Penulis: Eli Ermawati
Ibu Pembelajar
Peringatan Nuzulul Qur’an seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi harus menjadi momentum bagi umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an secara nyata. Tidak ada kemuliaan bagi individu, masyarakat, maupun negara kecuali dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan.
CemerlangMedia.Com — Setiap tahun, umat Islam di berbagai daerah memperingati Nuzulul Qur’an sebagai momen refleksi atas turunnya kitab suci yang menjadi pedoman hidup. Berbagai kegiatan digelar untuk menyemarakkan peringatan ini, mulai dari kajian tafsir hingga perlombaan tilawah, dengan tujuan memperkuat kecintaan terhadap Al-Qur’an.
Tidak hanya masyarakat, pemerintah daerah juga turut berperan aktif dalam peringatan ini dengan menekankan pentingnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Seperti dilansir Bandungraya.Net, bupati Bandung dan wakil bupati Bogor turut merayakan Nuzulul Qur’an dengan menekankan pentingnya akhlak mulia serta pemahaman Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari (16-03-2025).
Namun, realita yang terjadi di masyarakat justru berbanding terbalik. Meskipun peringatan ini terus diadakan, ajaran Al-Qur’an belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Hukum yang digunakan masih bersumber dari aturan buatan manusia dalam sistem demokrasi kapitalisme. Akibatnya, berbagai problem sosial terus bermunculan, seperti tingginya angka kriminalitas, ketimpangan ekonomi yang makin tajam, hingga degradasi moral yang mengkhawatirkan.
Lebih ironis lagi, individu atau kelompok yang menyerukan penerapan Al-Qur’an secara menyeluruh justru dicap radikal. Seolah-olah kembali kepada Islam secara kafah adalah sesuatu yang berbahaya, sementara membiarkan hukum buatan manusia yang bertentangan dengan Al-Qur’an dianggap wajar.
Islam vs. Kapitalis: Mana yang Lebih Adil?
Sistem demokrasi kapitalisme yang dominan saat ini menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum. Dalam sistem ini, aturan dibuat berdasarkan suara mayoritas, yang sering kali dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu, hawa nafsu, dan kekuatan modal. Hal ini menyebabkan:
Pertama, ketimpangan ekonomi. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan sistemik. Kekayaan hanya berputar di kalangan elite, sementara rakyat kecil makin sulit memenuhi kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan. Riba dan monopoli ekonomi menjadi faktor utama yang makin memperlebar jurang sosial.
Kedua, kerusakan moral. Liberalisasi dalam sistem demokrasi memberikan kebebasan tanpa batas. Pergaulan bebas, pornografi, hingga perilaku menyimpang dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia. Akibatnya, generasi muda makin jauh dari nilai-nilai Islam dan kehancuran moral menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat.
Ketiga, ketidakadilan hukum. Demokrasi menjanjikan keadilan, tetapi faktanya hukum lebih berpihak kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan modal. Banyak kasus korupsi yang hanya berakhir dengan hukuman ringan, sementara rakyat kecil yang melanggar aturan sepele justru mendapatkan hukuman berat.
Keempat, kebijakan yang berbasis kepentingan, bukan kebenaran. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat berdasarkan suara mayoritas, bukan berdasarkan kebenaran mutlak dari Allah. Hal ini memungkinkan kebijakan yang dihasilkan tidak selalu berpihak kepada keadilan, melainkan lebih kepada kepentingan segelintir pihak yang memiliki pengaruh besar.
Sejatinya, manusia adalah makhluk yang terbatas dan lemah. Akal manusia tidak mampu menjangkau semua aspek kehidupan dengan sempurna, apalagi menciptakan hukum yang benar-benar adil. Inilah mengapa hukum buatan manusia selalu menimbulkan permasalahan baru.
Sebaliknya, Islam telah memberikan pedoman hidup yang sempurna melalui Al-Qur’an. Allah berfirman: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (TQS Al-Jatsiyah: 18).
Artinya, seorang muslim tidak boleh mendasarkan hidupnya pada aturan buatan manusia yang didasarkan pada hawa nafsu, tetapi harus berpegang teguh pada syariat Allah. Sayangnya, di era sekularisme ini, hukum Allah justru dipinggirkan dan aturan buatan manusia dijadikan pedoman utama.
Mengembalikan Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup
Agar Al-Qur’an benar-benar menjadi pedoman dalam kehidupan, bukan sekadar menjadi bacaan dalam acara seremonial, umat Islam perlu melakukan langkah nyata:
Pertama, membangun kesadaran individu. Muslim harus memahami bahwa berpegang pada Al-Qur’an secara kafah adalah bagian dari keimanan. Setiap muslim harus berusaha mengamalkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari ibadah, muamalah, hingga interaksi sosial.
Kedua, menegakkan dakwah Islam kafah. Dakwah tidak boleh hanya terbatas pada ajakan membaca dan menghafal Al-Qur’an, tetapi juga harus mengajak masyarakat memahami dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan. Umat harus menyadari bahwa solusi atas berbagai problem kehidupan hanya bisa ditemukan dalam syariat Islam.
Negara tidak cukup hanya menggelar peringatan Nuzulul Qur’an, tetapi harus menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar dalam setiap kebijakan. Hukum dan sistem pemerintahan harus bersumber dari syariat Islam, bukan dari aturan buatan manusia yang penuh dengan cacat dan kepentingan.
Peringatan Nuzulul Qur’an seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi harus menjadi momentum bagi umat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an secara nyata. Tidak ada kemuliaan bagi individu, masyarakat, maupun negara kecuali dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan.
Hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh, umat manusia dapat keluar dari berbagai krisis yang diakibatkan oleh sistem buatan manusia yang serba cacat. Sudah saatnya umat sadar dan memperjuangkan tegaknya hukum Allah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab. [CM/Na]