Fenomena Gadai SK Anggota Dewan: Demokrasi Mahal

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

Dalam Islam ada majelis umat. Majelis ini bukanlah badan legislatif. Keberadaan majelis umat dicontohkan Rasulullah dengan meminta pendapat beberapa orang dari kaum Anshar dan Muhajirin yang mewakili kaum masing-masing.

CemerlangMedia.Com — Mahalnya politik demokrasi telah menimbulkan banyak persoalan di negeri ini. Calon anggota dewan harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk bisa menduduki jabatan tersebut. Beberapa dari mereka yang tidak terpilih sampai mengalami depresi akibat sudah terlanjur mengeluarkan uang dalam jumlah yang banyak, baik dana pribadi dari kantong sendiri ataupun hasil berutang.

Bagi mereka yang terpilih, untuk menutupi biaya selama pencalonan, beberapa di antaranya harus terjebak dalam utang ribawi, yakni menggadai SK, seperti ulah sejumlah anggota dewan legislatif di Jawa Timur. Mereka ramai-ramai menggadai Surat Keputusan (SK) Pengangkatan ke bank usai pelantikan. Disinyalir, “tradisi” ini terkait mahalnya ongkos untuk meraih jabatan dan juga karena gaya hidup hedon wakil rakyat.

Mengenai hal ini, seorang pengamat politik dari Universitas Brawijaya Malang, Prof Anang Sujoko menyampaikan keprihatinannya atas maraknya wakil rakyat menggadaikan SK-nya. Menurutnya, banyak komponen yang menyebabkan biaya politik calon legislatif itu mahal, di antaranya pengadaan alat-alat kampanye, biaya untuk tim sukses, biaya untuk merawat konstituen, dan biaya tasyakuran ketika terpilih (detikNews.com, 07-09-2024).

Inilah gambaran nyata busuknya politik demokrasi. Jika begitu, sangat berpotensi mengganggu kinerja anggota dewan tersebut sebagai wakil rakyat. Sebab, mereka hanya fokus pada urusan pribadi untuk mengembalikan modal pencalonan ataupun membayar utang.

Demokrasi dan Korupsi

Dengan ongkos politik yang tidak murah, tidaklah mungkin seorang anggota dewan mampu membiayai diri sendiri untuk maju sebagai calon anggota legislatif. Tentu ada pemodal yang berkontribusi dalam pencalonannya. Oleh sebab itu, wajar jika anggota dewan terpilih harus mengembalikan modal tersebut dengan berbagai bentuk, misalnya harus mengembalikan uang secara utuh.

Jika demikian, menggadaikan SK pengangkatan tidak terelakkan atau mereka harus berjuang dengan memanfaatkan jabatannya untuk memperoleh uang. Bahkan, melakukan korupsi sebagai jalan pintas.

Belum lagi jika para pemodal tersebut memanfaatkan jabatan anggota legislatif yang dimodali tersebut untuk meng-goal-kan proyek-proyek bisnisnya sebagai balas jasa. Jika demikian, alih-alih memikirkan urusan rakyat, para wakil rakyat justru hanya berkutat pada kepentingan pribadi dan balas jasa.

Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mempercayai demokrasi sebagai sistem politik yang mampu mengurus rakyat dengan benar. Sebagian mereka yang berkuasa bertujuan untuk bisnis, mengeluarkan modal untuk mendapatkan kursi jabatan, dan mengharapkan untung setelah menjabat.

Pada dasarnya, prinsip demokrasi telah cacat dan memberikan banyak mudarat. Terlebih, demokrasi merupakan turunan sekularisme yang mengharuskan kehidupan jauh dari agama. Alhasil, keputusan ataupun kebijakan yang dihasilkan badan legislatif tidak berdasar pada tuntutan agama, melainkan hanya berdasarkan pada pemikiran manusia yang terbatas.

Jika sekularisme mempunyai prinsip pemisahan agama dari kehidupan, demokrasi mengaplikasikan prinsip tersebut dalam ranah politik, yakni mengeliminasi aturan agama dan mengganti dengan aturan yang dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, visi demokrasi adalah menghapuskan kedaulatan Allah sebagai Pembuat hukum atau peraturan dan menggantinya dengan hukum buatan manusia.

