Oleh: Devy Rikasari, S.Pd.
CemerlangMedia.Com — Ramadan adalah bulan yang dimuliakan oleh umat Islam. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan keistimewaannya dibanding bulan lainnya. Di antara keistimewaan Ramadan adalah dilipatgandakannya pahala.
Oleh karena itu, di bulan ini, kita saksikan umat Islam berlomba-lomba melakukan berbagai kebaikan, mulai dari ibadah fardiyah, seperti shaum, salat tarawih, tilawah Al-Qur’an, hingga mengenakan hijab bagi muslimah. Tidak sedikit pula yang mendulang pahala dari amal sedekah, berbagi makanan, infak kepada yatim dan duafa, wakaf Al-Qur’an, dan lain-lain. Atmosfer keimanan betul-betul dirasakan memenuhi kehidupan selama Ramadan.
Namun, kesucian Ramadan ternodai dengan kriminalitas yang jumlahnya bukannya menurun, malah meningkat. Dilansir dari radar.bogor.id, kejahatan di Kota Bogor mengalami peningkatan di bulan mulia ini. Bahkan, sudah terjadi tiga kasus curanmor yang berhasil diungkap oleh Polresta Kota Bogor. Salah satu korban mengaku, hasil pencurian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selama menjalani ibadah puasa.
Tidak hanya di Bogor, aksi pencurian juga marak terjadi di Cikarang. Akun instagram @info_cikarang_karawang memuat video ketika pelaku curanmor yang merupakan suami istri berhasil ditangkap warga saat melakukan aksinya di Cikarang Selatan. Tidak tanggung-tanggung, aksi ini dilakukan saat korban tengah melakukan salat Jumat.
Dampak Sistem Kapitalisme
Jika kita bentangkan fakta-fakta kejahatan di Ramadan tentu masih banyak lagi. Ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa Ramadan yang identik dengan bulan ketakwaan, tetapi masih marak terjadinya kejahatan? Apalagi pelakunya adalah muslim.
Setidaknya ada dua alasan mengapa hal ini dapat terjadi. Tuntutan kebutuhan yang makin meningkat selama Ramadan hingga jelang Lebaran tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan membuat sebagian orang menjadi gelap mata dan menghalalkan segala cara. Aksi nekat pelaku kejahatan di Ramadan juga dapat terjadi karena lemahnya iman. Para pelaku tidak lagi memedulikan dampak dari perbuatannya.
Inilah akibat diterapkannya sistem kehidupan kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, akibat dominasi para pemilik modal, kekayaan negeri ini banyak dikuasai oleh segelintir orang (para kapitalis). Adagium yang menyatakan “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” benar adanya.
Hidup bagaikan di hutan rimba, hanya yang mampu bersaing yang dapat bertahan. Sayangnya, persaingan ini menjadi tidak adil karena faktor-faktor produksi banyak dikuasai oleh kalangan atas. Akhirnya, rakyat kecil hanya bisa gigit jari.
Kasus korupsi yang viral belakangan ini menunjukkan hal itu. Jika bukan karena adanya lobi dengan penguasa, bagaimana mungkin seorang pengusaha biasa bisa mempunyai kehidupan mewah dan bergelimang harta? Ternyata korupsilah jawabannya, bahkan angkanya sangat fantastis mencapai 271 T. Seandainya nominal tersebut dibagikan kepada 271 juta jiwa penduduk Indonesia, maka setidaknya setiap kepala berhak mendapat 1 juta rupiah.
Bukan hanya itu saja, di tengah kehidupan yang makin mengimpit karena naiknya kebutuhan selama Ramadan hingga jelang Lebaran, ternyata tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan. Memang ada jatah THR, tetapi pajak yang tinggi dari THR cukup menyesakkan dada. Belum lagi tarif angkutan umum dan tol yang naik menjelang Lebaran.
Menghadapi hal itu, penguasa membiarkan rakyat berjibaku sendiri. Bak anak ayam yang tidak memiliki induk, padahal jelas-jelas, penguasa inilah induk yang seharusnya mengurusi urusan rakyatnya.
Jangan tanya soal keimanan jika perut sudah lapar. Seharusnya jika ada rakyat yang melakukan tindakan kejahatan, yang pertama kali ditanya adalah, apakah tetangganya ada yang peduli? Selanjutnya, apakah negara sudah memerankan fungsinya sebagai pelayan rakyat? Yang terjadi justru sebaliknya.
Banyak masyarakat yang abai terhadap penderitaan orang lain karena sudah terpengaruh oleh paham individualisme. Negara pun tidak hadir ketika rakyat berteriak kelaparan. Memang, ada juga yang melakukan kejahatan karena tuntutan gaya hidup, yang seperti ini layak mendapat hukuman tegas.
Dalam sistem kapitalisme, banyak orang berlomba-lomba menjadi penguasa, bahkan menggelontorkan uang yang tidak sedikit demi bisa menjabat. Pertanyaannya, jika tidak ada privilege sebagai pejabat negara dan tunjangan serta gajinya tidak sebesar saat ini, masihkah mereka mau mencalonkan diri?
Inilah karakter sistem buatan manusia, sistem yang lahir dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Sistem ini banyak borok di sana-sini. Jika pun tampak ada kebaikannya, tidak jarang, kebaikan tersebut sarat dengan kepentingan sekelompok orang.
Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan
Hal ini berbeda dengan sistem Islam, sistem buatan Sang Pencipta. Aturan Islam bersifat syamilan (sempurna) wa kamilan (menyeluruh). Terbukti dalam sejarah, peradaban Islam menorehkan tinta emasnya dalam berbagai bidang, baik pendidikan, jaminan kesejahteraan, pelayanan kesehatan, jaminan keamanan, dan lain-lain.
Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Mereka diangkat untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat. Alih-alih memperkaya diri dan aji mumpung agar bisa berkuasa hingga tujuh turunan, justru banyak orang beriman yang enggan menjadi penguasa karena mengetahui betapa beratnya amanah ini. Besarnya ancaman Allah bagi penguasa yang tidak amanah membuat banyak sahabat Rasulullah di masa lalu menolak mentah-mentah tawaran untuk berkuasa.
Untuk menjamin kehidupan yang aman dan tenteram, minim kejahatan, Islam menuntut peranan tiga pilar.
Pertama, individu yang bertakwa. Modal takwa inilah yang dapat mencegah siapa pun melakukan tindakan kejahatan karena dalam Islam, setiap tindakan kejahatan adalah kemaksiatan dan setiap kemaksiatan akan menyebabkan dosa bagi pelakunya. Dengan landasan keimanan dan ketakwaanlah seorang muslim akan merasa takut dengan azab Allah di akhirat. Meski seberat apa pun beban hidup yang mengimpit, tidak akan membuatnya terjatuh dalam kubangan kemaksiatan.
Kedua, kontrol sosial yang berfungsi di tengah masyarakat. Kontrol sosial ini ibarat alarm pertama sebelum kejahatan dilakukan. Masyarakat muslim bukanlah masyarakat yang abai dan bersifat individualis, melainkan peka terhadap setiap perilaku maksiat dan aktif melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Banyak kejadian pencurian yang terjadi di Ramadan, ternyata para tetangganya abai karena sudah terjangkiti virus individualisme. Hal ini tidak akan terjadi jika sistem Islam tegak.
Ketiga, peran negara sebagai raa’in benar-benar berfungsi dengan baik. Bukan hanya menjadi pengawas atas berjalannya aturan, melainkan juga menerapkan Islam mulai dari akar hingga daun.
Kehidupan yang aman dan tenteram salah satunya akan tercapai jika masyarakat terjamin kesejahterannya. Salah satu komponen jaminan kesejahteraan adalah baiknya pengelolaan kekayaan alam.
Oleh karena itu, sistem Islam tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus satu paket diterapkan, sistem ekonominya, sistem pendidikannya, sistem pertahanan keamanannya, sistem pemerintahannya, politik dalam dan luar negerinya, semuanya harus berlandaskan kepada Islam saja.
Selanjutnya, jika semua bidang sudah menggunakan aturan Islam, tetapi masih ada pribadi yang melakukan kejahatan, Islam akan menindaknya dengan sanksi yang tegas. Bagi pelaku pencurian, ada hukuman potong tangan jika barang curian telah mencapai nishab (1/4 dinar). Sanksi ini bukan hanya akan memberi efek jera bagi pelaku, tetapi juga menjadi jaminan penebusan dosa di akhirat kelak.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita sebagai muslim turut memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang akan mengantarkan kehidupan kita menjadi lebih baik di masa depan, insyaaallah.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]