Oleh: Zulfa Syamsul, S.T.
Komunitas Muslimah Siatutui Soppeng
Sesungguhnya harapan rakyat akan kesejahteraan hidup hanya terwujud dalam kepemimpinan Islam. Hal ini lantaran kekuasaan dalam Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam yang meyakini bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
CemerlangMedia.Com — Pelantikan presiden dan wakil presiden Indonesia 2024—2029 beserta jajaran menteri dan wakil menteri yang mereka namakan dengan Kabinet Merah Putih telah berlangsung. Pelantikan ini meresmikan kepemimpinan Prabowo-Gibran menggantikan Presiden Jokowi-Amin. Harapan rakyat yang tinggi terhadap perbaikan kehidupannya praktis mengiringi pelantikan tersebut. Presiden baru harapan baru, begitu katanya. Namun, apakah harapan itu akan dikecap oleh rakyat atau rontok berhadapan dengan kenyataan?
Dilansir dari beberapa media online yang mengangkat tajuk harapan rakyat untuk presiden Prabowo, umumnya rakyat menginginkan perbaikan ekonomi, seperti peningkatan daya beli, pemerataan kesejahteraan, harga bahan pokok terjangkau, hingga pembukaan lapangan kerja. Di bidang pendidikan, rakyat menuntut perbaikan kualitas pendidikan, fasilitas pendidikan yang memadai, kemudahan mengakses pendidikan tinggi, hingga jaminan kesejahteraan tenaga pendidik.
Belum lagi penegakan hukum, seperti pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, perhatian terhadap perbaikan lingkungan sehingga banjir reda juga tidak luput dari perhatian warga. Intinya, mereka menuntut Prabowo merealisasikan janji-janji kampanyenya demi menuntaskan persoalan bangsa ini.
Harapan Palsu?
Meski survei indeks kepuasan rakyat terhadap kinerja Jokowi di akhir kepemimpinannya bernilai baik, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Ungkapan warga merapal tuntutan mereka adalah bukti yang menunjukkan secara riil ketidakpuasan atas kondisi yang mereka hadapi. Oleh karenanya, tantangan yang akan dihadapi oleh pemerintahan baru ini jelas berat.
Di sisi lain, besarnya jumlah partai koalisi dan bayang-bayang pemerintahan Jokowi makin menambah beratnya perjalanan kepemimpinan Prabowo. Dua faktor ini tentu saja memengaruhi kebijakan presiden, keberpihakan terhadap rakyat pun masih dipertanyakan.
Lihat saja pada kabinet merah putih yang jumlahnya mencapai 48 menteri dan 56 wakil menteri. Kabinet ini digadang sebagai kabinet paling gemuk sejak orde baru hingga reformasi. Lantaran data yang ada menyebutkan bahwa jumlah kabinet sejak presiden B. J. Habibie sampai Jokowi, tidak pernah lebih dari 40 kementerian.
Jumlah yang gemuk ini seolah memvalidasi kecurigaan terkait politik balas budi atas koalisi. Ibarat berbagi kue kekuasaan, makin banyak pesertanya, maka makin banyak pula kue yang mesti disediakan. Tujuannya agar semua mendapatkan porsi. Persis seperti yang disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Lina Miftahul Jannah.
Gemuknya kabinet merah putih yang bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi, mengakibatkan adanya tumpang tindih kewenangan hingga bengkaknya anggaran. Semua itu menjadi gambaran bahwa tujuannya untuk politik semata sebagai kabinet balas jasa (bbc.com, 21-10-2024).
Senada dengan hal itu, pengamat politik Hanafi Rais mengungkapkan dalam diskusi online kanal UIY Official yang bertema “Kabinet Prabowo: Zaken atau Seken?”. Selain berbagi kue kekuasaan bersama koalisi partai pendukungnya, bisa jadi banyaknya menteri adalah langkah yang diambil Pak Prabowo untuk menciptakan stabilitas politik karena tugas mereka sudah berat, semisal adanya beban utang yang sudah tinggi, kondisi ekonomi nasional yang sedang menurun dan lainnya.
Dengan demikian, perwujudan harapan rakyat tidak hanya bergantung pada sosok seorang presiden semata, tetapi juga pada sistem politik dan aturan pemerintahan yang menanungi mereka saat ini, yakni sistem demokrasi kapitalisme. Nah, sanggupkah demokrasi kapitalisme mewujudkan impian rakyat yang tinggi ini?
Jika menelusuri kembali riwayat penerapan demokrasi, kebijakan politik Prabowo ke depannya diprediksi masih terbelit oleh kepentingan partai koalisi pendungkungnya dan para pemodal (oligarki) yang mengusungnya duduk di tampuk kekuasaan. Pola mendasar yang terbentuk pada sistem ini, bak pungguk merindukan bulan bagi rakyat.
Harapan Itu Hanya pada Kepemimpinan Islam
Sesungguhnya harapan rakyat akan kesejahteraan hidup hanya terwujud dalam kepemimpinan Islam. Hal ini lantaran kekuasaan dalam Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari akidah Islam yang meyakini bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Keyakinan mendasar ini penting untuk dipegang oleh setiap penguasa, dengannya mereka bisa amanah dan serius terhadap perbaikan kondisi rakyat.
Berbeda dengan demokrasi yang menggandeng kapitalisme, Islam menjadikan aspek pelayanan sebagai ikatan yang mengatur interaksi antara penguasa dengan rakyat. Jika Islam menjadi landasan dalam membuat kebijakan, hubungan antara penguasa selama ini yang sarat hitungan untung rugi dan pragmatisme berganti menjadi aspek pelayanan semata berdasarkan aturan syariat.
Rasulullah saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ…
“Imam (pemimpin) itu adalah laksana penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad).
Selain aspek kepemimpinan yang berkarakter Islam, diperlukan dua aspek lainnya, yakni sistem dan tata aturan Islam. Sistem Islam diterapkan di dalam seluruh aspek kehidupan, meliputi sistem politik pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum dan sanksi, serta sistem sosial kemasyarakatan. Sementara tata aturan dalam setiap sistem tersebut juga berdasarkan Islam.
Demikianlah seluruh aspek yang saling berkaitan untuk mewujudkan harapan rakyat. Hal ini pernah terwujud pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin hingga kekhalifahan setelahnya, membentang selama 13 abad secara gemilang. Meski kehadirannya kembali selalu dipandang sebagai mimpi, tetapi memimpikan tegaknya sistem ini bukanlah utopia, sebagaimana memimpikan kesejahteraan dalam sistem demokrasi. Wallahu a’lam. [CM/NA]