Oleh: Meta Nisfia Falah, S.Ak.
Akad pengupahan (ijarah) mempunyai besaran berbeda adalah keniscayaan karena upah diberikan kepada pekerja sesuai dengan jasa yang diberikan, jenis, waktu, dan tempat bekerja, bukan dari standar hidup minimum masyaratat. Pekerja ahli dan profesional akan mendapat upah lebih besar adalah wajar.
CemerlangMedia.Com — Tahun 2025 makin dekat. Isu kenaikan upah menjadi sorotan utama dalam pembicaraan ekonomi nasional. Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) sedang menggodok kenaikan upah pada 2025 agar mampu menaikkan kesejahteraan dan menjaga daya saing dunia usaha.
Depenas yang terdiri dari pakar, pengusaha, pemerintah, serikat pekerja atau serikat buruh, dan akademisi telah melakukan sidang. Ketua Komite Ketenagakerjaan Apindo Subchan Gatot menjelaskan bahwa mereka ingin membuat skala upah kenaikan gaji 1—3 persen tergantung kemampuan perusahaan sesuai PP25/2024 (cnbcindonesia.com, 16-11-2024).
Sementara itu, Menkopolkam Budi Gunawan mengingatkan pemerintah daerah agar berhati-hati dalam menetapkan UMP (Upah Minimum Provinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota) sehingga tidak terjebak pada kebijakan populis. Apabila upah terlalu tinggi, maka dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi, menurunkan rekrutmen pekerja, mendorong pekerja ke sektor informal, dan menimbulkan ketidakpatuhan terhadap peraturan perusahaan (tirto.id, 07-11-2024).
Selain itu, upah buruh yang terlalu rendah atau stagnan dapat memperburuk ketimpangan sosial. Bagaikan dilema, di satu sisi ingin menaikkan kesejahteraan rakyat, tetapi di sisi lain pelaku bisnis pun tidak boleh dirugikan.
Di tengah gembar-gembor kenaikan upah terhitung 1 Januari 2025, pemerintah akan menaikkan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) menjadi 12 persen. Hal ini tentunya akan berimbas pada kenaikan harga barang-barang pokok dan kebutuhan dasar lainnya. Sementara itu, kenaikan upah buruh tidak mampu mengejar laju kenaikan pajak dan tentunya daya beli masyarakat akan menurun.
Layaknya beban ganda bagi rakyat, upah yang didapat minimal, tetapi kenaikan pajak terasa maksimal. Kondisi ini dapat memicu kesulitan hidup yang lebih berat dan berisiko memperburuk kemiskinan struktural.
Buruh dalam Kapitalisme
Tidak dapat dimungkiri, kondisi yang dialami rakyat Indonesia adalah dampak dari sistem ekonomi kapitalisme. Sistem yang saat ini mengatur negara menganggap buruh hanyalah bagian dari faktor produksi barang atau jasa.
Dalam suatu produksi, agar mendapatkan untung besar, maka faktor produksi harus dapat ditekan. Hal ini menyebabkan upah buruh menjadi seminimal mungkin agar perusahaan bisa menghemat biaya dan meningkatkan keuntungannya.
Begitulah cerminan sistem kapitalisme. Pemerintah akan senantiasa berpihak kepada para kapital. Sebagai pengusaha, mereka akan mencari keuntungan pribadi tanpa batas dan menekan biaya produksi. Posisi buruh menjadi pihak yang lemah, tidak punya pilihan dan hanya mampu menerima serta sulit menuntut upah yang layak.
Ditambah lagi dengan kekhawatiran hilangnya pekerjaan, buruh tidak punya pilihan. Banyak pekerja yang siap menggantikan posisi mereka apabila terlalu banyak bersuara.
Belum lagi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law yang ditetapkan oleh pemerintah, makin memperparah kondisi buruh. Perusahaan dapat melakukan PHK dengan mudah secara sepihak.
Seperti itulah fakta sistem kapitalisme. Sistem ini membawa banyak kerugian bagi rakyat. Penguasa lebih mengutamakan kesejahteraan pengusaha daripada kesejahteraan rakyatnya. Sementara rakyat harus berjibaku sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah kesempatan kerja yang makin sempit.
Kesejahteraan Buruh dalam Sistem Islam
Lain halnya dengan Islam. Dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya, termasuk para pekerja. Islam mengajarkan bahwa pekerja berhak mendapatkan upah yang adil sesuai dengan kerja keras dan kemampuan mereka.
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang mampu memberikan kesejahteraan bagi semua kalangan. Tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau pengusaha besar, tetapi juga bagi pekerja.
Dalam Islam, hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak hanya dilihat dari sisi ekonomi, tetapi juga dari keadilan sosial dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pekerja berhak mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja mereka dan akad kedua belah pihak.
Sebagaimana prinsip ekonomi Islam yang menjunjung tinggi prinsip syariah, maka antara pekerja dan pengusaha harus dilandasi keadilan, keseimbangan, adanya maslahat bagi kedua pihak, kepemilikan, dan kerja sama tanpa merugikan salah satu pihak. Pembayarannya pun wajib, tidak boleh adanya penundaan. Rasulullah saw. bersabda,
“Berikanlah hak kepada yang berhak, yaitu pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah).
Sistem Upah
Sistem upah pekerja dalam Islam pun tidak disama ratakan dalam suatu wilayah layaknya UMP, UMP, atau UMK dalam sistem kapitalisme. Sebab, kebutuhan hidup manusia mempunyai perbedaan. Jumlah keluarga satu pekerja dengan pekerja lain bisa jadi berbeda.
Upah yang lebih tinggi pun belum tentu mampu menjamin kesejahteraan. Bisa saja pemasukan yang besar, tetapi pengeluarannya juga besar karena harga kebutuhan pokok yang besar. Oleh karenanya, tentu akan sulit mencapai kesejahteraan. Inilah yang semestinya menjadi perhatian dalam sistem upah.
Dalam Islam, akad pengupahan (ijarah) mempunyai besaran berbeda adalah keniscayaan karena upah diberikan kepada pekerja sesuai dengan jasa yang diberikan, jenis, waktu, dan tempat bekerja, bukan dari standar hidup minimum masyaratat. Pekerja ahli dan profesional akan mendapat upah lebih besar adalah wajar.
Upah juga tidak berdasarkan pada besarnya tenaga yang diberikan, tetapi ditakar dari kompensasi jasa. Jumlah upah yang akan dibayarkan dan jenis pekerjaannya pun secara rinci dijelaskan sehingga tidak terjadi akad dan transaksi yang fasad (rusak).
Jika ada perselisihan mengenai upah, Islam mengatur penyelesaian melalui khubara, yaitu pihak yang bijaksana dengan menentukan upah secara adil berdasarkan kesepakatan yang ada. Hal ini sesuai dengan prinsip musyawarah dalam Islam, sebagaimana dalam Al-Qur’an,
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Asy-Syura: 38).
Khatimah
Dalam sistem Islam, kedudukan pekerja amatlah dimuliakan. Pekerja atau buruh bukanlah alat produksi demi mendapatkan keuntungan. Mereka berhak hidup layak dan menerima upah sesuai dengan jasa mereka. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan antara pekerja dan pengusaha. Akankah kita masih terlena dengan sistem kapitalisme?
Wallaahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]