Oleh: Mila Ummu Al
CemerlangMedia.Com — Tidak puas menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing, kini Presiden Jokowi resmi menerbitkan beleid yang mengatur soal pemberian izin kepada badan usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Diberitakan oleh laman kompas.com (5-6-2024), Presiden Jokowi menyatakan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) akan diberikan kepada sayap-sayap ormas yang fokus di bidang bisnis. Harapannya, ormas tersebut mampu mengelola usaha pertambangan dengan baik.
Sebagai informasi, pemberian IUP ini tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan ini diteken Presiden Jokowi pada (30-5-2024). Adapun regulasi pemberian IUP kepada ormas keagamaan tertuang pada Pasal 83A yang membahas WIUPK secara prioritas.
Tentu saja pemberian izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola tambang tersebut menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada sebagian yang mendukung dan sebagian mengkritik karena dimungkinkan kebijakan ini dibuat untuk menaikkan citra pemerintah saja. Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini?
Mendapat Pertentangan
Pemberian IUP kepada ormas keagamaan menuai banyak kritik. Salah satunya datang dari Melky Nahar selaku Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). Melky menyebut bahwa kebijakan pemerintah tersebut bukan untuk pemerataan ekonomi, melainkan hanyalah dalih untuk mengobral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan (bbc.com, 1-6-2024).
Tidak bisa dimungkiri, pemberian IUP kepada ormas keagamaan sangat kental dengan aroma politik, yakni adanya upaya “menjinakkan” berbagai ormas keagamaan agar tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dapat dipastikan, dengan adanya politik “bagi-bagi jatah” konsesi tambang ampuh untuk meredam sikap kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Pun, banyak publik menilai bahwa pemberian izin konsesi pertambangan berpotensi memicu konflik horizontal antara ormas keagamaan dengan masyarakat adat, bahkan bisa memicu konflik SARA.
Lebih dari itu, pemberian IUP kepada ormas sejatinya bertentangan dengan UU Minerba yang menyebut bahwa IUP Khusus hanya diprioritaskan untuk BUMN dan BUMD. Penawaran akan diberikan kepada swasta jika kedua lembaga negara tersebut tidak ada keinginan untuk mengelolanya. Semua prosesnya harus melalui mekanisme lelang terlebih dahulu.
Artinya, ditekennya kebijakan IUP menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat. Kebijakan tersebut dinilai tidak masuk akal karena banyak para pengamat yang menilai bahwa sebuah ormas tidak memiliki kapasitas untuk mengelola pertambangan dan tidak seharusnya diberi konsesi.
Lantas, mengapa pemerintah tidak mengelola SDA secara mandiri, tetapi justru menyerahkannya kepada asing dan ormas? Akar persoalannya tidak lain akibat kesalahan paradigma tata kelola kekayaan alam dan energi di negeri ini. Negeri ini malah mengadopsi sistem politik demokrasi dengan sistem ekonomi kapitalismenya, lalu memaksakan penerapannya ke seluruh rakyat. Inilah pangkal mandulnya peran negara sebagai pelayan rakyat yang menjadi penyebab penderitaan dan kesengsaraan rakyat.
Tata Kelola Tambang dalam Islam
Sebagai sebuah agama, Islam juga sebagai ideologi yang memiliki aturan tata kelola yang khas mengenai pengelolaan SDA. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah saw. bersabda,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.”
Berdasarkan hadis di atas, maka pertambangan yang jumlahnya berlimpah dan mampu memenuhi hajat hidup orang banyak adalah kategori harta milik umum. Oleh karena itu, kekayaan alam seperti pertambangan tidak boleh dimiliki individu dan haram diserahkan pada swasta maupun ormas tertentu, baik dalam negeri maupun luar negeri. Pengelolaan kekayaan alam harus sepenuhnya diserahkan kepada negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan publik.
Telah dijelaskan dalam hadis riwayat Imam At-Tirmidzi bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasulullah saw. untuk mengelola sebuah tambang garam. Awalnya, Rasulullah saw. membolehkannya, tetapi tidak lama kemudian beliau menarik kembali tambang tersebut setelah diingatkan oleh salah seorang sahabat. “Wahai Rasulullah, tahukan engkau apa yang engkau berikan kepadanya (Abyad)? Sesungguhnya engkau telah memberikan (bagaikan) air mengalir.”
Pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara setidaknya memberikan dua keuntungan. Pertama, keuntungan hasil pengelolaannya menjadi sumber pemasukan negara seutuhnya. Alhasil, pemasukan negara bisa lebih besar sehingga mampu memenuhi/menyubsidi kebutuhan rakyatnya. Kedua, negara bisa terbebas dari utang luar negeri dan ketergantungan pada pajak. Dengan begitu, negara asing tidak bisa ikut campur, apalagi menyandera kebijakan dalam negeri.
APBN (baitulmal) yang begitu besar dari pengelolaan SDA secara mandiri bisa dialokasikan untuk biaya eksplorasi pertambangan, mulai dari pembangunan infrastruktur, biaya tenaga kerja, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan pengelolaan SDA demi kemaslahatan umat. Khalifah (pemimpin) boleh membagikan secara langsung hasil pengelolaan SDA yang siap dikonsumsi atau memberikannya dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur kepada rakyatnya. Yang pasti, semua harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik hakiki SDA yang melimpah tersebut.
Seandainya negeri ini mau menerapkan syariat Islam, tentu tidak akan ada yang namanya “perampokan dan penjajahan” SDA atas nama investasi maupun hilirisasi. Kaum muslim harus menyadari, penjajahan dan bentuk perampokan ini harus dihentikan dengan memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kafah agar kehidupan umat manusia sejahtera. Inilah sebaik-baiknya pilihan hidup. Wallahu a’lam bishawwab [CM/NA]