Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMeida.Com)
Dana pendidikan terbesar berasal dari pembiayaan oleh negara. Adapun biaya tersebut berasal dari baitulmal yang pemasukannya berasal dari kharaj, jizyah, dan lain sebagainya. Pengelolaan dana ini digunakan oleh negara untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
CemerlangMedia.Com — Biaya pendidikan mahal. Itulah kalimat yang tepat jika berbicara masalah pendidikan. Sementara pendidikan adalah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. Lalu bagaimana nasib masyarakat ekonomi bawah jika tidak mampu membayar biaya pendidikan?
Setidaknya, negara telah berusaha untuk memberikan pelayanan pendidikan dengan memberikan anggaran wajib (mandatory spending) untuk biaya pendidikan sebesar 20% dari belanja negara. Namun, akhir-akhir ini, menteri keuangan Sri Mulyani mengusulkan untuk mengkaji ulang anggaran wajib tersebut.
Menurut Sri Mulyani, hal ini menyulitkan dalam mengelola keuangan negara. Sebab konsekuensinya, makin besar belanja negara, maka belanja untuk pendidikan makin besar karena harus 20% dari total belanja negara (CNN.indonesia, 04-09-2024).
Merespons hal ini, Jusuf Kalla (JK) Wakil Presiden ke-10 dan 12 menyatakan bahwa anggaran pendidikan tidak boleh dipotong-potong. Menurutnya, yang menjadi tugas utama saat ini adalah menggunakan anggaran pendidikan seefektif mungkin, bukan menggugat anggaran (rri.co.id, 08-09-2024).
Pelit Mengurus Rakyat
Sejatinya, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dijamin oleh negera, sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang 1945 pasal 1 dan 2 yang berbunyi, (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Kedua pasal dari undang-undang tadi mengisyaratkan bahwa negaralah yang wajib menyelenggarakan pendidikan. Jika dana 20% dari APBN yang sudah sangat kecil ini masih diotak-atik, tentu hal ini merupakan bentuk kezaliman, sebab merampas hak rakyat dalam mengenyam pendidikan.
Adanya dana 20% dari APBN seperti saat ini saja masih banyak anak negeri yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau universitas. Biaya pendidikan yang mahal serta tidak meratanya tempat pendidikan yang berkualitas baik menjadi faktor penyebab anak putus sekolah.
Dengan begitu, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus mengotak-atik anggaran pendidikan yang secuil itu, melainkan harus mengupayakan lembaga pendidikan yang mempunyai kualitas baik dan bisa diakses oleh seluruh lapisan anak negeri. Sebab, pendidikan merupakan kebutuhan agar tercipta individu yang berkualitas.
Namun, hal ini sulit dilakukan, sebab negara tersandera sistem kapitalisme. Sistem buruk inilah yang menjadikan biaya pendidikan tinggi dan mengeliminasi fungsi negara sebagai penyelenggara pendidikan.
Hal ini tercermin dari pandangan sistem kapitalisme terhadap pendidikan, yakni menganggap pendidikan sebagai komoditas. Oleh karenanya, negara senantiasa memilih berinvestasi kepada sektor ekonomi yang lebih menguntungkan daripada mendanai pendidikan. Hal tersebut terbukti dari minimnya anggaran yang dikeluarkan negara di bidang pendidikan dibandingkan dengan anggaran proyek-proyek yang konon bernilai ekonomi tinggi.
Di sisi lain, tata kelola ekonomi kapitalistik menjauhkan dari hidup sejahtera, misalnya rusaknya pengelolaan sumber daya alam sehingga tidak dapat memberikan keuntungan bagi rakyat. Ditambah lagi dengan beban utang, menyebabkan minimnya anggaran pendidikan yang diberikan oleh negara.
Poin-poin tersebut menyebabkan negara abai terhadap hak pendidikan rakyatnya. Selama sistem sekularisme kapitalisme bercokol di negeri ini, maka tidak akan dijumpai pendidikan murah dan pendidikan berkualitas baik.
Pendidikan dalam Islam
Islam memandang, pendidikan merupakan perkara yang sangat vital dan mempunyai peran strategis serta tidak dapat diukur dari keuntungan materi semata. Allah Swt. telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslim untuk menuntut ilmu.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, disahihkan Al-Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 13).
Di samping itu, Allah meninggikan orang-orang yang berilmu melalui firman-Nya,
“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat.” (TQS Al Mujadalah [58]: 11).
Oleh karenanya, negara Islam akan mengupayakan semaksimal mungkin agar seluruh rakyatnya dapat memenuhi kewajiban tersebut. Dengan begitu, negara senantiasa mendorong rakyatnya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Berkaitan dengan hal ini, upaya negara Islam memberikan pelayanan pendidikan terbaik kepada umat ialah dengan memberikan biaya pendidikan murah, bahkan gratis. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, biaya pendidikan di negara Islam akan tercukupi.
Tentu saja, pembiayaan pendidikan ini tidak bersumber dari pajak sebagaimana ciri khas sistem kapitalisme, melainkan dari sumber yang telah diatur dalam syariat, di antaranya dari dana pribadi, sebagaimana dalam kitab Taklim Al-Muttaaalim karya Syekh Az Zarnuji bahwa syarat menuntut ilmu ada enam, yaitu cerdas (sehat akal), bersungguh-sungguh, sabar, biaya/bekal (pengorbanan materi), petunjuk/bimbingan guru, serta dalam kurun waktu yang lama.
Ini yang ditanamkan dalam diri umat agar tidak sayang mengeluarkan hartanya demi menuntut ilmu. Tentu sangat mudah bagi umat mengeluarkan dana untuk ilmu, sebab negara Islam mengatur agar biaya murah dan kebutuhan pokok lainnya ditanggung negara.
Selain dana pribadi, dana pendidikan terbesar berasal dari pembiayaan oleh negara. Adapun biaya tersebut berasal dari baitulmal yang pemasukannya berasal dari kharaj, jizyah, dan lain sebagainya. Pengelolaan dana ini digunakan oleh negara untuk kemaslahatan umat, termasuk membiayai pendidikan.
Bukti bahwa Islam sangat peduli terhadap pendidikan adalah dengan melihat kejayaan ilmu pengetahuan di era kekhalifahan. Islam pernah menjadi mercusuar pendidikan. Islam telah melahirkan ilmuwan terkemuka, seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, dan sebagainya.
Dengan demikian, hanya sistem Islam yang mampu mendorong rakyatnya untuk meraih ilmu. Hal ini karena syariat Islam diterapkan secara kafah di muka bumi sehingga terwujud insan yang berkualitas dan berkepribadian Islam. Insyaallah. Wallahu a’lam. [CM/NA]