Oleh: Umul Asminingrum, S.Pd.
Pendidik
Ketimpangan ekonomi di Indonesia tidak akan terjadi jika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan pemerintahan. Tidak ada skema investasi berisiko tinggi yang mempertaruhkan uang rakyat dalam perjudian ekonomi global.
CemerlangMedia.Com — Presiden Prabowo Subianto telah meresmikan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025. Lembaga ini dibentuk untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara melalui konsolidasi dalam satu entitas besar, mirip dengan Temasek Holdings di Singapura (Kompas.com, 19-02-2025).
Pemerintah mengeklaim bahwa Danantara akan menjadi instrumen penting untuk mendorong investasi nasional dan menggerakkan ekonomi. Dengan pendanaan awal yang mencapai ratusan triliun rupiah, proyek ini digadang-gadang menjadi pilar baru pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, di balik optimisme yang digaungkan, pertanyaan fundamental muncul. Siapa yang sebenarnya akan menikmati keuntungan dari dana besar ini?
Ladang Basah Oligarki
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, setiap kebijakan ekonomi hampir selalu berujung pada kepentingan para pemilik modal besar. Narasi yang dibangun seolah-olah investasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akan tetapi jika melihat pengalaman sebelumnya, yang paling diuntungkan dari proyek-proyek investasi semacam ini justru adalah para oligarki, yaitu pengusaha besar yang memiliki kedekatan dengan penguasa.
Model Danantara sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Rakyat bisa melihat bagaimana Temasek di Singapura dan perusahaan investasi negara di Tiongkok beroperasi. Meskipun secara teori dikelola oleh negara, tetapi dalam praktiknya, investasi semacam ini lebih banyak menguntungkan para pemilik modal besar yang memiliki akses langsung ke lingkaran kekuasaan.
Modal yang dikelola Danantara sejatinya adalah uang rakyat yang dihimpun dari berbagai aset BUMN dan sumber daya negara lainnya. Uang ini akan diinvestasikan ke berbagai proyek besar, baik di dalam maupun luar negeri. Sektor prioritasnya mencakup hilirisasi minerba, perkebunan sawit, infrastruktur, serta proyek-proyek strategis pemerintah lainnya.
Namun jika menelisik lebih dalam, yang menguasai sektor-sektor tersebut bukanlah rakyat kecil. Sektor minerba, misalnya, sudah lama dikuasai oleh segelintir konglomerat yang memiliki bisnis besar di pertambangan batu bara, nikel, dan emas. Begitu pula dengan perkebunan sawit yang dikuasai oleh beberapa grup bisnis besar. Ketika Danantara menginvestasikan uang rakyat di sektor-sektor ini, maka yang mendapatkan keuntungan besar adalah para pemilik modal di sektor tersebut.
Lebih dari itu, risiko investasi yang gagal juga harus dipertimbangkan. Dalam kapitalisme, keuntungan diprivatisasi, sedangkan kerugian disosialisasikan. Jika investasi Danantara menguntungkan, keuntungan tersebut akan masuk ke kantong para pengusaha besar dan investor yang memiliki saham di dalamnya. Akan tetapi jika mengalami kerugian, rakyat yang akan menanggungnya.
Hal ini sudah terbukti berkali-kali. Lihat saja kasus skandal Jiwasraya dan Asabri. Dua perusahaan pelat merah yang dikelola dengan skema investasi besar-besaran, tetapi akhirnya merugi. Dana yang diinvestasikan lenyap, sementara rakyat yang menjadi nasabah harus menanggung akibatnya. Jangan sampai Danantara menjadi skandal besar berikutnya.
Ilusi Kesejahteraan bagi Rakyat
Setiap kali ada proyek investasi besar, pemerintah selalu menjual harapan bahwa ini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, faktanya tidak demikian.
Ketimpangan ekonomi di Indonesia makin melebar. Satu persen orang terkaya di negeri ini menguasai hampir separuh kekayaan nasional. Kekayaan sumber daya alam terus dikelola oleh segelintir korporasi, baik swasta maupun BUMN. Sementara rakyat tetap bergelut dengan masalah ekonomi yang tidak kunjung selesai, seperti pengangguran tinggi, harga kebutuhan pokok yang mahal, dan upah yang tidak sebanding dengan biaya hidup.
Inilah wajah asli kapitalisme. Sistem ini tidak benar-benar dirancang untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk memastikan bahwa modal terus berputar dalam lingkaran elite ekonomi dan politik. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan korporasi besar dengan dalih pertumbuhan ekonomi.
Islam Menawarkan Solusi Berkeadilan
Islam memiliki sistem ekonomi yang berbeda dari kapitalisme. Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Sumber daya alam yang strategis, seperti tambang, minyak, gas, dan hutan termasuk dalam kepemilikan umum, yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi swasta. Negara hanya bertindak sebagai pengelola dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk kesejahteraan, seperti pendidikan dan layanan kesehatan gratis.
Jika sistem ekonomi Islam diterapkan, rakyat tidak perlu berharap pada proyek investasi spekulatif seperti Danantara. Negara tidak akan menyerahkan kekayaan alam kepada investor asing atau korporasi, melainkan mengelolanya langsung untuk kemakmuran rakyat. Tidak ada skema investasi berisiko tinggi yang mempertaruhkan uang rakyat dalam perjudian ekonomi global.
Namun, sistem ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan sistem politik Islam yang menjamin penerapan ekonomi yang adil. Semua ini hanya bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam (Khil4f4h Islamiah).
Khatimah
Selama sistem kapitalisme masih bercokol, skema seperti Danantara akan terus berulang dengan hasil yang sama. Kekayaan nasional dikelola segelintir elite, sementara rakyat tetap terpinggirkan. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa satu-satunya solusi sejati adalah kembali kepada sistem Islam yang berpihak kepada rakyat secara hakiki. Wallahu a’lam bisshawab.