Karpet Merah untuk Macron, Memang Boleh?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com

Sudah saatnya umat Islam berani mengambil langkah tegas untuk meninggalkan sistem hidup kufur yang melemahkan kekuatan. Kemudian kembali kepada sistem yang menerapkan aturan Islam secara sempurna agar umat ini utuh dan mempunyai kekuatan untuk melawan musuh serta bisa beribadah kepada Allah Swt. dengan totalitas.

CemerlangMedia.Com — Negeri ini, mayoritas penduduknya adalah Islam. Namun sayangnya, sebagian dari kaum muslim menyambut hangat sosok Emmanuel Macron yang sering membuat kebijakan kontroversial dan mengarah kepada islamofobia. Ia disambut dengan senyum semringah dan diperlakukan sebagai tamu kehormatan di negeri ini. Karpet merah digelar, seolah menggambarkan kondisi muslim di Indonesia yang sedang diinjak-injak.

Dalam lawatannya ke Indonesia, Emmanuel Macron menandatangani 27 MoU senilai 179 triliun rupiah. Kerja sama Perancis-Indonesia disebut-sebut bertujuan untuk makin mempererat hubungan bilateral kedua negara (TangselExpress.com, 29-05-2025).

Investasi besar-besaran tersebut mungkin dinilai oleh para elite politik sebagai sebuah prestasi karena sudah berhasil menerima triliunan rupiah. Namun, di balik nilai tersebut, ada nurani umat Islam yang terluka karena kedatangannya tidak hanya sebagai sosok presiden sebuah negara.

Akan tetapi, ia juga sosok yang berdiri tegak membela pembuat karikatur Nabi Muhammad saw. yang notabene merupakan pelecehan terhadap Islam. Kebebasan berekspresi adalah alasan yang digaungkan untuk menormalisasi penghinaan terhadap simbol umat Islam tersebut.

Tidak sampai di situ, Macron juga mendorong Undang-Undang Separatisme yang secara de facto, umat Islam menjadi targetnya. Hal ini berimbas kepada pembubaran organisasi-organisasi Islam, penutupan puluhan masjid, dan memosisikan umat Islam seolah-olah ancaman laten Perancis.

Luka itu nyata. Pada rentang waktu 2020—2021, gelombang protes dari berbagai daerah bergulir di negeri ini. Berbagai aksi ditunjukkan, di antaranya membakar poster bergambar Macron hingga memboikot produk Perancis demi menunjukkan pembelaan terhadap Nabi saw..

Akan tetapi sekarang, pembuat luka itu disambut dengan senyum hangat. Rupanya, triliunan rupiah mampu membeli lupa akan tindakan seorang islamofobia. Luka umat Islam tidak lagi terlihat karena tertutupi tumpukan cuan yang mengalir deras.

Mematikan Nurani

Sistem kapitalisme yang diterapkan secara global dan juga dipeluk negeri ini menuntun pemikiran bahwa “yang bermakna adalah harta, bukan luka, bukan solidaritas.” Oleh karenanya, nilai triliunan rupiah menjadi alasan penyambutan yang meriah, bukan karena baik atau tidak perilaku seseorang.

Dalam paradigma kapitalisme, keuntungan dan materi sebagai pertimbangan dalam menentukan keputusan. Dalam sistem ini, moral, harga diri, nilai-nilai agama menjadi hal yang bisa ditawar selagi ada keuntungan. Untuk itu, investasi asing lebih berharga daripada kehormatan umat Islam dan kontrak kerja sama lebih berguna daripada solidaritas umat.

Di sisi lain, sekularisme menjadi landasan negara dalam merumuskan kebijakan pemerintah. Agama sekadar dirayakan dalam simbol-simbol formal, tetapi diabaikan saat keputusan strategis dibuat. Oleh karena itu, tidak heran jika pemimpin negeri ini menyambut hangat seorang islamofobia tanpa merasa bersalah terhadap umat Islam.

Selain itu, sistem hidup ini menjunjung tinggi kebebasan (liberalisme). Oleh karenanya, ketika seseorang berdiri di antara para pembela karikatur Nabi Muhammad saw., maka dianggap sebagai kebebasan berekspresi, bukan pelecehan terhadap agama. Gelombang kemarahan kaum muslim pun dipandang sebagai emosional, bukan pembelaan terhadap agamanya.

Ironisnya, negeri-negeri kaum muslim turut serta mengafirmasi perasaan tersebut. Hal ini dilakukan demi dianggap sebagai kelompok toleran dan tidak mau dianggap radikal ketika melawan. Hak asasi manusia dan demokrasi dijadikan tameng untuk melegalkan pelecehan terhadap agama.

Lebih jauh, kapitalisme menjadikan negeri ini sebagai mangsa pasar atau objek investasi empuk. Dengan adanya investasi, kaum kapitalis dapat mengintervensi kebijakan pemerintah. Sementara itu, sekularisme membuat Islam tidak bersuara dalam setiap kebijakan, sedangkan liberalisme menjadikan penghinaan terhadap agama legal atas nama kebebasan berekspresi.

Selama umat Islam berada dalam cengkeraman kapitalisme sekularisme liberalisme, penghinaan terhadap agama akan terus bermunculan. Diperparah dengan sambutan hangat para pemimpin negeri yang seolah tidak memahami bahwa tindakan tersebut melukai umat Islam.

Menjaga Umat

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali (penolong, pelindung, atau pemimpin) selain dari orang-orang mukmin. Apakah kamu hendak memberi Allah alasan yang nyata untuk menghukum mu?” (QS An-Nisa: 144).

Dalil di atas tegas melarang adanya kerja sama dengan kaum kafir. Kerja sama yang melibatkan kaum kafir tanpa mempertimbangkan sikapnya terhadap umat Islam haram dilakukan walaupun menguntungkan secara materi.

Islam menjaga martabat umat. Harta tidak menyilaukan mata karena ketundukan kepada Allah Swt. yang menjadi sandaran dalam bertingkah laku.

Dalam hal ini, meskipun membawa dana triliunan, semestinya kehadiran Macron tetap ditolak. Sebab, Perancis di bawah kekuasaannya dianggap menyerang Islam lewat pembelaannya terhadap pembuat karikatur. Apalagi Macron juga membuat kebijakan represif terhadap umat Islam serta melegalkan penghinaan kepada Nabi Muhammad saw. atas nama liberalisme.

Oleh karena itu, ketika pemimpin negeri menyambut penganut dan pendukung islamofobia, maka hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap umat Islam. Lebih jauh, ketundukan pemimpin negeri terhadap sistem kufur dan menjalankan politik luar negeri yang tidak sesuai dengan syariat adalah bentuk pelanggaran. Hal ini makin menjelaskan bahwa pemimpin negeri adalah boneka penjajah, bukan pemimpin yang mampu melindungi umat.

Selain itu, fenomena ini merupakan ketidakberdayaan umat Islam karena ketiadaan pemimpin. Pemimpin umat Islam (khalifah) akan tegas menolak dan mengusir penghina Nabi Muhammad saw., bukan malah menjamunya. Lebih dari itu, dalam menghadapi penghina Nabi, negara akan menyikapi dengan politik dan militer, bukan diplomasi murahan.

Khatimah

Demikianlah kondisi umat saat ini, tidak berdaya melawan musuh Islam. Sudah saatnya umat Islam berani mengambil langkah tegas untuk meninggalkan sistem hidup kufur yang melemahkan kekuatan. Kemudian kembali kepada sistem yang menerapkan aturan Islam secara sempurna agar umat ini utuh dan mempunyai kekuatan untuk melawan musuh, juga bisa beribadah kepada Allah Swt. dengan totalitas. Wallahu a’lam. [CM/Na]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *