetisi dimulai dan seperti yang diduga, persaingan antara Illona dan Anne sangat ketat, membuat skor mereka lebih unggul dari peserta lain. Setiap soal dijawab dengan cepat oleh keduanya, membuat penonton terpukau oleh kecerdasan mereka.
Namun, di tengah kompetisi, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Illona melihat banyak peserta— termasuk Anne terdiam di depan sebuah soal yang tampak sangat rumit. Wajah Anne terlihat pucat dan tangannya gemetar. Ini adalah kesempatan bagi Illona untuk melampaui Anne dan membuktikan bahwa dia yang terbaik.
Namun, entah mengapa, Illona tidak merasakan kepuasan seperti biasanya. Ia merasakan sebuah dorongan yang aneh dalam hatinya, dorongan untuk membantu Anne, untuk menghentikan kompetisi ini sejenak.
Illona teringat pada nasihat ibunya tentang pentingnya kejujuran dan kebaikan hati dalam segala hal, termasuk dalam kompetisi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Illona merasa ragu. Haruskah dia mengambil kesempatan ini untuk memenangkan kompetisi atau haruskah dia membantu Anne?
Saat peserta lain sibuk dengan soal yang ada, Anne masih terdiam, Illona memutuskan untuk mendekati Anne. Dia melihat betapa Anne terlihat panik dan bingung. Illona mengambil napas dalam-dalam sebelum berbisik, “Anne, kamu baik-baik saja?”
Anne mengangkat kepalanya dan ada kesedihan di matanya. “Aku tidak bisa memikirkan jawabannya, Illona. Aku merasa begitu bodoh.”
Illona terdiam sejenak. Dia bisa saja membiarkan Anne gagal, tetapi di saat itu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. “Anne, tidak apa-apa kalau kamu tidak bisa menjawab. Kamu sudah melakukan yang terbaik.”
Anne menatap Illona dengan terkejut. “Kamu tidak marah karena aku mungkin akan kalah?”
Illona menggeleng, tersenyum lemah. “Anne, kompetisi ini bukan segalanya. Yang terpenting adalah kita belajar dari pengalaman ini. Aku tidak ingin menang karena kamu gagal. Aku ingin kita berdua bisa bangga dengan apa yang kita capai.”
Anne terdiam, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Illona. Kamu benar. Mungkin aku terlalu tegang.”
Illona menepuk bahu Anne dengan lembut. “Kita bisa melakukannya bersama-sama. Mari kita fokus kembali.”
Akhirnya, Illona memutuskan untuk melakukan hal yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Dia memberikan jawaban yang salah pada soal terakhir, memberikan Anne kesempatan untuk menang.
Semua orang, termasuk Artha terkejut melihat hasil akhir yang tidak terduga itu. Anne memenangkan kompetisi, tetapi Illona merasa lega. Meskipun dia tahu, dia bisa memenangkan kompetisi itu dengan mudah.
Setelah kompetisi berakhir, Illona berjalan keluar dari aula dengan perasaan yang campur aduk. Dia kalah, tetapi entah mengapa, dia merasa lebih ringan.
Saat sedang sendirian di taman sekolah, Artha datang menghampirinya. Wajahnya terlihat penuh simpati dan pengertian.
“Illona,” panggil Artha pelan, membuat Illona menoleh.
“Oh, Artha…,” Illona tersenyum lemah, berusaha menyembunyikan perasaannya.
Artha duduk di sampingnya, menatapnya dengan serius. “Aku tahu kamu bisa menjawab soal terakhir tadi. Kamu sengaja mengalah, bukan?”
Illona terdiam, lalu mengangguk perlahan. “Aku merasa itu yang harus aku lakukan.”
Artha menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, “Apa yang kamu lakukan itu luar biasa, Illona. Tetapi kamu tidak perlu berubah untuk disukai orang lain. Kamu tidak harus menjadi yang terbaik dalam segala hal untuk mendapatkan perhatian. Terkadang, menjadi diri sendiri adalah hal yang paling berharga.”
Kata-kata Artha menusuk hati Illona dan air mata yang ia tahan sejak tadi mulai menetes. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada kompetisi dan ambisinya hingga melupakan bahwa menjadi diri sendiri adalah hal yang paling penting. Cinta tidak bisa dipaksakan dan Artha tidak bisa dimenangkan dengan prestasi semata.
Terlepas dari perasaannya yang tidak terbalas, Illona pulang dengan hati yang lebih tenang. Ia sadar bahwa cintanya pada Artha mungkin tidak akan pernah terbalas, tetapi ia tahu bahwa Allah memiliki rencana yang lebih indah untuknya.
Dengan keikhlasan, ia berdoa, “Ya Allah, jika Artha memang bukan untukku, maka jagalah hatiku agar tetap tegar dan kuat. Dan jika ia memang untukku, maka pertemukanlah kami dalam kebaikan di waktu yang tepat.”
Illona belajar bahwa cinta sejati adalah cinta yang dititipkan kepada Allah. Dengan keikhlasan, ia merasa lebih dekat dengan-Nya dan ia percaya bahwa suatu hari nanti, Allah akan memberinya yang terbaik, baik dalam urusan cinta maupun kehidupan. Dia mulai memahami bahwa hidup tidak selalu tentang menang atau kalah, melainkan tentang perjalanan, tentang pelajaran yang kita dapatkan, dan tentang kebaikan yang kita sebarkan kepada orang lain.
Hari demi hari berlalu. Meskipun perasaan Illona kepada Artha masih ada, dia mulai menerima bahwa tidak semua hal bisa dimilikinya. Dia mulai membuka hatinya kepada kemungkinan lain, kepada cinta yang mungkin datang dari arah yang tak terduga. Di dalam hatinya, Illona tahu bahwa Allah sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih baik, sesuatu yang akan membuatnya benar-benar bahagia.
Mungkin cinta sejati bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi dan Illona belajar untuk memberi tanpa mengharapkan apa pun sebagai balasan. Dengan hati yang lebih tenang, Illona melangkah maju, meninggalkan kompetisi yang selama ini menjadi pusat hidupnya dan mencari makna baru dalam hidup yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan indah. [CM/NA]