Oleh: Neni Nurlaelasari
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Tak hanya sebatas untuk transportasi, BBM pun sangat diperlukan bagi keberlangsungan sektor industri. Pemakaian berbagai mesin dalam proses produksi, menjadikan BBM memiliki peran penting pada sektor industri. Maka tak heran jika kenaikan BBM nonsubsidi yang biasa dipakai oleh sektor industri akan memengaruhi harga produk yang dibutuhkan masyarakat.
Per (1-10-2023), Pertamina resmi menaikkan harga empat jenis BBM nonsubsidi. Kenaikan harga meliputi jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex (CNBCIndonesia.com, 30-09-2023). Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bahwa harga BBM nonsubsidi mengikuti harga pasar BBM dunia. Sebab sebagian besar BBM didapat dengan mengimpor, maka secara langsung harga BBM domestik mengikut harga rata-rata BBM Plate Singapura (TribunNews.com, 01-10-2023).
Sementara itu, menurut Ekonom Bank Permata Josua Pardede, naiknya harga BBM nonsubsidi dipengaruhi oleh harga minyak mentah, nilai tukar, distribusi, dan biaya angkut (Antaranews.com, 29-09-2023). Melihat harga BBM nonsubsidi yang fluktuasi, lalu seberapa besar dampak yang ditimbulkan?
Sebab dan Dampak Kenaikan BBM Nonsubsidi
Jika kita cermati, naiknya harga BBM nonsubsidi disebabkan karena BBM tersebut merupakan produk impor. Alhasil, naik turunnya harga minyak dunia akan memengaruhi harga BBM di Indonesia. Selain itu, komponen yang menentukan harga dasar BBM sendiri, terdiri dari biaya perolehan (biaya pengadaan BBM), biaya penyimpanan, dan biaya distribusi untuk mendistribusikan BBM ke konsumen di Indonesia.
Sementara itu, sebagian besar BBM impor berasal dari Singapura. Impor BBM dari Singapura pada 2022 saja mencapai 10,91 juta ton atau 42% dari total impor BBM RI (CNBCIndonesia.com, 21-02-2023). Ini terjadi karena masih banyak lapangan migas yang belum tereksploitasi, terutama di laut lepas akibat dari besarnya biaya eksplorasi dan eksploitasi. Untuk mengatasi kebutuhan BBM yang belum bisa tercukupi, maka solusi impor menjadi pilihan.
Alhasil, naiknya harga BBM nonsubsidi yang digunakan pada sektor industri akan membuat biaya produksi perusahaan bertambah. Dampaknya, selain akan memengaruhi naiknya harga jual produk yang beredar di masyarakat, gelombang PHK pun bisa terjadi akibat efisiensi biaya produksi pada sektor industri. Sementara itu, tingginya harga barang bisa menyebabkan terjadinya inflasi sehingga daya beli masyarakat menurun. Jika kondisi tersebut terus berlanjut, maka angka kemiskinan bisa meningkat tajam dan mendorong tingginya tingkat kejahatan di masyarakat.
Kenaikan harga BBM nonsubsidi yang dampaknya bisa meluas hingga pada tingginya tingkat kejahatan, sesungguhnya tak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang membiarkan sumber daya alam dikuasai oleh swasta bahkan asing. Ini terlihat dengan adanya liberalisasi migas sejak UU Migas 2022 disahkan. Alhasil, swasta dengan leluasa menguasai pengelolaan migas dari hulu hingga hilir. Maka pendapatan negara dari pengelola SDA ini sangat kecil, sebab swasta lah yang memperoleh keuntungan besar dari pengelolaan SDA berupa migas ini.
Di sisi lain, liberalisasi migas berdampak pula pada BBM subsidi yang biasa digunakan rakyat kecil. Sebab BBM subsidi pun terpengaruh harga minyak dunia sehingga beban subsidi untuk BBM meningkat. Untuk mensiasati hal tersebut, tak heran jika perlahan BBM subsidi pun mengalami penyesuaian harga seperti 2022 lalu, saat BBM bersubsidi mengalami kenaikan harga. Migas yang tersedia di alam yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat dengan harga murah, tetapi karena liberalisasi ini, rakyat akhirnya harus membayar mahal sekalipun disubsidi. Ini membuktikan bahwa liberalisasi migas merugikan rakyat.
Liberalisasi migas melalui UU yang menguntungkan pemilik modal (oligarki) merupakan bukti bahwa politik demokrasi tidak berpihak terhadap rakyat. Ini terjadi karena biaya politik untuk mendapatkan jabatan sangat mahal. Maka dukungan modal dari para oligarki, baik asing maupun aseng sangat penting. Alhasil, berbagai kebijakan yang diambil pun tak lepas dari balas jasa atas tercapainya menduduki jabatan.
Pengelolaan SDA dalam Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang membiarkan pengelolaan SDA dikuasai oleh swasta. Dalam sistem Islam, sumber daya alam termasuk di dalamnya minyak bumi merupakan bagian dari kepemilikan umat yang haram untuk dieksploitasi swasta bahkan asing. Hal ini sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw.,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, api dan padang rumput.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Berdasarkan hadis ini, penjabaran kategori api termasuk minyak bumi sebagai barang yang dibutuhkan rakyat. Dalam Islam, kepemilikan SDA termasuk migas adalah milik rakyat. Negara hanya berkewajiban mengelola SDA kemudian hasilnya untuk rakyat. Maka liberalisasi migas adalah kebijakan yang diharamkan dalam Islam. Dengan pengelolaan yang ditangani oleh negara, maka negara bisa memberikan pelayanan BBM yang berkualitas dengan harga yang murah bagi semua kalangan. Tak hanya untuk mencukupi kebutuhan rakyat, tetapi juga untuk mencukupi kebutuhan sektor industry sehingga sektor industri tidak terbebani dengan BBM mahal untuk biaya operasionalnya. Alhasil, produk yang di hasilkan industri akan sangat terjangkau oleh masyarakat.
Di sisi lain, berbagai kebijakan dalam sistem Islam akan sepenuhnya untuk melayani rakyat. Sebab, dalam sistem politik Islam, memilih pemimpin dan pejabat untuk menjalankan tugas negara, didasarkan pada ketakwaan individu dan ketundukkan untuk menerapkan syariat Islam. Oleh karenanya, siapa pun yang duduk di pemerintahan hanya akan mengambil kebijakan berdasarkan syariat Islam. Tak ada istilah hegemoni oligarki dalam sistem politik Islam.
Sementara itu, larangan liberalisasi migas tersirat dari kisah Abyad bin Hammal. Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dia. Beliau pun memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, seorang laki-laki yang berada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Dari riwayat di atas menunjukkan bahwa tambang garam saja yang dibutuhkan rakyat tidak boleh di privatisasi/swastanisasi. Apalagi migas yang sangat dibutuhkan rakyat dalam menjalankan aktivitas dan berputarnya roda ekonomi sehari-hari. Dengan demikian, sudah saatnya kita membuang sistem kapitalisme yang terbukti merugikan rakyat dan kembali untuk menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah). Agar liberalisasi migas dihentikan dan SDA sepenuhnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat sehingga kenaikan harga BBM tidak berulang dan semua tidak kena imbasnya. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]