Oleh: Ani Hayati, S.H.I.
(Pegiat Literasi)
“Syariat Islam juga menetapkan bahwa pemimpin umat (khalifah) adalah pengurus (raain) dan penjaga (junnah) bagi seluruh rakyatnya. Semua tugas ini dipandang sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan sebatas umat secara komunal, tetapi atas mereka secara individual.”
CemerlangMedia.Com — Lagi-lagi dunia maya kembali dihebohkan dengan munculnya berita kontroversial. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini melibatkan berbagai kalangan masyarakat yang turut andil di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh putusan MK terkait pilkada yang mengejutkan jagat raya.
Tidak tanggung-tanggung, buzzer pun dikerahkan demi menutupi kecacatan kebijakan negara. Bagaimana bisa muncul narasi ‘Indonesia baik-baik saja’? Sementara negara sedang diterpa berbagai polemik dari berbagai arah, di antaranya adalah masalah kemiskinan, KDRT, kekerasan pada anak, perundungan, s3ks bebas, narkoba, kasus video asusila, stunting, hingga gonjang-ganjing revisi UU Pilkada.
Dilansir dari Suara.com (23-08-2024), media sosial sempat dihebohkan dengan penggunaan gambar berlambang Garuda Pancasila berlatar belakang warna biru dengan kalimat “Peringatan Darurat” bersamaan dengan munculnya tagar #KawalPutusanMK yang sempat trending di platform X (Twitter). Namun akhir-akhir ini, media sosial kembali memanas usai beredar postingan dengan gambar serupa, tetapi dengan narasi “Indonesia Baik-Baik Saja”.
Dibagikan oleh akun X @siimpersons, terkuak bahwa seruan tersebut diduga merupakan gerakan buzzer. Bahkan, akun itu mencuitkan gambar tangkapan layar berisi pesan WhatsApp yang mengindikasikan bahwa seruan tersebut bagian dari kampanye.
Dari fakta tersebut, sudah jelas bahwa negara bukan terfokus pada solusi atas persoalan umat yang banyak, tetapi justru menutupi kondisi rusak. Tagar Indonesia baik-baik saja berbanding terbalik dengan realita kondisi yang ada. Inilah bentuk pencitraan dengan mengerahkan buzzer. Sungguh, tidak cukup ruang untuk menyebutkan daftar panjang persoalan yang sedang menimpa bangsa ini yang ‘katanya’ telah merdeka selama 79 tahun lamanya. Oleh sebab itu, sudah semestinya kita bertanya, apakah bangsa ini baik-baik saja?
Kerusakan di Balik Pencitraan
Tidak dimungkiri bahwa Indonesia mengadopsi sistem kapitalisme dengan penerapan sekularisme, mulai sistem politik pemerintahan, dalam dan luar negeri, sistem ekonomi, sosial budaya, hukum dan sanksi, hankam, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Oleh karenanya, wajar jika secara resmi bangsa ini memilih jalan yang menyimpang dari kebenaran (tuntunan syariat).
Bahkan, setiap pergantian pemerintahan, deviasinya terus melebar hingga sekarang. Sementara sudah tercantum dalam UUD bahwa kemerdekaan bangsa ini diraih atas berkah rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Namun, nyatanya hanyalah teoritis semata, tanpa adanya nilai praktis.
Sesungguhnya, kerusakan akibat penerapan sistem sekularisme liberal sudah tampak sejak awal. Sejak orde lama hingga saat ini, bangsa ini tidak pernah merasakan ketenteraman. Kalaupun ada, semuanya semu, sebab kelicikan rezim yang menutupi kebobrokan yang terjadi secara struktural. Alhasil, saat kepemimpinan masuk ke periode berikutnya, kondisi bangsa ini benar-benar hancur dan babak belur.
Mirisnya, banyak rakyat yang mudah diiming-iming dengan hal-hal berbau artifisial. Rezim pemerintah neoliberal pandai memanfaatkan momen untuk menjauhkan rakyat dari pemikiran tentang perubahan, apalagi perubahan sistem. Pemberian bansos dan serangan fajar jelang pemilu, kesehatan gratis bagi segelintir keluarga miskin, serta berbagai iklan pencitraan dan peran aktif buzzer di media sosial. Semua itu dengan mudahnya menutup mata rakyat dari buruknya sistem kepemimpinan demokrasi.
Ditambah lagi, sebagian besar masyarakat tidak memahami persoalan secara mendasar dan kesadaran politiknya juga rendah. Akibatnya, rakyat tidak memahami realita yang sedang terjadi sehingga terkecoh dengan propaganda buzzer. Umat juga tidak paham bahwa negara seharusnya sebagai raain (pengurus). Ketidaksadaran ini menambah panjang rentetan penderitaan umat.
Umat Butuh Raain dan Junnah
Penderitaan yang dirasakan rakyat semestinya tidak terjadi jika mereka diurus oleh sistem kepemimpinan Islam (Khil4f4h). Sistem ini benar-benar akan memerdekakan karena tegak di atas paradigma yang benar dan transendental, yakni akidah Islam dengan standar amal berupa hukum-hukum Islam yang diterapkan sebagai sistem kehidupan pemimpin pilihan (khalifah).
Syariat Islam juga menetapkan bahwa pemimpin umat (khalifah) adalah pengurus (raain) dan penjaga (junnah) bagi seluruh rakyatnya. Semua tugas ini dipandang sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Bukan sebatas umat secara komunal, tetapi atas mereka secara individual.
Rasulullah saw. bersabda,
“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).
Para khalifah benar-benar paham bahwa amanah kepemimpinan akan menjadi jalan diperolehnya kebahagiaan dan penyesalan. Oleh karenanya, mereka sangat hati-hati dalam menjalankan amanah kepemimpinan. sebagaimana sabda Rasul saw.,
“Sesungguhnya, orang yang paling dicintai Allah ﷻ pada hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya dari-Nya adalah seorang pemimpin yang adil, sedangkan orang yang paling dibenci Allah pada hari kiamat dan paling keras siksanya adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR Ahmad).
Berharap Indonesia baik-baik saja di bawah kepemimpinan sekuler neoliberal adalah seperti pungguk merindukan bulan. Terbukti, sistem ini menjadi jalan melanggengkan penjajahan sekaligus menjadi akar munculnya berbagai penderitaan. Urusan umat dilalaikan dan menjadi jalan meraih keuntungan, bahkan harta kekayaan milik umat dieksploitasi para pemilik modal secara legal.
Negara dengan sistem Islam tidak membutuhkan buzzer pencitraan karena semua aparat taat syariat juga profesional dalam berkarya dan menjalankannya dengan amanah. Sudah saatnya umat kembali ke pangkuan sistem kepemimpinan Islam dan segera mencampakkan sistem yang jelas-jelas memberikan banyak kemudaratan.
Tentunya dibutuhkan proses penyadaran di tengah umat tentang urgensi dan kewajiban menerapkan syariat Islam sekaligus memahamkan bahwa hal tersebut sejatinya merupakan konsekuensi dari keimanan. Proses penyadaran tersebut harus dilakukan secara sungguh-sungguh, masif, dan terstruktur.
Dilakukan secara berjemaah di bawah kepemimpinan partai politik yang istikamah memegang Islam ideologi sebagai platform perjuangan, berjalan di atas thariqah dakwah Nabi saw., sebagaimana yang dahulu telah sukses mewujudkan perubahan dan kesejahteraan umat dari zaman ke zaman. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]