Oleh: Mukhy Ummu Ibrahim
(Member Akademi Menulis Kreatif)
“Memang sudah saatnya umat beralih dari sistem ‘dagelan’ ini dan menggantinya dengan sistem sempurna yang akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi semua. Apalagi kalau bukan sistem yang bersumber dari Yang Maha Pencipta, yaitu Islam.”
CemerlangMedia.Com — Terkadang sebutan negeri ini sebagai ‘negeri dagelan’ memang cukup masuk akal. Kata “dagelan” yang berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “lelucon” memang cukup bisa menggambarkan kondisi negeri ini yang sering memunculkan pernyataan-pernyataan yang lucu dari para pembuat kebijakannya.
Alih-alih memberikan solusi cerdas atas permasalahan yang sedang dihadapi negeri ini, pemangku kebijakan justru lebih sering memunculkan solusi yang ‘nyeleneh’, misalnya saja saat harga daging melonjak tinggi. Solusi yang diberikan adalah mengganti daging dengan keong sawah atau ketika harga cabai kian melejit. Bukannya mencari solusi agar harga cabai kembali stabil, tetapi pemerintah menganjurkan masyarakat untuk mengurangi konsumsi cabai atau menanam cabai di pekarangan rumah.
Solusi Asalan
Pernyataan-pernyataan tersebut sungguh menggelikan. Sebab, ini tidak seharusnya disampaikan oleh para pembuat kebijakan yang semestinya mempungai kapabilitas untuk memberikan solusi yang lebih solutif dan cerdas. Bukan sekadar solusi asalan yang orang awam pun bisa memikirkan.
Sejatinya, pernyataan-pernyataan tersebut hanyalah dalih yang disampaikan untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah. Ya, pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan sehingga akhirnya hanya pernyataan-pernyataan unfaedah saja yang dikeluarkan.
Demikianlah tabiat para pembuat kebijakan di negeri ini. Hanya pandai berkilah saat sejatinya tidak mampu menyelesaikan masalah. Demikian pula pernyataan yang disampaikan oleh salah satu ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro terkait fakta turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia.
Menurut Bambang, turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Melainkan juga akibat kebiasaan sehari-hari masyarakat yang memiliki kebutuhan terhadap air kemasan, seperti air galon. Kebiasaan ini membuat pengeluaran membengkak karena kebutuhan air galon ini. Walhasil, kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang lain pun menjadi berkurang.
Bambang memberikan perbandingan dengan negara maju yang masyarakatnya tidak terbebani dengan pengeluaran untuk air minum. Hal itu karena pemerintah telah menyediakan air minum yang layak konsumsi dan gratis bagi warganya (cnbcindonesia.com, 31-8-2024).
Pernyataan ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya adalah dari Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan. Anthony mengatakan bahwa pernyataan tersebut sungguh menyedihkan, tidak masuk akal sama sekali, dan absurd. Menurut Anthony, pemerintah hanya mencari kambing hitam dari ketidakmampuannya untuk meningkatkan perekonomian warganya (moneytalk.id, 1-9-2024).
Tanggung Jawab Pemerintah
Memang benar, pemerintah hanya pandai berdalih dan mencari kambing hitam. Semestinya pemerintah mampu menjamin terselesaikannya setiap problematika yang dihadapi masyarakat.
Permasalahan pemenuhan air bersih dan air yang layak konsumsi tentunya masalah yang sangat penting. Air bersih adalah kebutuhan primer masyarakat yang pemenuhannya tidak bisa ditunda dan tidak bisa diabaikan.
Sayangnya, dengan paradigma kepengurusan urusan masyarakat yang berlandaskan kapitalisme, kebutuhan masyarakat akan air minum ini justru dikapitalisasi. Bisnis penyediaan air minum menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi para pengusaha untuk dapat meraup keuntungan yang maksimal.
Negara kita memang mempunyai perusahaan yang mengelola penyediaan air bersih, yaitu PAM, (Perusahaan Air Minum). Akan tetapi, kualitas airnya yang belum sampai pada level layak minum membuat kebutuhan masyarakat akan air bersih ini tidak dapat terpenuhi sepenuhnya.
Akhirnya, ini menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk menyediakan air bersih layak minum dalam kemasan, mulai dari kemasan gelas, botol, hingga galon. Berbagai usaha kecil hingga menengah di bidang isi ulang air kemasan galon pun menjamur.
Oleh karena tidak ada pilihan lain, maka masyarakat pun terpaksa mengeluarkan uang lebih, demi terpenuhinya kebutuhan air bersih, terutama yang layak minum. Bertambahnya pengeluaran inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab kelompok ekonomi kelas menengah menjadi jatuh miskin.
Semestinya, pemerintah menyadari bahwasanya pemenuhan air bersih adalah kebutuhan primer yang menjadi tanggung jawab negara. Oleh karenanya, negara harus mengerahkan segenap upaya dengan dana dan juga teknologi untuk dapat menyediakan air bersih yang berkesinambungan.
Jika pun ada biaya yang harus dibebankan, tentu tidak semahal ketika yang mengelola adalah pihak swasta, sebagaimana yang terjadi sekarang. Bahkan, apabila memang bisa, air bersih dan layak minum ini bisa digratiskan, seperti yang sudah didapati di negara-negara maju. Sayangnya, dengan sistem kapitalisme yang menjadi dasar berlangsungnya perekonomian negara, harapan yang demikian agaknya akan sulit untuk diwujudkan.
Pengelolaan Air dalam Islam
Berbeda ketika Islam yang menjadi patokan, baik dalam kepengurusan urusan rakyat maupun dalam perekonomian. Berdasarkan paradigma riayatus suunil ummah, negara akan menerapkan kebijakan dengan memprioritaskan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara makruf, bukan pada keuntungan semata.
Negara akan siap menggelontorkan dana demi pembangunan sarana dan prasarana penyediaan air bersih hingga air bersih layak minum untuk warganya. Pengerahan sumber daya manusia yang kapabel pun akan dilakukan, demi memperoleh strategi dan teknologi yang paling efektif dan efisien sehingga kebutuhan rakyat akan air bersih pun bisa terpenuhi dengan baik, tanpa memberikan beban tambahan kepada rakyat.
Memang sudah saatnya umat beralih dari sistem ‘dagelan’ ini dan menggantinya dengan sistem sempurna yang akan membawa kebaikan dan keberkahan bagi semua. Apalagi kalau bukan sistem yang bersumber dari Yang Maha Pencipta, yaitu Islam.
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu….” (QS Al-Maidah: 3)
Wallahu a’lam. [CM/NA]