Header_Cemerlang_Media

Harga Beras Makin Mahal, Siapa yang Diuntungkan?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Leihana
(Ibu Pemerhati Umat)

Negara akan melakukan seluruh upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan sistem ekonomi Islam. Dukungan teknologi dan informasi, mampu mengoptimalkan ketahanan pangan dalam bingkai penerapan Islam kafah.

CemerlangMedia.Com — Pada zaman dahulu terdapat kisah tentang amirul mukminin atau kepala negara Islam, yakni Umar bin Khattab yang melakukan patroli dan berkeliling di tengah malam untuk memastikan rakyatnya aman dan tidak kelaparan. Hingga di suatu malam, ia menemukan ada seorang ibu yang tengah memasak batu.

Cara yang menyedihkan itu semata-mata dilakukan oleh seorang ibu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena kelaparan. Mengetahui hal itu, Umar bin Khattab membawa sekarung gandum dari baitulmal dan memasak dengan kedua tangannya sendiri untuk keluarga tersebut.

Kisah di atas memang berkaitan dengan kebutuhan pokok di Jazirah Arab. Kala itu, rakyat mengonsumsi makanan pokok gandum dan kurma, sedangkan di Indonesia, rakyat bergantung pada beras. Ironisnya, meskipun beras adalah makanan pokok rakyat Indonesia, tetapi ternyata rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membelinya. Jika dibandingkan dengan harga pasar global, harga beras di Indonesia 20% lebih mahal, seperti yang disampaikan Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk.

Hal itu diakibatkan kebijakan mendistorsi dan menaikkan harga beras, juga mengurangi daya saing pertanian dalam negeri. Penjelasan tersebut disampaikan pada saat menghadiri acara Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 yang bertempat di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) (kompas.com, 20-9-2024).

Meski harga beras di Indonesia paling tinggi di ASEAN, ini masih menurut Carolyn, ternyata petani padi di Indonesia justru memiliki pendapatan lebih kecil dibandingkan petani lainnya. Hasil survei BPS, penghasilan petani padi kurang dari $1 per hari, yaitu $341 per tahun yang berarti masih di bawah upah minimum (Metrotvnews.com, 21-9-2024).

Bahkan, Bank Dunia (World Bank) mencatat bahwa harga beras yang tinggi merupakan ironi bagi Indonesia sebagai negeri agraris. Meski rakyatnya harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras, tetapi petani padi justru masih hidup di bawah garis kemiskinan (ekonomi.bisnis.com, 20-9-2024).

Harga Beras Tinggi, Ironi di Negeri Agraris

Realitas tersebut terjadi karena biaya produksi beras tinggi. Pemerintah pun beralasan, harga beras di Indonesia wajar karena membeli beras dari petani dengan harga yang tinggi. Hal itu disebut pilihan terbaik agar petani juga menikmati kesejahteraan dari hasil kerja kerasnya. Namun faktanya, justru petani padi di Indonesia memiliki pendapatan terendah dibanding dengan petani sektor lain.

Ternyata 87% petani padi di Indonesia memiliki lahan kurang dari 2 hektare, bahkan lebih dari setengahnya hanya menggarap lahan setengah hektare saja per orang. Meskipun harga beras mahal, tetapi petani tidak menerima keuntungan yang setimpal karena lahan yang dimiliki terbatas, kebutuhan produksi pun melambung, seperti harga bibit unggul dan pupuk yang makin tidak terjangkau. Kondisi tersebut membuat petani tidak bisa mengembalikan modal, apalagi untung besar.

Hal ini disebabkan sektor pertanian sudah dikuasai oligarki dari hulu hingga hilir karena yang memiliki lahan dalam jumlah besar dan modal besar. Terlebih lagi, negara kurang memberikan perhatian terhadap para petani.

Seperti yang diketahui dari Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, program ketahanan lebih banyak mengucurkan anggaran untuk makan bergizi gratis dibandingkan dengan menopang ketahanan pangan melalui swasembada pangan. Di sisi lain, negara sedang melakukan pembatasan impor beras sehingga ketersediaan beras juga lebih sedikit, tidak mustahil harga akan makin mahal.

Selain itu, faktor yang memengaruhi tingginya harga beras ke tangan konsumen dikarenakan adanya oknum mafia pasar yang menimbun beras. Bahkan, ada perusahaan besar yang membeli lebih dahulu pasokan beras dari petani dan mengemasnya lebih premium, lalu menjualnya dengan harga tinggi di saat beras mulai langka.

Meskipun impor beras memang harus dibatasi untuk menjaga kestabilan harga padi dari petani lokal. Akan tetapi seharusnya, tindakan tersebut juga diiringi dengan program ketahanan pangan yang mumpuni, seperti mempermudah petani padi mendapatkan bibit unggul dan pupuk yang terjangkau. Situasi harga beras yang makin mahal saat ini, seakan diciptakan untuk membuka peluang yang mendorong dibukanya keran impor beras yang akan makin menguntungkan oligarki dan menyengsarakan petani.

Islam Solusi Bahan Pokok Murah dan Petani Sejahtera

Ironi harga beras tinggi, tetapi petani padi masih miskin ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme di negara ini. Dalam sistem kapitalisme, negara berperan sebagai regulator dan fasilitator yang berpihak kepada oligarki. Sementara ajaran Islam mewajibkan negara menyediakan lahan memadai untuk ketahanan pangan (beras), termasuk pengadaan pupuk dengan harga terjangkau.

Jika diperlukan alat-alat pendukung untuk pertanian yang canggih, yakni ketika hasil panen masih belum maksimal, tidak menutup kemungkinan adanya pengembangan bibit unggul dan meningkatkan kemampuan petani sehingga makin ahli. Selain itu, dalam ajaran Islam, penguasa yang memimpin negara adalah pemegang amanah untuk menyejahterakan rakyatnya, bukan kontrak politik yang berlandaskan untung rugi.

Di sistem kapitalisme saat ini, sering kali terdengar kabar BUMN mengalami kerugian dan berujung mengurangi atau menghapus subsidi untuk rakyat. Sementara dalam sistem Islam, tidak ada istilah subsidi karena semua kebutuhan rakyat adalah kewajiban negara untuk memenuhinya secara menyeluruh dan merata.

Kisah mengharukan di awal tulisan ini mungkin akan banyak ditemui di setiap kepemimpinan Islam. Bagaimana seorang kepala negara memastikan sendiri semua kebutuhan pokok setiap rakyatnya terpenuhi.

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis, seorang khalifah yang sebelumnya kaya raya, lalu ketika menerima amanah sebagai khalifah, ia menyumbangkan seluruh hartanya ke baitulmal. Bahkan, pelayannya bersaksi bahwa setelah menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul Azis makan dengan menu yang lebih sederhana dibandingkan dengan pelayannya.

Dalam ajaran Islam, negara akan melakukan seluruh upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan sistem ekonomi Islam. Dukungan teknologi dan informasi, mampu mengoptimalkan ketahanan pangan dalam bingkai penerapan Islam kafah. Sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan distribusi yang merata. Kesejahteraan dalam negara Islam tidak diukur dari capaian per kapita dalam skala nasional, tetapi ketika kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi.

Alhasil, tidak ada lagi kondisi rakyat bak anak ayam mati di lumbung padi seperti yang dialami rakyat Indonesia. Membayar mahal untuk mendapatkan beras, tetapi petaninya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, penerapan ajaran Islam secara kafah adalah sebuah keniscayaan yang harus segera diperjuangkan oleh seluruh umat Islam. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terbaru

Badan Wakaf Al Qur'an