Oleh: Mustika Lestari
(Aktivis Muslimah)
“Kunci kesuksesan pembangunan dalam sistem Islam adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengurus urusan rakyat. Mereka memahami amanahnya sebagai wakil umat akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt..”
CemerlangMedia.Com — Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bertolak ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur (28-7-2024) dengan memboyong sejumlah influencer. Di hari pertama kunjungannya, Jokowi meresmikan Jembatan Pulau Balang dan meninjau tol IKN. Berkaitan dengan alasan mengikutsertakan sederet influencer, Staf Khusus Presiden, Grace Natalie mengungkap hal tersebut untuk transparansi, sekaligus menjawab penasaran publik dengan proses pembangunan IKN (detik.com, 30-7-2024).
Setelah menjajaki tanah Ibu Kota Nusantara, aneka testimoni berbalut promosi pun menyebar di akun media sosial milik mereka. Ada yang mengatakan akan menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia di masa mendatang, menawarkan potensi besar sebagai pusat inovasi dan destinasi masa depan, dan ada pula yang menaruh harapan bahwa IKN akan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat Indonesia, khususnya Kalimantan Timur.
Menuai Kritik
Namun, alih-alih mendapat apresiasi publik, hal tersebut justru panen kritik dari berbagai pihak. Satu di antaranya adalah ketua YLBHI Muhammad Isnur yang menilai cara pemerintah memboyong influencer dan pesohor ke IKN layaknya memakai jasa buzzer. Bukan menyajikan transparansi pembangunan dan visi misi ibu kota baru kepada publik, tetapi memoles perkembangan pembangunan IKN dengan sederet gimik (tirto.id, 1-8-2024).
Benar saja, sebelum konten tersebut berseliweran, rakyat sudah sering mendengar dan melihat dari kabar media betapa buruknya megaproyek itu. Sebut saja target pembangunan yang tidak tercapai, kering kerontangnya suntikan investor asing, sulitnya akses air bersih, mundurnya ketua dan wakil ketua otorita IKN, pencemaran udara, konflik agraria yang tak kunjung tuntas, dan segudang persoalan lainnya.
Selain tidak memberikan informasi yang relevan dengan fakta di lapangan, mengajak influencer juga hanya buang-buang uang. Analis Politik dari Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, cara pemerintah tersebut boros anggaran.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020 bahwa pada tahun 2014—2020, pemerintah menggelontorkan anggaran sekitar Rp1,29 triliun untuk aktivitas digital, khusus untuk influencer sekitar Rp90,45 miliar. Tentu saja imbalan selebritas yang diboyong ke IKN tersebut, nominalnya juga sangat besar.
Wajah Pembangunan ala Kapitalisme
Oleh karena itu, harus diakui bahwa tidak ada kepentingan mendesak yang mengharuskan para influencer tersebut dilibatkan untuk mengabarkan progres IKN di tengah banyaknya borok pembangunannya. Lagi pula bagi rakyat, di balik pesona bangunan megah yang disajikan konten media sosial, ada kehidupan mereka yang bertambah keruh. Oleh karenanya, masyarakat kehilangan lahan, rumah-rumah yang tidak sesuai standar tata ruang wilayah IKN digusur, mereka tetap miskin, terancam stunting, dan lain sebagainya.
Begitupun bagi negara, banyak pihak yang cemas dan memprediksi proyek tersebut terancam mangkrak. Bagaimana tidak, pendanaan yang sempoyongan, APBN tekor, target menggaet investor pun terseok-seok. Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama pernah menyebut bahwa hingga kini investasi yang masuk masih seret. Investor ogah masuk IKN karena sejumlah permasalahan dalam proyek tersebut.
Semua serba tidak beres, tetapi para influencer menyajikan layaknya IKN tanpa masalah apa pun. Mereka melupakan bagaimana derita rakyat di baliknya. Untuk itu, tidak berlebihan jika informasi mereka adalah pengaburan realita dari pembangunan dasar IKN yang sebenarnya menuju gagal.
Demikianlah wajah pembangunan dalam sistem kapitalisme. Terbukti pejabat yang lahir darinya adalah mereka yang tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai pengurus rakyat. Mereka hanya sibuk berbisnis dengan para pemodal, tanpa menimbang imbas serius dari aktivitasnya. Kini mulai bermunculan, seperti tekanan ekonomi, konflik dengan rakyat, dan semacamnya.
Jika demikian, sekalipun memoles sana-sini agar citra ragam pembangunan IKN terlihat positif, tetap saja lebih menonjol tumpukan masalahnya daripada yang baik-baiknya, sebab tegak di atas jeritan rakyat. Akhirnya, membuahkan kekacauan dan kerugian bersama.
Infrastruktur Islam
Berbeda halnya dengan pembangunan dalam Islam. Keberadaan Infrastruktur untuk memudahkan layanan kepada rakyat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Adanya infrastruktur harus mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat. Jika berpotensi sebaliknya, pembangunannya tidak akan dilakukan.
Berkaitan dengan pembangunan ibu kota negara, setidaknya di masa Islam juga pernah terjadi, misalnya ketika Khalifah abu Ja’far al-Manshur membangun Ibu Kota Daulah di Baghdad. Ibu kota tersebut menjadi bangunan yang terbaik di masanya. Sejarah menunjukkan, dalam pembangunannya tidak mengganggu pemukiman penduduk dan kesejahteraan pun melingkupi mereka.
Untuk membangun infrastruktur kenegaraan semacam ini, khalifah melibatkan para ahli tata ruang, memastikan ketersediaan anggaran dan tidak serba mendadak seperti saat ini. Khalifah juga mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi sehingga tidak berpotensi mangkrak akibat ragam persoalan yang timbul setelahnya.
Tentunya, kunci kesuksesan pembangunan dalam sistem Islam adalah kepemimpinan yang dijalankan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengurus urusan rakyat. Mereka memahami amanahnya sebagai wakil umat akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt.. Oleh karenanya, modal duduknya di tampuk kekuasaan adalah keimanan, kapabilitas, dan kredibilitas dalam menjalankan amanah rakyat, bukan uang dan pencitraan.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengurusan negara yang ideal sebagaimana disebutkan di atas, mustahil terjadi dalam sistem kehidupan kapitalisme. Tidak ada jalan lain, kecuali mengembalikan kehidupan Islam yang di dalamnya mengambil aturan Allah Swt. sebagai konsep kenegaraan. Dengan demikian, untuk sekadar memindahkan ibu kota negara tidak akan mendatangkan banyak mudharat. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]