Oleh sebab itu, wajar jika pelaksanaannya menghasilkan sarat masalah. Kebijakan yang dihasilkan tidak pernah menguntungkan rakyat, melainkan selalu pro terhadap oligarki kapitalis. Buktinya, kemiskinan tidak terentaskan, ruang hidup terampas, suara kebenaran dibungkam, serta mematikan keyakinan terhadap agama.

Selain itu, kehidupan demokrasi dapat menyeret manusia pada ketamakan. Membangun karir politik untuk selalu berada dalam tahta kekuasaan, bahkan sampai menciptakan dinasti. Mereka tidak segan terang-terangan mengubah peraturan yang telah ditetapkan untuk diganti dengan peraturan baru yang sesuai dengan keinginannya.

Jika demikian, sangat mustahil demokrasi menghasilkan pejabat yang amanah. Sebagai orang yang waras, tidak mungkin menjadikan demokrasi sebagai pilihan untuk berpolitik karena tidak sesuai dengan hidup manusia.

Kembali pada Islam

Seperangkat aturan yang telah Allah turunkan dalam Al-Qur’an diperuntukkan untuk manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia guna mendapatkan imbalan di akhirat kelak. Manusia tidak boleh lalai akan peringatan-peringatan Allah dalam Al-Qur’an.

Demikian halnya dengan jabatan yang diemban. Seorang mukmin menyadari sepenuhnya bahwa jabatan merupakan amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, seseorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan hari akhir tidak akan mengejar jabatan, demi setetes madu dunia.

Seseorang yang beriman senantiasa akan mengingat bahwa jabatan hanyalah sementara dan akhirat selamanya. Pemikiran seperti ini yang akan menjadi pengendali ambisi untuk mengejar jabatan. Hadis Rasulullah saw. cukup menjadi renungan untuk berhati-hati dalam amanah jabatan.

“Tidak ada satu pun dari seorang lelaki yang memimpin sepuluh orang atau lebih kecuali ia datang kepada Allah di hari kiamat dengan keadaan tangannya terbelenggu di leher. Kebaikannyalah yang dapat melepas belenggu itu dan dosanyalah yang membinasakannya. Awalnya kepemimpinan adalah hinaan, tengahnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah kehinaan di hari kiamat.” (HR Ahmad: 22300).

Lebih jauh, landasan akidah yang melekat pada seorang mukmin dalam memangku jabatan mempunyai konsekuensi menerapkan hukum-hukum Islam sebagai peraturan hidup. Artinya, kedaulatan mutlak dalam kuasa Allah Swt. sebagai Pemilik hidup. Manusia hanya menjalankan hukum tersebut, bukan membuat hukum tandingan ala sistem demokrasi.

Islam mengenal wakil umat (MU), tugasnya mewakili kaum muslimin untuk memberikan pendapat, menjadi rujukan khalifah untuk meminta pendapat dalam berbagai urusan, dan bertugas mengoreksi khalifah beserta jajarannya. Orang-orang yang mewakili wilayahnya disebut majelis wilayah.

Majelis umat bukanlah badan legislatif, sebab kedaulatan bukan di tangan mereka, melainkan di tangan syarak. Keberadaan MU dicontohkan Rasulullah yang sering meminta pendapat beberapa orang dari kaum Anshar dan Muhajirin yang mewakili kaum masing-masing.

Wakil umat dipilih berdasarkan kepercayaan, bukan berdasarkan pada citra politik yang dikampanyekan sehingga untuk menjabat tidak diperlukan biaya mahal. MU bekerja semata-mata mengharap rida Allah, bukan iming-iming harta dunia.

Demikianlah sistem pemerintahan dalam Islam, mampu melahirkan pejabat yang amanah karena berlandaskan iman dan takwa kepada Allah Swt.. Hal ini sangat bisa menjadi alternatif politik yang bisa menggantikan sistem demokrasi yang sebentar lagi tumbang. Insyaallah. Wallahu a’lam [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *