Oleh. Maharani Amalia
(Kontributor CemerlangMedia.Com, Aktivis Dakwah)
CemerlangMedia.Com — Belum lama ini tersiar kabar tentang sebuah kasus pelecehan yang menimpa seorang anak artis papan atas yang pernah terkenal di zamannya. Pada kesempatan tersebut anak artis dari inisial PM yang bernama MA akhirnya speak up di sebuah platform merah yang menceritakan kisah hidupnya sejak usia 12 tahun yang telah dilecehkan oleh ayah tirinya.
Perseteruan antara ibu dan anak ini pecah dan belum bisa bertemu titik terangnya. Sang ibu kerap menyalahkan anaknya yang sulit diatur, gaya hidupnya yang tinggi, sampai bergaul bebas hingga kabur dari rumah. Dan sang anak pun mencari pembenaran di medsos tentang identitas dirinya setelah kejadian yang menimpanya selama ini dibungkam dan tidak terekspos media.
Sebenarnya mengapa begitu banyak kasus pelecehan yang terjadi terhadap anak di bawah umur dan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang tua?
Selain Michelle Ashley tentunya ada banyak kasus serupa. Bukan hanya anak artis atau anak pejabat, kejahatan seksual ini bisa menimpa siapa pun di mana saja. Seperti salah satu kasus dari orang biasa yang terjadi pada ibu D asal Medan yang sempat viral di media sosial perkara dirinya yang mendapat perlakuan KDRT dari suaminya, mertuanyam hingga ipar. Ditambah dalam kondisi yang terpuruk, anaknya yang berusia 3 tahun 10 bulan diduga dilecehkan oleh bapak kos tempat sementara ia tinggali (news.detik.com, 29-07-2023).
Hal ini banyak membuat orang tua khawatir tentang bagaimana mereka menjaga anak-anaknya dari kasus pelecehan seksual?
Kegagalan Sistem
Penyebab utama dari banyaknya kasus ini ialah kurangnya kesadaran individu terhadap keberadaan Penciptanya mengenai perbuatan yang telah dilakukan. Seakan tidak ada yang mengawasi tindak-tanduknya. Selain itu, kesibukan orang tua dalam mencari nafkah membuat mereka tidak bisa sepenuhnya mengawasi anak mereka. Belum lagi kurangnya support lingkungan ketika mengetahui pelecehan itu terjadi.
Ditambah lagi tidak ada sanksi tegas dan malah terkesan membiarkan kasus tersebut berlanjut. Lemahnya hukum yang diterapkan oleh sistem hari ini tidak membuat pelaku kriminal itu jera, sebaliknya makin beringas. Inilah bukti gagalnya sistem sekularisme kapitalis dalam menjaga ketahanan keluarga sebagai unit terkecil yang kelak membangun sebuah peradaban besar.
Dalam sistem sekularisme kapitalis tidak bisa kita temukan kehidupan yang damai dan sentosa dan mungkin hanya bisa dirasakan oleh kalangan atas saja. Asas sekularisme memandang agama hanya diberi otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam masalah ritual dan spiritual, sedangkan dalam masalah kehidupan, manusialah yang berhak mengatur sendiri urusannya sehingga pandangan hidupnya menjadi pragmatis dan hanya mempertimbangkan asas manfaat yaitu untung dan rugi.
Kehidupan Ideal Dambaan Umat
Tentunya merasa aman, damai, dan berkecukupan adalah harapan setiap orang. Bisa mencari nafkah dengan tenang tanpa harus bimbang meninggalkan anak yang jauh dari pengawasan, menyekolahkan anak di tempat terbaik dan terpercaya dari segi lingkungan, kewarasan tetap bisa terjaga meski punya anak banyak.
Kehidupan ideal sejatinya hanya bisa dijumpai dalam sistem Islam yang secara sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari mengatur urusan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan sesama.
Di dalam sistem Islam, ada 2 hal yang bersifat realistis dan tetap, yaitu jami’ (komprehensif) yang menyangkut urusan dunia dan akhirat secara menyeluruh termasuk masalah ekonomi, pendidikan, sosial, dan yang lainnya. Serta bersifat mani’ (protektif) yaitu menjaga ketahanan yang berasal dari luar. Sifat ini terurai sesuai ajaran Islam, seperti dalam firman Allah Swt.,
…وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً وَّبُشْرٰى لِلْمُسْلِمِيْنَ
“… Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (QS An-Nahl: 89)
Termasuk aturan dalam menjaga ketahanan dari sisi hak anak, mereka wajib mendapatkan edukasi tentang darimana mereka diciptakan? Akan seperti apa mereka di dunia? Dan akan ke mana mereka setelah kehidupan? Penanaman akidah ini seharusnya ditanamkan kepada anak sedari belia. Bahwa mereka adalah makhluk Allah dan senantiasa menyadari jika Allah selalu bersamanya.
Selain itu, perlunya edukasi pengenalan diri tentang batasan aurat yang boleh nampak atau yang harus ditutup ketika berada di area privat atau publik. Pengenalan tentang jati dirinya merupakan edukasi seks awal karena mereka harus memahami antara laki-laki dan perempuan itu berbeda jenis. Harus ada batasan dari keduanya. Jadi, peran orang tua tidak hanya memberi anak-anak makan dan minum sebagai pemenuhan kebutuhan jasmaninya, tetapi wajib juga memberikan hak pendidikan identitas terhadap jati dirinya.
Orang tua selayaknya mencontohkan gaya berbusana dan pergaulannya dengan lawan jenis sesuai yang Allah perintahkan. Sebab anak melihat contoh/role mode dari orang terdekat. Termasuk lingkungan pertemanan, harus bijak memilah-milih teman yang baik agar terbawa suasana yang baik pula. Kontrol masyarakat pun perlu mendukung agar terciptanya keselarasan pendidikan di rumah dengan di lingkungannya. Peran negara pun sangat penting, yakni menerapkan aturan dan menjatuhkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur. Dengan begitu, tidak terulang lagi kasus serupa. Hanya dalam penerapan sistem Islam di bawah naungan Khil4f4h hal tersebut bisa tercipta. Wallahu a’alam. [CM/NA]