Swastamita Bersama Asha Renjana (Indah Senja Bersama Harapan Perasaan Rindu)

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Najla Aprilliani
(Siswi SMA Negeri 1 Mentaya Hilir Selatan)

CemerlangMedia.Com — Di pantai yang terhampar laut biru, berhias langit jingga, duduk seorang gadis menikmati syahdunya suasana petang yang menenangkan sekaligus membuat hatinya damai. Gadis itu bernama Anindya Kirana, yang berarti sinar cantik jelita.

Anindya adalah seorang gadis yang cantik dengan rambut sepunggung berwarna hitam legam, hidung mancung, dan kulit kuning langsat, serta mata hitam dengan gores keemasan berkilau. Dia adalah seorang siswi kelas 12 di sebuah sekolah menengah atas negeri.

Tidak ada yang istimewa di dirinya. Dia hanyalah siswi biasa yang tidak terlalu menonjol saat di sekolah.

Sejak kecil ia selalu dimanja. Namun, bukan berarti Anindya tidak bisa apa-apa.

Walau dimanja, Anindya tumbuh menjadi gadis yang kuat, mandiri, dan memiliki kepribadian yang unik. Dia pendiam dan pecicilan di tempat yang berbeda. Terkadang juga cengeng, mungkin karena selalu dimanja.

Dalam kesendiriannya, Anindya merenungi kehidupan dan berdoa kepada Allah agar diberi ketenangan hati. Namun, di dalam hati mungil yang lembut itu, ada rasa yang tidak pernah ia sangka akan hadir dan tidak bisa Anindya bendung. Ya, rasa cinta dan sayang kepada seorang laki-laki yang Anindya kagumi sejak lama, Harsa Renjana.

Harsa adalah teman kecil Anindya yang bertemu saat ia berkunjung ke tempat kakeknya. Sosok yang lembut dan santun membuat Anindya diam-diam tanpa sadar menaruh hati padanya sejak pertemuan pertama saat kecil.

Namun, Anindya tahu bahwa dalam agama Islam, cinta harus dijaga dan dijunjung kehormatannya. Karena itu, Anindya tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada Harsa.

Anindya memilih menyimpan perasaan itu dalam diam selama bertahun-tahun. Berharap agar suatu saat Allah memberikan jawaban terbaik untuknya.

Bertahun-tahun berlalu, kini Anindya telah menginjak masa remaja. Anindya makin sering memikirkan Harsa.

Namun, ia tetap menjaga perasaannya agar tidak melanggar batas sehingga timbul zina hati. Anindya berdoa dalam sujudnya, berharap agar Allah memberikan pertunjuk untuk perasaan yang dia sendiri tidak mengerti.

Beberapa minggu kemudian, keluarga Anindya mengadakan acara keluarga besar untuk menyambut salah satu paman Anindya yang baru saja menyelesaikan ibadah haji. Di acara itu Anindya bertemu dengan sepupunya, Ikhsan.

Ikhsan baru pulang menuntut ilmu di salah satu pesantren ternama di luar kota. Mereka sudah lama tidak bertemu sehingga pertemuan itu menjadi momen hangat bagi keduanya.

Di acara tersebut, Anindya kembali bertemu dengan Harsa setelah beberapa tahun terpisah. Harsa ternyata salah satu tamu yang diundang. Anindya terkejut dan merasa bahagia, ia tetap berusaha menutupi ekspresi dan perasaannya.

Setelah acara selesai, Anindya duduk di taman depan rumah sambil memandangi kendaraan yang lalu lalang di jalanan. Tiba-tiba Ikhsan datang menghampirinya bersama dengan lelaki yang selama bertahun-tahun mengusik pikiran Anindya, Harsa.

“Anindya, bolehkah kami duduk bersamamu?“ tanya Ikhsan dengan nada lembut.

Anindya mengangguk, meski hatinya berdebar dengan kencang. Anindya merasa seperti baru saja selesai lari maraton.

Mereka berbicara tentang banyak hal, salah satunya tentang Ikhsan dan Harsa yang ternyata mencari ilmu di pesantren yang sama. Yang paling membuat Anindya terkejut adalah ketika Ikhsan menceritakan tentang sisilah keluarga mereka.

“Anindya, nenekmu dan kakekku itu saudara sepupu ibunya Harsa. Jadi mulai sekarang, kita harus memanggil Harsa, Paman,” kata Ikhsan.

Harsa memukul bahu Ikhsan, pelan. “Aku tidak setua itu dipanggil Paman oleh kalian. Kita kan hanya berjarak setahun,” kata Harsa menimpali.

“Astaga, kamu itu cocok dipanggil Paman Harsa, terlihat tua seperti kakek-kakek. Jadi sekarang, aku dan Anindya akan memanggilmu, Paman, Paman Harsa.” Kata Ikhsan dengan diiringi gelak tawanya.

“Baiklah, terserah kalian saja, aku pergi ke dalam dahulu.” Ucap Harsa lalu beranjak pergi.

