Oleh: Novianti
CemerlangMedia.Com — Krisis air merupakan ancaman nyata bagi warga dunia. Sudah beberapa wilayah mengalami kekeringan, termasuk di Indonesia.Tentu ini mencemaskan mengingat air merupakan kebutuhan paling mendasar bagi kelangsungan kehidupan dan keberlanjutan ekosistem.
Untuk itulah, World Water Forum (WWF) ke-10 digelar. Forum yang diselenggarakan di Bali ini dihadiri oleh lebih dari 50000 orang dari 160 negara yang terlibat. Tahun ini mengusung tema “Water for Shared Prosperity” yang dihadiri oleh para peserta, mulai dari peneliti, aktivis komunitas air, pengusaha, dan para pemegang kebijakan di masing-masing negara.
Hasil Pertemuan
WWF digagas oleh World Water Council (WWC), Dewan Air Dunia,yaitu organisasi internasional untuk mengatasi isu-isu air global. WWC ini didirikan di Prancis dan menyelenggarakan WWF setiap tiga tahun. Tujuan WWF di antaranya adalah mendorong kebijakan politik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelangsungan keberadaan air, mendorong pembuat keputusan hingga level internasional untuk berkomitmen dalam pengelolaan air.
WWF 2024 menghasilkan sejumlah hal, di antaranya Deklarasi Menteri. Dirilis cnnindonesia.com (26-05-2024), deklarasi memuat usulan pembentukan Center of Excellence (CoE) on Water and Climate Resilience atau Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim atau di kawasan Asia Pasifik dan adanya Global Water Fund atau platform pembiayaan air dunia. Platform tersebut akan menjadi wadah multi-pihak untuk membantu masalah pendanaan air yang efektif dan berkelanjutan.
Lalu ada peringatan Hari Danau Sedunia atau World Lake Day yang mengangkat dan mendorong isu pengelolaan sumber daya air secara terpadu pada pulau-pulau kecil. Forum ini juga menghasilkan 113 proyek senilai US9,4 miliar atau sekitar Rp151 triliun yang mencakup proyek percepatan penyediaan air minum bagi 3 juta rumah tangga hingga proyek pengelolaan air limbah domestik bagi 300 ribu rumah tangga di seluruh dunia.
Bagi-Bagi Proyek Air
Bisnis air adalah bisnis basah yang menggiurkan. Beberapa perusahaan sudah bermain di bisnis ini karena potensi pasar yang menguntungkan.
Sebutlah PT Adaro Energy Tbk yang menggarap proyek konstruksi fasilitas water treatment plant (WTP) berkapasitas 200 liter per detik di Bekasi dan juga sedang membangun fasilitas WTP berkapasitas 500 liter per detik di Medan. Lalu ada PT Adhi Karya Tbk yang aktif menggarap proyek terkait sarana dan prasarana air bersih sepanjang 2023. Proyek tersebut meliputi pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), bendungan, jaringan air bersih atau air baku, kolam retensi, dan pengaman pantai, termasuk proyek di IKN.
WWF nyatanya menjadi pintu masuk bagi para kapital untuk menggarap bisnis air. Terbukti dengan adanya penandatanganan kesepakatan pendanaan SPAM Regional Karian-Serpong dan nota kesepahaman mengenai Net-Zero Water Supply Infrastructure Project di IKN.
SPAM Regional Karian-Serpong merupakan Proyek Strategis Nasional berkapasitas 4.600 liter per detik dengan nilai investasi sebesar Rp2,4 triliun. SPAM ini diperuntukkan menyuplai air minum kepada 1,84 juta penduduk yang tinggal di DKI Jakarta dan Provinsi Banten, khususnya di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Ada juga nota kesepahaman mengenai Net-Zero Water Supply Infrastructure Project di IKN yang ditandatangani Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti dan Wakil Presiden K-Water Han Seong Yong. K-Water merupakan perusahaan milik Korea Selatan.
