Virtual Itu Indah?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Riezca Amelia Syafitri
(Siswi SMAN 1 Mentaya Hilir Selatan)

CemerlangMedia.Com — Dunia ini sudah berkembang sebegitu jauhnya. Banyak tekhnologi baru bermunculan. Cheyya Argriani sebagai remaja berusia 17 tahun tentunya juga terkena dampaknya. Dunia virtual yang terkenal dengan banyak sekali ragamnya, menarik perhatian gadis itu. Apakah semuanya akan selalu terasa indah?

Pagi Senin, pukul 7.30 WIB, para siswa/siswi kelas 12 ruang 1 berkumpul di laboratorium bahasa. Setiap orang di ruangan itu tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Begitu pula dengan Cheyya yang tengah sibuk memainkan ponselnya sembari menunggu guru mapel masuk mengisi jam pelajaran.

Cheyya tampak sangat memperhatikan ponselnya. Di layar terpampang jelas nama seorang laki-laki bernama Sadipta Pangestu. Seorang laki-laki teman virtual yang ia sebut sebagai idaman karena bukan hanya tampan, tetapi kebaikan, dan energi positifnya mampu membuat Cheyya terpukau walau hanya berinteraksi via chat.

Kesibukan Cheyya pagi itu tampaknya menarik perhatian dari seorang teman perempuan kelasnya, Mia. Cheyya terlalu sibuk sampai tidak memperhatikan Mia yang kini berada di belakangnya sambil mengintip apa yang ia lakukan.

Woi, Chey, lo seriusan demen sama orang lewat chatingan?” teriak Mia yang langsung menyita perhatian semua orang.

“Kalau iya, kenapa? Gak ada urusannya sama situ, kan? Gak usah teriak kayak ngeliat maling. Apa yang gue lakuin juga gak ngerugiin lo, kan?” jawab Cheyya dengan ketus.

“Ada masalah apa lo, di kehidupan nyata, Chey, sampai-sampai nyari pelampiasan ke virtual gitu? Gak laku ya, lo?”

Ejek seseorang di kelas tersebut sontak membuat Cheyya merasa sangat dipermalukan. Ingin membalas, tetapi nyatanya kini ia tidak mempunyai tenaga untuk berdebat.

Cheyya sangat tau kalau ia akan tetap salah, meski membela dirinya mati-matian. Cheyya akhirnya pergi dari ruangan dan menuju taman sekolah. Ia duduk terdiam di sana.

Ia memikirkan, apa salahnya jika menyukai seseorang yang tidak dapat dipandang secara langsung? Toh ini hidupnya, pikirnya. Lama termenung, akhirnya lamunannya pecah karena mendapat notif dari ponselnya yang bergetar.

Ternyata dari seseorang bernama Hana, teman dekatnya di dunia maya. Hana adalah tempat Cheyya berkeluh kesah kala ia menemukan kegelisahan di dunia nyatanya. Baginya, Hana adalah orang yang dewasa dan sangat pengertian.

“Han, aku lagi sedih banget,” ketik Cheyya memulai percakapan baru di antara keduanya.

“Kenapa Chey? Ada masalah? Mau teleponan gak?” Balas Hana dengan segera setelah mendapat pesan dari sahabat virtualnya tersebut dan tanpa pikir panjang, langsung Cheyya iyakan. Percakapan yang panjang pun terjalin, dari a sampai z, Cheyya ceritakan kepada temannya itu.

“Gila, masa gitu banget, sih, temen, lo. Pada gak belajar yang namanya hak individu, ya? Udah-udah jangan sedih, sana balik masuk kelas. Kalau ada yang gituin lagi, gak usah diladenin, caper doang biasanya,” balas Hana kesal mendengar cerita temannya.

Setelah diyakinkan Hana berkali-kali, Cheyya memutuskan untuk kembali ke kelas, setidaknya perasaannya lebih membaik sekarang setelah meluapkannya kepada Hana. Namun, sesampainya di kelas, ia mendapati sudah ada guru Bahasa Indonesia di sana, yakni Bu Sinta, guru yang dikenal killer.

“Sudah jam berapa ini, Cheyya? Dari mana aja kamu selama pelajaran saya berlalu? Kamu gak boleh masuk, kamu sudah ibu kasih alpa,” ucap Bu Sinta marah.

Cheyya hanya pasrah dan duduk di luar ruangan sembari menunggu jam Bu Sinta berlalu.

Setelah jam pelajaran Bu Sinta selesai, semua siswa akhirnya keluar dari laboratorium dan menatap Cheyya dengan tatapan sinis. Hal ini tentunya membuat Cheyya tak nyaman, tetapi ia tetap berusaha untuk tidak menggubrisnya.

