Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
Untuk membentuk generasi berkualitas, Islam membangunnya melalui pendidikan yang bervisi misi ketakwaan. Dengan pendidikan, negara mampu membentuk generasi yang mempunyai kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap islami).
CemerlangMedia.Com — Program makan siang gratis yang merupakan janji kampanye pasangan presiden dan wakil presiden terpilih selalu menjadi sorotan publik. Pasalnya, menu yang ditawarkan beragam. Netizen pun ramai mengomentari menu tersebut, seperti pada menu kali ini.
Netizen heboh menanggapi susu ikan yang digadang-gadang menjadi salah satu menu program makan siang gratis tersebut. Pasalnya, selama ini masyarakat hanya kenal susu sapi, susu kambing, susu kedelai, dan susu kacang hijau. Akhirnya, susu ikan “dirujak” netizen. Apa benar ada susu ikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistyo menyatakan, susu ikan adalah hasil inovasi industri pangan yang berasal dari produk turunan Hidrolisat Protein Ikan (HPI). Lebih jauh, Budi mengungkapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) tersebut merupakan tata kelola kesejahteraan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan gizi penerus bangsa (CNN.indonesia, 18-09-2024).
Menanggapi hal ini, Nurul Ratna Mutu Manikam Dokter Spesialis Gizi Klinis di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menuturkan, pemberian makanan utuh, seperti daging ayam, daging sapi, ataupun telur lebih praktis dan efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi anak, terutama dalam pemenuhan protein hewani. Ratna menjelaskan bahwa susu hanyalah makanan tambahan dalam memenuhi gizi seseorang.
Selain itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Departemen Gizi Masyarakat Hardinsyah menyampaikan definisi susu sebaiknya diluruskan. Jika menilik pengertian susu menurut BPOM, susu ikan dalam PMG adalah sari ikan atau susu ikan analog (Kompas.tv, 11-09-2024).
Jika menu makan siang gratis yang direncanakan saja masih menuai kontroversi dengan kandungan kualitas gizinya yang tidak seefektif makanan utuh, tentu program tersebut hanya menambah pengeluaran kas negara. Kebijakan ini pun perlu disangsikan tujuannya yang katanya untuk memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia, tetapi faktanya, nilai gizinya sedikit.
Jika serius untuk perbaikan gizi, hendaknya pemerintah menciptakan harga pangan murah agar anak bisa mengakses makanan sehat dengan mudah. Tidak hanya itu, jajanan atau makanan yang berbahaya untuk dikonsumsi, haruslah diberangus.
Watak Kapitalisme Demokrasi
Sudah menjadi kebiasaan pejabat demokrasi kapitalisme membuat kebijakan dengan mengeklaim untuk kesejahteraan rakyat, padahal sebenarnya memberikan banyak peluang usaha kepada banyak korporasi dan oligarki. Pengadaan makan siang gratis sudah tentu menggandeng pihak swasta untuk mengelolanya. Tentu saja hal ini menjadi lahan bisnis kaum kapitalisme yang prioritasnya dalah keuntungan, bukan pelayanan kepada rakyat.
Demikianlah khas negara demokrasi kapitalisme. Negara berlepas tangan dalam mengurus rakyatnya. Inilah negara yang “baik” dalam pandangan neoliberal. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, yakni pembuat aturan bagi agenda korporat sebagai operator penguasa dan pebisnis hajat hidup umat. Negara hanya mencukupkan dengan mengurus seadanya kaum miskin.
Ironisnya, negara menunggangi isu generasi untuk menyukseskan proyek industrialisasi. Penguasa negeri ini membuat kebijakan untuk mencetak generasi yang berkualitas, tetapi kenyataannya melanggengkan hegemoni kapitalis.
Lagi pula, program makan siang gratis hanya berfokus pada isi perut, bukan isi kepala. Tentu saja program ini tidak berpengaruh pada kualitas berpikir generasi. Generasi tetap saja dijejali pemikiran kapitalisme sekularisme liberalisme sejak dini.
Sebagus apa pun menu makan siangnya, apabila generasi hidup di alam kapitalisme, maka kualitas generasi sudah tentu selalu rendah. Sebab, mereka tidak akan memahami hakikat kehidupan yang baik dan benar. Sistem hidup seperti ini yang mengebiri generasi emas menjadi generasi cemas.
Generasi Berkualitas dengan Islam
Isu stunting dan ketahanan pangan sangat berkaitan dengan kualitas generasi. Tidak heran jika kondisi ini menjadi isu hangat dalam rencana perbaikan generasi penerus bangsa.
Sayangnya, permasalahan yang ada bukannya dicarikan solusi tuntas, malah blunder dan menimbulkan permasalahan baru. Sementara jika menggunakan cara yang Islam ajarkan, sudah tentu permasalahan akan tuntas terselesaikan, misalnya pada menu makanan.
Islam tidak hanya mewajibkan umatnya untuk mengonsumsi makanan yang halal, tetapi juga tayib, sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-Baqarah,
“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.” (TQS Al-Baqarah [2]: 168).
Makanan akan menjadi tenaga untuk beribadah, bekerja, dan menjalankan syariat Allah Swt.. Makanan merupakan kebutuhan pokok untuk memenuhi hajatul ‘udwiyyah.
Oleh karena itu, negara sebagai penyelenggara syariat Allah, wajib menyediakan keberadaannya. Bukan hanya menu makan siang yang harus bergizi, tetapi setiap makanan yang disantap kaum muslimin haruslah bergizi baik dan halal.
Adapun negara Islam bertindak sebagai raain yang bertanggung jawab mengurus rakyat, tanpa disetir oleh kepentingan para kapitalis. Andaikata negara Islam harus bekerja sama dengan negara luar, maka hal itu semata-mata untuk kepentingan rakyat, bukan untuk meraih keuntungan dalam berbisnis.
Di sisi lain, untuk membentuk generasi berkualitas, Islam membangunnya melalui pendidikan yang bervisi misi ketakwaan. Dengan pendidikan, negara mampu membentuk generasi yang mempunyai kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap islami). Dengan begitu, generasi mengenali dirinya sebagai hamba Allah Swt. sehingga yang dikejar hanya rida Allah, bukan materi semata.
Pemikiran ini akan terbentuk dengan penjagaan orang tua yang berfungsi sesuai ajaran Islam. Bapak sebagai qawwam dan ibu sebagai ummun wa rabbatul bait. Demikian pula dengan lingkungan sekitar yang senantiasa membiasakan dakwah di tengah kehidupan bermasyarakat. Negara dengan proteksi berasas Al-Qur’an dan as-Sunah mampu melindungi generasi dari berbagai ancaman krisis multidimensi.
Dengan demikian, generasi yang berkualitas akan ditemukan ketika Islam diterapkan secara kafah. Tidak ada cara lain untuk menciptakan manusia unggul, kecuali Islam. Insyaallah, Wallahu a’lam. [CM/NA]