Anindya terkejut mendengar itu. Dia terus memandang punggung pamannya yang kini mulai menjauh.

Dia tidak tahu bahwa selama ini Harsa adalah pamannya. Ikhsan tersenyum lembut kepada Anindya.

“Anindya, sebenarnya aku tahu tentang perasaanmu kepada Harsa.” Ikhsan memandang wajah indah sepupunya.

Anindya terdiam. Hatinya berkecamuk antara terkejut dan merasa tidak rela. Ternyata orang yang selama ini ia kagumi adalah pamannya sendiri.

“Aku tahu, kamu sayang sama Harsa, tetapi kamu harus ingat bahwa menikah dengan sepupu dekat apalagi paman bukanlah hal yang mudah. Keluarga kita memiliki tradisi yang kuat dan menikah dalam satu keluarga sering kali dianggap kurang baik. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu,” kata Ikhsan lembut, tetapi tegas.

Anindya terdiam, hatinya seolah diimpit oleh kenyataan. Dia tahu betul bahwa tradisi keluarganya melarang pernikahan antar keluarga karena berbagai alasan, salah satunya untuk menjaga silaturahmi keluarga agar tetap harmonis, tanpa ada konflik yang mungkin timbul di masa depan.

Anindya beralih menatap wajah Ikhsan yang tampak serius memandangnya. Air bening perlahan mengalir di pipi mulusnya.

Meski Anindya berusaha keras menahannya, bahu yang tadi tegap kini bergetar tidak terkendali. Tatapannya kosong.

Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk di sekitarnya. Air matanya terus menetes. Cairan bening bagaikan kristal tersebut luruh tak terbendung.

Angin terus bertiup lembut, menghempaskan daun-daun kering dari pepohonan. Ikhsan terus memandangi sepupunya yang berurai air mata. Dia tau, betapa besar perasaan Anindya kepada Harsa sedari kecil, tetapi ia juga tidak dapat menolong, selain menguatkan.

“Apakah aku salah? Ikhsan, kau tau, ketika kau mengatakan ia adalah pamanku entah mengapa hatiku sangat sakit, untuk bernapas saja susah. Aku bahkan merasa tidak bisa memikirkan apa pun, selain ucapanmu tadi.”

“Kau memang benar, keluarga kita memiliki tradisi yang kuat tentang pernikahan dengan keluarga, tetapi kenyataan bahwa dia adalah pamanku itu sangat menyakitkan. Aku tidak menyangka, kisahku akan terhalang oleh tradisi ini. Dahulu, aku mungkin tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi sekarang, entahlah, aku merasa ingin menentangnya.” Kata Anindya sembari menatap Ikhsan dengan wajah sendu.

“Kamu gadis yang kuat, Anindya. Allah akan menggantikan rasa sedihmu ini dengan kebahagiaan yang lebih besar. Jangan khawatir, selalu ada hikmah di balik setiap takdir. Insyaallah,“ ucap Ikhsan kembut.

“Kau benar, aku kuat, tetapi Ikhsan, apakah perasaanku ini salah? Aku tidak bisa mengontrol di mana harus meletakkan perasaanku,” kata Anindya.

Ikhsan yang menyadari situasi tersebut tersenyum bijak dan berkata,
“Anindya, tidak ada yang salah dengan perasaanmu, tetapi ingatlah bahwa takdir Allah selalu yang terbaik.”

Dengan lembut Anindya mengangguk dan berkata, “Aku percaya, Allah selalu memberikan yang terbaik. Jika memang Harsa tidak ditakdirkan untukku, aku akan menerimanya dengan hati lapang dan ikhlas. Walau tidak semudah mengucapkannya. Aku akan mendoakan yang terbaik untuknya dan diriku sendiri.” Kata Anindya sembari menghapus air matanya yang terus mengalir.

Ikhsan tersenyum lembut. Ia bangga dengan Anindya karena bisa mengerti keadaan dan mengikhlaskan apa yang tidak bisa ia gapai. Ikhsan mengakui, Anindya adalah gadis yang kuat dan tabah.

“Aku rasa memang harus begitu Anindya, aku juga akan mendoakanmu,” gumam Ikhsan pelan.

Hari berganti, bulan pun berlalu. Waktu terus berjalan. Perlahan-lahan Anindya mulai bisa menerima kenyataan.

Ia memilih untuk fokus mencari ilmu dan beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, serta memperbaiki dirinya. Meskipun luka hatinya belum sepenuhnya sembuh, Anindya tahu bahwa mengikhlaskan adalah jalan terbaik.

Pada akhirnya, Anindya belajar bahwa cinta sejati adalah ketika kita mampu merelakan seseorang demi kebaikan diri, meskipun itu berarti melepaskannya pergi. Ia percaya bahwa Allah sudah menyiapkan takdir terbaik untuknya di masa depan dan ia memilih untuk bersabar dan menunggu dengan penuh keyakinan. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *