Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Efisiensi anggaran pendidikan yang berpotensi menaikkan UKT adalah kebijakan yang kontras dengan Islam. Dalam Islam, negara mempunyai mekanisme sendiri untuk mendanai pendidikan. Oleh karena itu, sistem kapitalisme yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas, menjadikannya bisnis, hingga memperoleh keuntungan secara finansial tidak sesuai dengan ajaran Islam.
CemerlangMedia.Com — Dampak dari kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah di bidang pendidikan berpengaruh terhadap biaya kuliah. Hal ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro bahwa Mendiktisaintek mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp14,3 triliun dari total pagu anggaran 2025 yang mencapai Rp56,6 triliun. Selain itu, bantuan untuk lembaga juga dikurangi sebesar 50 persen, yaitu Rp4,9 triliun (Detik.com, 13-02-2025).
Kebijakan ini seolah menjadi alarm keras bagi generasi muda yang hendak atau masih duduk di bangku kuliah bahwa uang kuliah tunggal (UKT) akan segera naik. Begitu pula dengan kualitas sumber daya manusia yang terancam makin rendah, sebab akses pendidikan sulit terjangkau.
Dampak UKT Naik
Banyak dampak tatkala UKT dinaikkan karena kebijakan efisiensi anggaran pendidikan ini, di antaranya penurunan jumlah mahasiswa dari keluarga kurang mampu, marak calon mahasiswa yang akan mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi karena beban biaya yang terlalu mahal. Ini berpotensi meningkatnya angka putus kuliah atau munculnya tren mahasiswa yang bekerja lebih keras untuk membiayai kuliah sehingga mengganggu fokus mereka terhadap akademik.
Selain itu, akan muncul pula kesenjangan sosial dan ekonomi karena pendidikan tinggi makin eksklusif. Oleh karenanya, ketimpangan makin tajam antara kelompok kaya dan miskin.
Begitu pula, kenaikan UKT akan menjadi lonjakan beban keuangan bagi keluarga. Keluarga dengan penghasilan rendah harus mencari alternatif pembiayaan, seperti berutang atau mengorbankan kebutuhan lain, misalnya memangkas biaya pengobatan atau tabungan masa depan. Hal ini dapat memperburuk kesejahteraan mereka dalam jangka panjang.
Tidak sampai di situ, apabila akses pendidikan tinggi sulit dijangkau, maka konsekuensi lainnya adalah penurunan terhadap lulusan yang berkualitas. Dengan berkurangnya mahasiswa yang berpendidikan tinggi, jumlah lulusan terampil juga akan makin berkurang. Hal ini mengakibatkan minimnya jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam persaingan global.
Perlu diketahui, perguruan tinggi memainkan peran besar dalam riset dan teknologi. Jika hal ini juga terkena dampak efisiensi anggaran dan mahasiswa makin sedikit karena terbebani oleh biaya, tentunya kualitas riset juga akan menurun. Hal ini juga akan membuat Indonesia makin tertinggal dari persaingan global dalam sains, riset, teknologi, dan ekonomi yang berbasis pengetahuan.
Dampak buruk lainnya akibat UKT naik adalah meningkatnya brain drain yang selama ini sempat menjadi trending topik di media sosial. Hal ini membuka peluang mahasiswa berbakat yang tidak dapat menjangkau pendidikan dalam negeri mencari peluang beasiswa ke luar negeri atau program pendidikan yang lebih terjangkau di negeri orang. Jika kelak mereka menetap di luar negeri untuk bekerja atau mengabdikan ilmu di tempat tinggalnya selama belajar, tentunya Indonesia akan kehilangan talenta terbaiknya.
Oleh karena itu, efisiensi anggaran pendidikan yang berdampak pada kenaikan UKT bukan sekadar masalah biaya kuliah, tetapi juga mempunyai efek domino terhadap akses pendidikan, ekonomi, sosial, dan kualitas SDM. Adanya perubahan kebijakan efisiensi anggaran pendidikan berpotensi merugikan generasi yang akan datang dan melemahkan daya saing negeri ini dalam jangka panjang.
Pengaruh Sistem Kapitalisme
Efisiensi anggaran pendidikan yang berpotensi menaikkan UKT tidak lepas dari pengaruh sistem kapitalisme yang diusung negeri ini. Kapitalisme memandang pendidikan sebagai komoditas, bukan sebagai hak dasar masyarakat. Sistem ini mendorong kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai sektor yang harus mandiri secara finansial.
Hal ini berdampak pada komersialisasi pendidikan yang menaikkan UKT karena kampus harus menutup biaya operasional tanpa bergantung kepada subsidi pemerintah. Kampus beroperasi layaknya perusahaan, menaikkan UKT dalam rangka profitisasi.
Dengan demikian, pendidikan tinggi bukan lagi sebagai alat mobilitas sosial, melainkan memperkuat hegemoni kelompok kaya dalam struktur masyarakat. Inilah konsekuensi sistem kapitalisme, pendidikan dikelola secara mandiri dan berorientasi pada profit sehingga menyebabkan hanya kaum kaya yang berpeluang mendapatkannya karena biaya pendidikan beralih ke mahasiswa dan keluarganya.
Negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penjamin hak dasar masyarakat, termasuk pendidikan. Inilah sekularisme, pendidikan dianggap sebagai urusan individu, bukan kewajiban sosial negara. Kebijakan yang diambil ini jauh dari tuntunan agama.
Sementara liberalisme menyebabkan negara membebaskan pasar untuk mengatur pendidikan. Hal ini menjadi konsekuensi logis ketika menaikkan UKT karena liberalisme menekankan kompetensi dan kemandirian finansial perguruan tinggi. Kebebasan pasar dalam pendidikan menyebabkan persaingan antar kampus yang dapat menyebabkan kenaikan UKT.
Pandangan Islam
Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok rakyat. Pendidikan adalah hak fundamental yang harus dibiayai negara tanpa membebankan mahasiswa. Sabda Rasulullah saw., “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah).
Hadis ini menegaskan kewajiban muslim untuk menuntut ilmu. Jika menuntut ilmu itu wajib, tentu saja negara wajib pula menyediakan fasilitas pendidikan yang menunjang terpenuhinya kewajiban tersebut. Oleh karenanya, sarana dan prasarana harus dijamin oleh negara, bukan dijadikan beban finansial bagi individu.
Hal ini karena dalam Islam, pemimpin adalah pengurus dan bertanggung jawab kepada rakyat. Jadi, pendidikan merupakan tanggung jawab negara, bukan dibebankan kepada rakyat dengan biaya tinggi.
Adapun biaya pendidikan dalam Islam adalah melalui pengelolaan harta milik umum dan pemasukan baitulmal, seperti fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lainnya. Demikian pula dalam Islam, negara wajib mengelola sumber daya alam, seperti tambang, gas, dan minyak bumi yang hasilnya harus digunakan untuk membiayai pelayanan publik, termasuk pendidikan.
Khatimah
Efisiensi anggaran pendidikan yang berpotensi menaikkan UKT adalah kebijakan yang kontras dengan Islam. Dalam Islam, negara mempunyai mekanisme sendiri untuk mendanai pendidikan. Oleh karena itu, sistem kapitalisme yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas, menjadikannya bisnis, hingga memperoleh keuntungan secara finansial tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dari sini seharusnya masyarakat menyadari bahwa penerapan sistem kapitalisme hanya menyengsarakan. Penerapan sistem Islam secara kafah-lah yang akan menjadikan masyarakat sejahtera, tidak hanya di dunia, tetapi berlanjut sampai akhirat. Wallahu a’lam. [CM/NA]