Ketua Harian Panitia Nasional Penyelenggara menyebutkan kesepakatan ini membuktikan keberhasilan pemerintah dalam mencari pendanaan inovatif. Pernyataan ini menegaskan WWF ke-10 tidak memberikan solusi bagi masyarakat dalam memperoleh haknya terhadap pemenuhan air. Peran swasta malah diperkuat dalam bisnis yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan rakyat harus membelinya.
Biang Kerok
Nyata, aroma kapitalisasi dalam WWF. Ini tidak beda dengan forum lainnya, yaitu pesta para kapital dalam memperebutkan proyek untuk meraup keuntungan dari rakyat. Solusi bagi masyarakat agar dapat memperoleh air dengan gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara sama sekali tidak disentuh.
Krisis air tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melibatkan tangan-tangan manusia terutama para kapital. Sementara perubahan iklim diakibatkan oleh industrialisasi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan deforestasi sehingga menimbulkan krisis air.
Industrialisasi adalah strategi dalam sistem kapitalisme. Demi industri ini pula, hutan-hutan dibabat dengan dalih untuk food estate, area wisata, atau diperuntukkan bagi proyek strategis nasional, atau ibu kota negara. Sistem kapitalismelah yang menjadi biang masalah dari krisis air.
Para kapital makin rakus, bahkan mengangkangi negara. Mereka bergerak lintas negara berbalut forum dunia seperti WWF. Para ilmuwan dan peneliti dimanfaatkan untuk legalisasi sepak terjang para kapital. Sangat berbahaya jika sudah membiniskan hajat hidup orang banyak seperti air. Sementara negara makin powerless dalam melindungi rakyat.
Bergerak dalam bisnis air membutuhkan suntikan dana besar. Keberadaan platform pembiayaan air membuat tentakel para kapital makin menggurita dan panjang hingga ke pelosok. Ketika air sampai ke tangan masyarakat, mereka membayar sejumlah biaya sebagai kompensasi. Jika sudah begini, rakyat berada pada posisi lemah dan tidak memiliki banyak pilihan. Berapa pun harganya, air pasti dibeli.
Solusi Islam
Air adalah milik umat, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Air adalah sumber daya alam yang sangat berharga. Tidak hanya untuk kelangsungan hidup manusia, tetapi juga berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam. Oleh karena itu, sumber-sumber air harus dijaga agar tidak tercemar dan tidak boleh dialihkan kepada swasta.
Perhatian Islam terhadap air bisa dilihat dari bagaimana penjagaan negara agar pemenuhan air bisa berkelanjutan. Di masa kejayaan peradaban Islam, telah dibangun irigasi dan kanal di berbagai daerah sehingga penduduk tidak mengalami kekurangan dalam suplai air. Pembangunan irigasi dan kanal secara besar-besaran terjadi pada masa Daulah Abbasiyah. Saat itu, negara berupaya membuat aliran air dari Sungai Tigris dan Eufrat agar bisa mengaliri lahan-lahan pertanian.
Negara mengembangkan berbagai macam teknologi, seperti pencarian sumber-sumber air yang berada di bawah tanah, termasuk memikirkan bagaimana caranya air bisa mengalir ke daratan yang lebih tinggi. Teknologi yang dikembangkan adalah ramah lingkungan, yakni menggunakan angin, hewan, maupun aliran sungai. Dengan cara demikian, teknologi tidak menyebabkan kerusakan bagi lingkungan.
Dalam sistem Islam, sumber air tidak dieksploitasi. Penyediaan dan pengelolaan air bersih, termasuk infrastrukturnya ada dalam tanggung jawab negara. Ini dilakukan tidak hanya dalam paradigma pemenuhan kebutuhan rakyat, tetapi dalam rangka pelaksanaan syariat Islam.
Negara boleh membebankan biaya kepada masyarakat, tetapi tidak untuk mengambil keuntungan. Tarif harus terjangkau dan keuntungannya dikembalikan untuk kemaslahatan masyarakat. Dengan penyediaan air, negara pun berpotensi memperoleh pemasukan, misal dari lahan-lahan pertanian yang produktif, berupa zakat pertanian, zakat binatang ternak, atau perdagangan. [CM/NA]