Hari berjalan seperti biasa, sampailah pada jam pulang, momen yang ditunggu-tunggu oleh para siswa maupun siswi. Di saat menunggu bel pulang berbunyi kembali, Cheyya duduk di pojokan sambil membalas chat dari pria yang ia dambakan, yakni Sadipta Pangestu, kerap disapa Dipta.

Cheyya sangat keasyikan sendiri tanpa menyadari keberadaan Mia di sampingnya yang kini tampak merasa menyesal setelah apa yang ia lakukan tadi saat di laboratorium bahasa. Mia mendekat dan kemudian berusaha memulai obrolan dengan Cheyya.

“Chey, maafin sikap aku tadi pagi, ya? Aku gak bermaksud kayak gitu sama kamu,” ucap Mia lirih meminta maaf.

Namun bukannya memaafkan, Cheyya yang terlanjur emosi pun beranjak pergi karena juga bertepatan dengan pembacaan doa yang dipimpin piket. Melihat ini, Mia makin merasa bersalah.

Setelah selesai pembacaan doa, bel pulang pun berbunyi. Mia berusaha mengejar Cheyya yang pergi duluan, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil, Cheyya keburu lenyap dari pandangannya.

Rabu sore pukul 15.45 WIB, para siswa dan siswi kelas XII ruang 1 disibukkan dengan menghias kelas untuk memeriahkan acara ulang tahun sekolahnya. Nahyang bersama Cheyya waktu itu berpasangan untuk membuat hiasan dinding. Nahyang adalah siswi populer berparas menawan, mampu memikat semua orang yang melihatnya.

Semua berjalan lancar sebelum kemudian Nahyang secara tidak sengaja menumpahkan cat, membuat keadaan sedikit kacau. Bukannya menyalahkan Nahyang, para siswa dan siswi di kelas malah serempak menyalahkan Cheyya yang waktu itu berada di samping Nahyang. Cheyya yang mendengar dirinya dituduh, tidak tinggal diam. Ia kini berani melawan.

“Cheyya, bisa gak sih hati-hati kalau jalan, kan jadi berantakan semua!” bentak salah satu siswi bernama Rahma, teman dekat dari Nahyang.

“Itu bukan salah gue kali, Nahyang yang jelas-jelas numpahin, masa gue yang disalahin?” balas Cheyya dengan kesal.

Gak usah bohong, udah jelek suka bohong lo, Chey!” sanggah seorang siswa bernama Radit yang memang dikenal kasar.

Sontak perkataan Radit membuat hati Cheyya teriris. Amarah, kecewa bercampur jadi satu. Mia yang menyaksikan sedikit kesal dan berusaha membela.

Gak usah pada mandang fisik, Cheyya memang gak salah. Udah jelas-jelas kok, si Nahyang yang buat kekacauan!” Setelah selesai memarahi teman sekelasnya, Mia berlari menghampiri Cheyya yang berusaha pergi setelah apa yang baru saja terjadi.

“Chey, balik yuk? Biarin aja mereka, pada gak sadar diri banget ngatain orang lain tanpa bercermin terlebih dahulu. Tenang aja, ada gue, kok,” Mia meyakinkan.

Gak usah, lo, kan juga sama kayak mereka,” jawab Cheyya dengan muka datar dan ketus.

“Masih marah sama gue, ya?” Mia sedikit terkejut karena ternyata Cheyya masih marah kepadanya.

Gue minta maaf banget soal yang itu. Gue beneran gak ada maksud ke situ, Chey,” lanjutnya dengan nada suara yang merendah, perasaan bersalah itu kembali hadir.

“Terus ke mana maksudnya? Udahlah semua orang di kehidupan nyata gue memang sama aja. Mau gue bener sekalipun, tetep selalu disalahin,” kemudian Cheyya beranjak pergi. Mia ingin mengejar kembali, tetapi ia tau kalau Cheyya mungkin butuh waktu.

Seminggu telah berlalu, kehidupan Cheyya terus disibukkan dengan dunia virtualnya. Kini ia makin dekat dengan laki-laki bernama Sadipta.

Bahkan, sering kali mereka melakukan panggilan suara. Tanpa Cheyya sadari, ia telah menjadi seseorang yang sangat berbeda.

Ia acuh dengan kehidupan sekolahnya, maupun lingkungan masyarakat. Cheyya melupakan bahwa ada tali silaturahmi yang harus ia jaga, tetapi kini ia sudah menghancurkannya.

Bukan hanya Mia yang ia abaikan, tetapi hampir semua orang di kehidupan nyata, termasuk ibunya juga tak ia pedulikan. Sampai pada suatu hari.

“Selamat malam, Kak Dipta, weekend free, gak?” tanya Cheyya yang baru saja memulai panggilan.

“Malam Cheyya. Waduh kebetulan ada acara di rumah, haha… Memangnya kenapa?” balas seseorang dari balik telepon, Sadipta.

“Oh, gitu ya, memangnya acara apaan tuh, kalau boleh tau?” tanya Cheyya.

“Gak apa-apa sih, Kak, pengen lanjutin mabar game aja sama Kakak,” Cheyy menyahut.

Duh, sorry ya, anu.… Ini acara ibadah mingguan,” balas Dipta singkat.

“Eh, ibadah mingguan?” tanya Cheyya dengan terheran. Ia tampaknya melewatkan sesuatu.

“Iya ibadah mingguan, Chey. Aku gak ngasih tau ya, kayaknya? Aku nonis, Chey.” Sontak membuat Cheyya terbelalak kaget.

Bagaimana bisa ia baru mengetahui fakta ini sekarang? Ditambah fakta lainnya yang makin membuat Cheyya terkejut tak menyangka.

“Dan juga, Minggu ini aku mau ngelamar cewek, Chey. Dia pacarku, namanya Alin,” balas Dipta lagi. Seketika membuat hati Cheyya hancur tanpa bersisa. Tanpa menunggu balasan lagi, Cheyya langsung mematikan telepon dan terdiam merenung.

Hati Cheyya begitu hancur mengetahui fakta itu. Air mata mulai membasahi pipinya.

Niat hati ingin curhat kepada Hana, tetapi Hana kini sibuk. Bahkan, chat-nya yang kemarin pun masih belum dijawab, padahal Hana terlihat aktif.

Beberapa kali membuat story dengan membagikan aktivitasnya di media sosial. Kini, Cheyya merasa benar-benar sendiri. Ia tidak tau ingin bercurah hati kepada siapa lagi.

Sedari tadi ibu Cheyya memperhatikannya dari luar. Setelah mendapati putri semata wayangnya itu menangis sesegukan, ia pun memutuskan untuk menghampiri.

“Nak,” panggil ibunya dengan lirih.

“Ibu,” tangisan Cheyya makin pecah ketika sang ibu dengan tulus merangkulnya, memberikan sentuhan hangat sebagai seorang ibu yang sangat mencintai putrinya.

Cheyya hanya menangis. Sang ibu hanya diam memberikan ruang untuk Cheyya melampiaskan rasa sedihnya di pelukan sang ibu.

Sesaat kemudian Cheyya mulai tenang. Ia kemudian mulai terbuka dan menceritakan semua yang dialaminya di sekolah, mulai dari perundungan sampai bagaimana ia mengenal dunia yang disebut sebagai dunia impian.

Sang ibu tentu terkejut mendengar bahwa putrinya mengalami perundungan di sekolah. Hatinya hancur, ia merasa gagal menjadi seorang ibu yang baik untuk putri semata wayangnya. Namun, ia juga lega, kini Cheyya berani bercerita dan menjadikannya tempat pulang.

“Chey, maafin ibu karena kurang memperhatikan kamu? Ibu janji, semua akan baik-baik aja. Terima kasih udah cerita sama Ibu, terima kasih udah percaya sama Ibu. Semua bakal dapat ganjarannya masing-masing.”

“Ibu bangga punya anak hebat kayak Cheyya. Jangan pernah sembunyiin apa pun dari ibu ya, Sayang? Ibu selalu menunggu Cheyya untuk berbagi cerita kayak gini,” ucap sang ibu dengan suara yang sendu, berusaha menahan air mata agar terlihat kuat untuk putrinya.

Cheyya terdiam begitu lama mendengar pengakuan tulus dari ibunya. Cheyya tak sadar bahwa selama ini ia mempunyai seorang ibu yang tulus menyayanginya. Cheyya kemudian mendekap ibunya begitu erat, meminta maaf untuk semua kesalahannya.

Akhirnya, Cheyya kembali fokus pada kehidupan nyatanya, walaupun masih sering berteman dengan teman virtual. Kini ia tahu batasan dan lebih berusaha untuk menyeimbangkan kehidupannya.

Cheyya dan Mia juga pada akhirnya menjadi teman akrab. Cheyya tau bahwa Mia memang sangat tulus meminta maaf.

Kini hidup Cheyya jadi lebih sedikit berwarna daripada sebelumnya. Ia sadar bahwa semua sudah pada porsinya masing-masing.

Cheyya mempunyai ibu dan teman baik. Dan yang pasti, ia punya Allah Yang Maha Kuasa, yang tak akan pernah meninggalkannya kapan pun, bagaimana, di mana pun. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *