Tak Jadi Putus Asa

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rihana El Lova
Peserta Kelas Menulis Stortel, Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

CemerlangMedia.Com — Menulis itu mudah, yang sulit merunutkan tulisan hingga bisa dipahami oleh pembacanya. Begitu bukan?

Sebenarnya hobi menulis dimulai sejak aku kelas 6 sekolah dasar (SD). Saat itu, guru les bahasa Inggris meminta kami untuk membuat surat pembaca ke suatu majalah dalam bahasa Inggris. Surat pertama dariku dibalas oleh media tersebut dengan rutin mengirimkan media cetaknya ke rumahku. Dengan rasa gembira, aku kemudian melanjutkan dengan menulis surat pembaca yang kedua dan hampir setiap bulan selalu mengirimkan surat ke media tersebut.

Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP), kegiatan menulisku terabaikan. Aktivitasku mengikuti les berbagai macam pelajaran, tidak hanya bahasa Inggris. Menulis surat pembaca ke media pun terhenti. Walaupun kala itu sudah mengenal buku diary, tetapi rasa untuk menuangkan aktivitasku dalam bentuk tulisan ke buku diary tidak begitu besar. Buku diary-ku hanya berisi lagu-lagu favorit saja.

Begitu pula waktu sekolah menengah atas (SMA). Waktuku seolah hanya dihabiskan untuk belajar pelajaran sekolah saja. Hanya saja, waktu itu buku diary sudah berbagai macam rupa, warna-warni dan sangat menarik untuk dikoleksi.

Saat kelas 2 SMA, aku mulai mendokumentasikan keseharianku dalam bentuk tulisan. Terkadang, tulisan di buku diary itu aku sertakan juga photo pribadi atau photo bersama teman-teman. Kadang pula, aku saling bertukar buku diary dengan teman dan menulis di buku diary teman. Begitu pula teman-temanku, beberapa dari mereka menuliskan curahan hatinya di diary-ku.

Pernah suatu saat, waktu itu kelas 3 SMA. Sahabat dekatku waktu kelas 2 SMA (sebut saja namanya Dita) mengeluh, katanya aku sudah berubah, tidak seperti dahulu. Selama kelas 1 dan kelas 2 SMA kami selalu bersama, tetapi kelas 3 kami terpisah sebab sudah mulai memilih jurusan IPA dan IPS.

Walaupun kami sama-sama memilih jurusan IPA, qadarullah kami terpisah kelas. Dari situlah, kami yang dulu intens berkomunikasi akhirnya agak renggang.

Kemudian ia berkeluh kesah ke salah seorang temanku lainnya. Katanya sejak mempunyai circle teman baru, aku banyak perubahan, sering pecicilan dan suka hura-hura. Teman-teman baruku pun mendengar keluhan itu. Alhasil, mereka tersinggung. Mereka sengaja menjauhi aku. Sedihnya, saat itu aku merasa sendirian di kelas. Lebih sedih lagi ketika pergi ke kantin saat jam istirahat, saat itu benar-benar merasa sendirian.

Ada perasaan sedih, kecewa, dan marah sama Dita. Akhirnya, aku berkirim surat sebanyak 4 halaman kertas HVS ukuran A4 penuh kepada temanku tersebut. Dari curahan hati sebanyak itu, aku merasa bisa menulis. Sejak saat itu, aku penuhi diary-ku dari cerita-cerita, baik cerita asli atau sekadar hayalan semata.

Tak lama berselang, gedung kuliah menyambutku. Perasaan campur aduk pun melanda, sebab aku kuliah di luar kota. Makin hari aku makin rajin mencurahkan isi hati kepada diary-ku. Aku pun membawa buku-buku diary-ku ke tempat kos. Membacanya untuk mengobati kerinduanku pada teman-temanku saat masih SMA, juga kepada bapak, ibu, adik, dan ponakanku yang waktu itu masih bayi imut.

Kujalani hari-hariku sebagai mahasiswi baru di Kota Malang. Senang sekali di sana, masuk kampus favorit sesuai impianku dengan jurusan kuliah yang menjadi impianku juga. Banyak teman baru dari berbagai daerah. Aku pun berinisiatif untuk bergabung di salah satu Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (OMEK).

Organisasi yang tidak asing bagiku, sebab ibuku sering bercerita tentang organisasi tersebut dan beliau pernah menjadi bagian di dalamnya waktu kuliah dahulu. Di sela-sela kegiatan belajar di kampus, aku pun antusias mengikuti berbagai kegiatan OMEK tersebut.

Dalam kegiatan tersebut, akhirnya ada salah satu program yang sangat menarik hatiku. Program itu adalah Belajar Menulis. Ada kakak tingkat yang bersedia mengajari kami untuk bisa menulis. Karya mentor kami tersebut sudah lalu lalang di berbagai media lokal dan nasional. Begitu pun dengan karya ilmiahnya yang sering kali mendapatkan juara tingkat nasional.

Lebih menarik lagi, konon kata teman-teman hasil dari menulis atau honor menulis ketika dimuat di media bisa menjadi tambahan uang saku. Tentu saja, selain ingin belajar menulis, aku pun ingin menambah uang saku dari hasil jerih payahku lewat menulis.

Kelas menulis pun dimulai. Ternyata menulis tidak semudah yang aku bayangkan. Percaya diriku setelah berhasil menulis 4 lembar surat di kertas HVS A4 ke teman SMA-ku Dita, tempo dulu ternyata tidak cukup menjadi modalku untuk bisa menulis. Tulisanku tidak pernah di-ACC untuk dikirimkan ke media, sedangkan tulisan teman-teman yang lainnya hanya beberapa kali revisi kemudian di-ACC oleh mentor untuk dikirimkan ke media.

Sungguh, perjuanganku untuk bisa di-ACC oleh mentor sangat berat. Aku pastikan revisi sesuai dengan arahannya, tetapi tidak juga membuahkan hasil hingga akhirnya perkataannya menghujam benteng pertahananku. “Dek, sepertinya kamu harus belajar SPOK dulu, deh! Kamu belum paham ya, pelajaran SD?”

Jleb, nyaliku menciut. Pelajaran SD dianggap tidak paham, padahal aku sudah masuk kuliah. Sungguh, pernyataan yang membuat padam semangat belajarku.

Hari itu juga akhirnya aku memutuskan untuk menyerah. Aku memutuskan untuk aktif di kegiatan yang lain, mengajar bahasa Inggris di suatu komunitas atau pun private, menjadi translator bahasa Inggris, dan sebagainya. Keinginan untuk menjadi penulis aku kubur dalam-dalam. Walaupun masih ada rasa penasaran, tetapi waktu itu aku tidak mau membuang waktu percuma. Toh, masih banyak yang bisa kulakukan, pikirku.

Itulah caraku untuk menetralisir kekecewaanku. Walaupun ada rasa iri jika membaca karya teman-teman yang berhasil dimuat media, tetapi aku mencoba menenangkan hatiku dengan sesuatu yang bisa kulakukan.

Masa kuliah pun selesai dan aku tidak memiliki karya tulis di media cetak seperti teman-teman yang lain, sebagaimana yang pernah kuimpikan. Betul, hanya tugas kuliah yang berhasil aku selesaikan, seperti makalah hingga skripsi (karya tulis juga dong, hahahaha).

Menunggu waktu wisuda, aku menikah dan ikut suami merantau ke ibu kota, Jakarta. Tak pernah terbayangkan sebelumnya hidup di kota besar. Jakarta yang dahulu hanya bisa kulihat di TV, tetapi kini aku menjadi salah satu warganya. Alhamdulillah, masyaallah, merasakan nikmatnya hidup di Jakarta, walaupun kini bergeser dan tinggal di Kota Satelit Jakarta, Bekasi.

Di sinilah aku mengenal kelompok dakwah. Kelompok ini tidak jauh berbeda dengan OMEK yang pernah aku ikuti waktu kuliah dahulu secara padatnya kegiatan. Full agenda, tetapi berbeda ideologi. Lepas dari kegiatan kampus tidak lantas membuatku berhenti belajar. Kini di dalam kelompok dakwah ini, aku makin banyak mengenal Islam.

Di kelompok dakwah ini, aku pun ikut (lagi) kelas menulis. Kenekatan kali ini sebab panggilan dakwah. Berdakwah itu lewat lisan dan tulisan, begitu pesan guru kami.

Di kelas ini, aku pun tak berdaya. Di kala karya teman-temanku berhasil dimuat media, karyaku tetap mandek di tengah jalan. Jangankan ke media, mentorku pun seolah tak melirik ketika kusodorkan naskahku lewat grup WhatsApp.

Beberapa kali setor tulisan di grup aplikasi hijau itu, tetapi tidak pernah “diangkut” ke media cetak ataupun online. Nyaliku kembali ciut, sama persis dengan sewaktu di bangku kuliah. Akhirnya aku putuskan keluar grup WhatsApp kelas menulis tanpa izin.

Keluar tanpa pamit rupanya menimbulkan perasaan aneh di antara teman-teman. Tidak sedikit yang menghubungiku dan bertanya kenapa aku keluar grup, padahal mungkin menjadi peserta paling heboh. Ada juga di antara mereka yang meminta maaf kepadaku, ia merasa telah berbuat salah kepadaku. Padahal aku hanya kesal sama diriku sendiri yang tak kunjung bisa menulis. Aku ceritakan kekesalanku pada teman yang menghubungiku secara pribadi.

Lagi dan lagi, aku merasa benar-benar menjadi orang gagal sebagai penulis. Hal ini makin mengonfirmasi bahwa aku benar-benar tidak mempunyai bakat menulis. Ditambah lagi, hampir bersamaan dengan waktu aku keluar dari grup kelas menulis, aku menulis komentar di akun Facebook salah seorang temanku.

Di situ aku bercerita momen lucu saat kita masih bersama dahulu. Aku berharap ia akan tertawa mengingat momen itu. Namun, di luar prediksiku, ia menjawab komentarku dengan kebingungan. “Sumpah, aku gak ngerti maksudmu, coba benerin titik komanya biar aku paham.” Seloroh temanku menjawab komentarku tadi.

Subhanallah, sekacau inikah tulisanku? Otakku meracau. Pantas saja tidak ada yang melirik, fix ini, aku merasa sangat butuh pertolongan. Kali ini aku makin menyerah di dunia menulis. Aku merasa bahwa sekacau aku tidak akan ada yang mampu menolong. Bahkan, sekadar menulis komentar di kolom FB saja, bahasaku sangat kacau balau.

Ya Allah, Gusti, batinku lirih menyebut asma-Nya yang Agung. Tiba-tiba saja aku ingin sekali les privat menulis kepada seorang muslimah baik hati. Aku hubungi beliau dan langsung mengungkapkan keinginanku untuk berguru menulis kepada beliau.

Awalnya beliau heran, sebab beliau tahu bahwa aku mengikuti kelas menulis di wilayahku. Aku pun bercerita kalau aku telah keluar grup dan harus ekstra belajar menulis. Alhamdulillah, gayung pun bersambut, beliau mau menjadi guru bagi murid spesial ini.

Beliau adalah Cikgu Irma, Cikgu Irma memintaku untuk memulai menulis dengan formula yang telah beliau berikan kepadaku. Beliau mewanti-wanti untuk tidak mencontek, beliau pun memberikanku link untuk mengecek plagiat. Begitu aku menulis dan setor naskah kepada beliau, setelah dikoreksi beliau mengatakan bahwa aku bisa menulis. Beliau juga menambahkan bahwa tulisanku tidak ada yang direvisi, hanya saja memperbaiki tanda baca dan ejaan yang tidak sesuai dengan kaidah.

Rasa tak percaya dengan apa yang telah beliau sampaikan. Mengingat sebelumnya aku telah babak belur belajar menulis. Namun beliau meyakinkanku, beliau memintaku untuk menyetorkan naskahku tersebut ke guru di kelas menulis sebelumnya. Aku pun menuruti perintah beliau dan selang beberapa menit, naskah perdanaku tayang di media online. Maasyaallah, Allahu Akbar.

Sejak saat itu aku mulai rutin menulis, setidaknya sekali dalam seminggu. Tentu saja masih dalam pendampingan Cikgu Irma. Aku pun kembali masuk dalam grup kelas menulis yang dahulu sempat keluar. Qadarullah, alhmdulillah, kembalinya aku ke kelas itu membawaku untuk menerima penghargaan sebagai penulis produktif. Aku mendapatkan hadiah waktu itu. Tidak berselang lama, kelas pun bubar dan kami mengembangkan bakat menulis kami di grup yang baru.

Di grup baru, aku bertemu dengan Bu Hani. Bu Hani menyarankan aku untuk mengirimkan naskahku ke Cemerlang Media. Namun, ajakan Bu Hani tidak aku hiraukan. Aku berpetualang dari media satu ke media lainnya. Tidak lupa, setiap mengirimkan naskah ke media, aku selalu minta koreksi ke Cikgu Irma.

Cikgu Irma sangat disiplin mengajari aku. Sepekan tidak setor karya tulis, beliau mengirimkan pesan stiker orang membawa palu di WhatsApp. Begitu pula saat kesalahan ejaan kulakukan berulang, beliau tak segan mengirimkan emoticon kepala berwarna merah (😡) di pesan WhatsApp yang menunjukkan beliau marah, makanya aku menyebutnya Cikgu Kak Ros. (Kak Ros Upin dan Ipin yang galak).

Oleh sebab itu, aku berusaha untuk istikamah menulis naskah opini ataupun surat pembaca, minimal seminggu sekali. Seringnya aku menulis, membuatku makin mahir dan jarang mendapatkan emoticon marah di WhatsApp dari Cikgu Irma. Alhamdulillah.

Akhirnya, menulis menjadi kebiasaanku. Amanah dakwah yang satu ini membawaku mengenal banyak media. Alhamdulillah lagi, naskahku pernah masuk dalam kategori naskah terbaik yang dipilih salah satu media untuk dibukukan. Rasa putus asa dan minder yang dulu pernah aku rasakan, lambat laun terkikis oleh penghargaan dari berbagai media.

Lagi, Bu Hani menyarakan untuk mengirim naskahku ke Cemerlang Media. Kata beliau, Cemerlang Media bagus, terkadang memberikan hadiah bagi kontributor yang mengirimkan naskah terbanyak. Kali ini aku mendengarkan saran Bu Hani. Aku kirim naskahku ke CM untuk pertama kalinya melalui nomor yang Bu Hani berikan ke aku.

Namun naas, naskahku ditolak oleh Ibu Pemimpin Redaksi (Pemred) CM. Alasannya, tema yang aku bahas sudah lama. Beliau meminta naskahku dengan tema ter-update. Aku terima penolakan ini, aku kirim naskah tersebut ke media lain dan aku ganti tema untuk kirim ke CM seperti permintaan Bu Pemred CM. Alhamdulillah, dua naskah tayang di media yang berbeda.

Tidak perlu menunggu berhari-hari untuk tayang di Cemerlang Media (CM). Hanya 1 sampai 3 hari, naskah yang aku kirimkan tayang, di situlah aku mulai tertarik untuk mengirimkan naskah ke CM. Tidak hanya itu, CM mempunyai kelas menulis. Tidak mau ketinggalan, aku pun daftar di semua kelas, waktu itu kelas menulis SP dan kelas menulis opini.

Walaupun naskah opini dan surat pembacaku telah terbit di berbagai media cetak dan online, tetapi dengan mengikuti kelas menulis di CM membuatku lebih terarah menulis naskah. Terlebih lagi, di kelas CM, aku menemukan banyak sekali teman rasa keluarga. Walaupun tidak pernah bertatap muka, tetapi terasa akrab. Literasi dakwah yang menyatukan kami. Terima kasih CM, telah mempertemukan kami.

Makin hari, makin asyik menulis. Tentu saja bersama CM, terlebih Bu Pemred melamarku untuk menjadi kontributor tetap di CM yang harus menyetorkan naskah minimal sekali dalam seminggu. Aku yang dahulu nyaris patah arang, tetapi saat ini tidak jadi putus asa.

Kini tidak hanya 4 atau 8 naskah sebulan yang kutulis, tetapi pernah mencapai 22 naskah. Tidak hanya bentuk naskah opini dan SP, tetapi juga fiksi dan puisi, semua kulahap habis bersama CM. Apalagi setiap mengirimkan naskah ada koreksi dari Bu Editor yang cantik dan menawan. Walaupun sering mendapatkan stiker tarik pipi dari Bu Editor, sebab bahasaku yang tidak teratur, tetapi tetap saja, CM menjadi media favoritku.

Apalagi baru-baru ini aku mendapatkan hadiah mini gold dan bros dari CM. Masyaallah, rasanya makin jatuh cinta pada media dengan slogan “Kokoh dalam Literasi Cemerlang Menyajikan Peristiwa Terkini”. Dear CM, semoga selalu bersama menemani langkah dakwahku melalui tulisan. Aamiin ya rabbal alamiin. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *