Oleh: Ummu Hanan
(Analis Media)
“Pengelolaan kesehatan adalah bagian integral dari kehidupan Islam dan tidak boleh dijalankan dengan paradigma bisnis. Kesehatan adalah sektor publik dan tidak boleh dikapitalisasi atau diliberalisasi. Sistem kesehatan dalam Islam bebas dari bisnis dan industrialisasi.”
CemerlangMedia.Com — Indonesia akan “diserbu” dokter asing. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa tujuan mendatangkan dokter asing ke Indonesia bukanlah untuk bersaing dengan dokter lokal.
Dia mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka selama hampir 80 tahun, negara ini masih kekurangan tenaga spesialis, terutama dokter gigi. Selain itu, distribusi tenaga kesehatan juga tidak merata, dengan 65 persen puskesmas di Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK) kekurangan 9 jenis tenaga kesehatan.
Oleh karena itu, Budi menjelaskan bahwa pihaknya mendatangkan dokter dari luar negeri, seperti yang dilakukan dalam kerja sama antara RSUP Adam Malik dan Arab Saudi untuk melakukan operasi pada anak-anak di Medan yang menderita penyakit jantung bawaan. Dia juga menilai bahwa langkah ini dapat mempercepat transfer pengetahuan bedah toraks kardiovaskular kepada dokter lokal (antaranews.com, 3-7-2024).
Pemerintah memungkinkan perekrutan dokter asing untuk berpraktik di Indonesia melalui UU Kesehatan yang disahkan pada 2023. Berdasarkan Pasal 248 Ayat (1) UU Kesehatan, hanya tenaga medis spesialis, subspesialis, serta tenaga kesehatan dengan tingkat kompetensi tertentu dan telah melalui evaluasi kompetensi yang dapat praktik di Indonesia.
Evaluasi kompetensi ini dilakukan oleh Menteri Kesehatan bersama Menteri Pendidikan, serta melibatkan konsil dan kolegium. Evaluasi ini mencakup penilaian kelengkapan administratif dan kemampuan praktik, termasuk penyetaraan kompetensi dan uji kompetensi.
Pasal 251 mengatur bahwa dokter asing dapat berpraktik di Indonesia atas permintaan fasilitas pelayanan kesehatan untuk transfer teknologi dan pengetahuan, dengan jangka waktu maksimal dua tahun dan bisa diperpanjang satu kali untuk dua tahun lagi. Selain itu, WNA lulusan institusi dalam negeri dapat melakukan praktik sebagai tenaga medis dan tenaga kesehatan di negeri ini dengan syarat kepemilikan STR dan SIP. Mereka hanya dapat berpraktik atas permintaan fasilitas pelayanan kesehatan tertentu dengan batas waktu tertentu.
UU ini relevan dengan kondisi kekurangan dokter spesialis di Indonesia. Rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dari median Asia Tenggara yang 0,20 per 1.000 penduduk. Sementara rasio dokter umum di Indonesia adalah 0,62 per 1.000 penduduk, lebih rendah dari standar WHO yang 1,0 per 1.000 penduduk. Hal ini memperkuat alasan untuk merekrut dokter asing.
Indonesia Krisis Nakes
Di tengah upaya perekrutan dokter asing, kondisi tenaga kesehatan di Indonesia mengalami ironi. Pandemi telah menyebabkan banyak kematian di kalangan tenaga kesehatan sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan angka kematian tertinggi di Asia pada masa itu. Namun, hal ini tidak serta merta memperbaiki nasib mereka. Masalah di sekitar tenaga kesehatan masih berlanjut.
Bukti dari keadaan ini dapat dilihat dari hasil survei kesehatan jiwa para peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada 28 rumah sakit vertikal pendidikan bagi 12.121 PPDS per (Maret 2024). Survei yang dilakukan oleh Kemenkes ini menunjukkan banyak calon dokter spesialis mengalami problem kesehatan mental, yakni 22,4% mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Dari jumlah di atas, PPDS yang mengalami gejala depresi tersebut sedang menjalani program spesialis (Sp1) dan subspesialis (Sp2).
Rinciannya, ada 2.716 PPDS yang mengalami gejala depresi, 1.977 di antaranya mengalami depresi ringan, 486 depresi sedang, 178 depresi sedang-berat, dan 75 mengalami depresi berat. Pada saat itu, 3,3% PPDS merasa lebih baik untuk mengakhiri hidup atau ingin melukai dirinya sendiri, dengan 322 orang (2,7%) merasakan itu selama beberapa hari, sedangkan 52 orang (0,4%) merasakannya lebih dari separuh waktu, dan sebanyak 25 orang (0,2%) merasakan hampir setiap hari.
Selain itu, biaya pendidikan kedokteran yang tinggi menjadi masalah, terutama uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa S1 Fakultas Kedokteran. Bahkan, kedokteran adalah salah satu jurusan termahal di perguruan tinggi negeri di Indonesia dengan UKT dan uang pangkal yang sangat tinggi. Namun, dengan adanya persaingan dari dokter asing, ini seolah mengabaikan seluruh ironi dan masalah yang dihadapi oleh tenaga kesehatan dan calon dokter.
Sehat, kok Jadi Mahal dan Liberal?
Tidak bisa dimungkiri bahwa sektor kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme menjadi lahan profit. Hal ini telah diaruskan secara internasional sebagai konsekuensi keanggotaan Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota WTO, termasuk Indonesia, juga terikat oleh General Agreement on Trade in Services (GATS).
GATS, yang berlaku sejak Januari 1995, bertujuan memperluas liberalisasi di sektor jasa. Ada 12 sektor yang diatur dalam perjanjian tersebut, yaitu sektor bisnis, sektor keuangan, sektor konstruksi, sektor kesehatan, sektor pendidikan, sektor transportasi, sektor distribusi, sektor lingkungan, sektor pariwisata, sektor olahraga dan budaya, sektor jasa lainnya, dan sektor komunikasi.
Oleh karena itu, kehadiran dokter asing sebenarnya adalah bagian dari liberalisasi sektor kesehatan. Liberalisasi ini membuka lebar arus tenaga kerja dokter asing yang berdampak negatif pada dokter lokal.
Lebih parahnya, dengan paradigma bisnis yang diterapkan pada sektor kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan lainnya menjadi instrumen industrialisasi sektor ini. Kondisi ini merusak posisi tawar dan martabat tenaga kesehatan, termasuk dokter lokal.
Di saat yang sama, dokter lokal menghadapi berbagai tekanan dan beban, baik dari sisi biaya dan kurikulum pendidikan, maupun aspek psikologis dan tantangan setelah lulus. Terlebih ketika harus ditempatkan di daerah terpencil karena tidak mampu menempuh pendidikan spesialis akibat terkendala biaya. Tantangan ini mencakup faktor sosial dan keamanan di daerah pelosok, yang belum tentu dijamin oleh pemerintah.
Lebih dari itu, dokter lokal sering merasa terkooptasi bahwa untuk sukses secara ekonomi, mereka harus menjadi dokter spesialis atau birokrat/pejabat struktural di kementerian terkait. Dengan kebijakan perekrutan dokter asing, semua ini tampak sebagai langkah berkelanjutan dari liberalisasi di sektor kesehatan.
Layanan Kesehatan Idaman
Kita harus memahami bahwa kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang harus dikelola seperti fasilitas umum. Dalam pandangan syariat, fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan umum. Ketika kesehatan masyarakat tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan keguncangan, seperti yang terjadi saat ini, —meskipun berbagai upaya, seperti BPJS telah dilakukan.
Oleh sebab itu, pelayanan, baik fasilitas dan pembiayaan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah, bukan rakyat. Tidak seharusnya kita membiarkan pemerintah mengabaikan tanggung jawab ini. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Pengelolaan kesehatan dalam kapitalisme berbeda jauh dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pengelolaan kesehatan adalah bagian integral dari kehidupan Islam dan tidak boleh dijalankan dengan paradigma bisnis. Kesehatan adalah sektor publik dan tidak boleh dikapitalisasi atau diliberalisasi. Sistem kesehatan dalam Islam bebas dari bisnis dan industrialisasi.
Pemerintah dalam pandangan Islam berperan penting dalam menyediakan tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat, serta sistem pendidikan kedokteran yang memadai. Kebutuhan masyarakat akan jumlah dan kualitas tenaga kesehatan serta jaminan kesejahteraan, memastikan idealisme dan dedikasi mereka untuk mewujudkan tanggung jawab negara dengan visi mulia.
Pada masa keemasan Islam, banyak dokter hebat yang ilmunya masih bermanfaat hingga kini. Philip K. Hitti dalam History of the Arabs dan Arshad Islam dalam jurnal “Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study” mencatat banyak ilmuwan Islam yang berkontribusi pada kemajuan kedokteran dunia, seperti Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahwari.
Sistem pemerintahan Islam juga berhasil menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di masanya. Fasilitas kesehatan milik pemerintah dikelola dengan prinsip pelayanan penuh dan didanai oleh baitulmal. Khalifah Al-Walid I dari Kekhilafahan Bani Umayyah adalah penguasa pertama yang mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim, yang disebut bimaristan.
Imam Ath-Thabari mencatat dua peran utama Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan sarana fasilitas kesehatan. Ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra dan memulai pembangunan bimaristan di Damaskus yang menjadi cikal bakal sistem rumah sakit modern. Bimaristan menyediakan perawatan, dokter, dan obat-obatan, contoh bimaristan terkenal adalah Al-Bimaristan an-Nuri dan Al-Bimaristan al-Manshuri.
Selain penyediaan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan yang canggih, terjangkau, dan memadai. Islam juga membuka kesempatan besar bagi para pelajar untuk mengembangkan ilmu kedokteran yang gratis dan difasilitasi oleh negara. Oleh karena itu, opsi untuk mengimpor dokter dari luar adalah mustahil. Alhasil, tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan akan mandiri, tanpa perlu melibatkan kekuasaan asing dalam pelaksanaannya.
Semoga negeri ini mau dan mampu meneladani sistem Islam, sistem terbaik yang membawa rahmat bagi semesta alam. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]