Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
(Chief Editor CemerlangMedia.Com)
Kebijakan yang dikeluarkan harus berpihak pada rakyat dan kelestarian alam, bukan pada kepentingan segelintir pengusaha besar. Pemimpin yang adil dalam Islam akan menolak segala bentuk intervensi atau tekanan dari pemilik modal yang merusak dan lebih fokus pada pemeliharaan keseimbangan alam, demi kemaslahatan seluruh rakyat.
CemerlangMedia.Com — Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah yang terus berulang merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi Indonesia. Fenomena titik api yang menyebabkan kabut asap tebal tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga menimbulkan dampak kesehatan yang serius bagi masyarakat sekitar dan wilayah yang lebih luas, seperti yang terus berulang di wilayah Kalimantan Tengah.
Kepala Pelaksana BPBPK Prov. Kalteng Toyib menyampaikan, penanganan dan pengendalian karhutla dari kabupaten/kota telah ditangani oleh Tim Satgas Pengendalian Karhutla di Kota Palangka Raya. Menurut Toyib, ada sembilan titik kejadian karhutla yang ditangani oleh tim, yakni di beberapa jalan di Kecamatan Jekan Raya (Kalteng.go.id, 17-9-2024).
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, kebakaran hutan tetap menjadi masalah tahunan. Dalam menganalisis akar permasalahan ini, kita tidak bisa mengabaikan faktor sistem kapitalisme yang menjadi biang keladi dari kerusakan hutan. Sebagai alternatif, Islam menawarkan solusi komprehensif yang dapat menuntaskan masalah ini secara mendasar.
Kapitalisme Biang Kerusakan Hutan
Sistem ekonomi kapitalisme yang berfokus pada eksploitasi sumber daya alam demi keuntungan maksimal, memiliki peran besar dalam krisis lingkungan yang dihadapi saat ini. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia dan rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati, sering kali dipandang hanya sebagai aset ekonomi yang dapat dimanfaatkan, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.
Di Kalimantan Tengah, banyak lahan hutan yang telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Perusahaan-perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional, terus berlomba-lomba menguasai lahan untuk kepentingan bisnis mereka. Pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara membakar hutan yang dianggap sebagai metode murah dan efisien. Hal ini yang kemudian menyebabkan titik api dan memicu kebakaran hutan besar-besaran setiap tahun.
Sebanyak lebih 22 ribu hektare hutan dialihfungsikan menjadi kebun sawit. Salah satu perusahaan raksasa PT Best Agro Internasional menyulap hutan menjadi perkebunan sawit. Bahkan, berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 15.596 hektare berada di kawasan ekosistem lindung gambut, juga telah dialihfungsikan yang akhirnya berpotensi merusak hutan (Tempo.co, 27-4-2024).
Dalam kapitalisme, kepentingan ekonomi berada di atas segala-galanya, termasuk kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam praktik pembukaan lahan dengan cara membakar sering kali mengabaikan dampak jangka panjangnya. Mereka memaksimalkan keuntungan dengan biaya rendah, tanpa memedulikan kerugian yang ditimbulkan bagi masyarakat, baik dari segi kesehatan, sosial, maupun ekologi. Bahkan, meskipun pemerintah sudah memberlakukan berbagai regulasi dan sanksi, pelanggaran hukum terkait pembakaran hutan tetap terus terjadi. Ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dalam sistem yang lebih mementingkan modal dan investasi.
Faktor lain yang menyebabkan kerusakan hutan adalah adanya oligarki, yakni segelintir kelompok pengusaha besar yang memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan pemerintah. Dalam kapitalisme, para pemilik modal sering kali memiliki hubungan yang erat dengan penguasa politik sehingga kebijakan yang dikeluarkan sering kali menguntungkan segelintir pihak saja, tanpa memikirkan dampak negatif yang lebih luas. Konflik kepentingan ini membuat upaya pelestarian hutan menjadi tidak efektif dan sulit dijalankan dengan baik.
Kebakaran hutan yang terus berulang di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa sistem kapitalisme telah gagal dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Alih-alih menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kapitalisme justru mendorong terjadinya eksploitasi berlebihan terhadap alam yang pada akhirnya merugikan semua pihak.
Solusi Tuntas dari Perspektif Islam
Islam, sebagai sebuah sistem kehidupan yang komprehensif menawarkan solusi tuntas dalam menangani masalah kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan. Berbeda dengan kapitalisme yang menempatkan keuntungan materi di atas segalanya, Islam memiliki pandangan yang holistik terhadap alam dan sumber daya alam. Dalam Islam, manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, yang berarti manusia harus menjaga dan melestarikan alam sebagai amanah dari Allah Swt..
Pertama, dalam sistem Islam, pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, tidak boleh diserahkan kepada individu atau kelompok tertentu yang memiliki kepentingan ekonomi semata. Sumber daya alam yang vital, seperti hutan, air, dan tambang, merupakan milik umum yang pengelolaannya harus berada di tangan negara dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan untuk keuntungan segelintir elite atau perusahaan besar. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (HR. Abu Dawud). Dengan demikian, Islam melarang privatisasi sumber daya alam yang dapat merugikan kepentingan umum.
Kedua, Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman bahwa bumi dan segala isinya diciptakan dengan keseimbangan yang sempurna (QS Al-Hijr: 19-20). Manusia dilarang merusak keseimbangan tersebut dengan eksploitasi yang berlebihan atau merusak ekosistem yang ada. Kerusakan yang terjadi di bumi, termasuk kebakaran hutan, merupakan dampak dari tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Islam mengajarkan bahwa setiap tindakan yang merusak lingkungan, termasuk membakar hutan adalah bentuk perbuatan zalim yang akan mendatangkan kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketiga, sistem Islam juga memiliki mekanisme penegakan hukum yang kuat dan adil. Negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap aturan-aturan syariat, termasuk yang berkaitan dengan lingkungan, diberikan sanksi yang tegas dan adil. Dalam konteks kebakaran hutan, perusahaan atau individu yang terbukti melakukan pembakaran lahan secara ilegal harus dihukum sesuai dengan syariat, termasuk denda atau hukuman yang setimpal. Selain itu, negara juga harus memastikan adanya upaya rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kebakaran hutan.
Dalam Islam, pemimpin atau pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kelestarian lingkungan. Mereka harus bertindak sebagai pelindung alam dan penegak keadilan, bukan sebagai pelayan kepentingan kapitalis. Kebijakan yang dikeluarkan harus berpihak pada rakyat dan kelestarian alam, bukan pada kepentingan segelintir pengusaha besar. Pemimpin yang adil dalam Islam akan menolak segala bentuk intervensi atau tekanan dari pemilik modal yang merusak dan lebih fokus pada pemeliharaan keseimbangan alam, demi kemaslahatan seluruh rakyat.
Khatimah
Kebakaran hutan yang terus berulang di Kalimantan Tengah adalah cerminan dari kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Sistem ini mendorong eksploitasi hutan secara berlebihan, demi keuntungan segelintir pihak, sementara masyarakat dan lingkungan menderita akibatnya.
Islam menawarkan solusi tuntas dengan pandangan holistik terhadap alam. Pengelolaan sumber daya alam harus berdasarkan prinsip keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Dalam sistem Islam, hutan dan sumber daya alam lainnya adalah milik umum yang harus dikelola untuk kesejahteraan semua orang, bukan untuk kepentingan segelintir kapitalis. Dengan penegakan hukum yang kuat dan adil, serta kepemimpinan yang amanah, Islam dapat menjadi solusi yang menyeluruh dalam mengatasi masalah kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan di Kalimantan Tengah dan seluruh dunia. [CM/NA]