Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com dan Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Kasus kekerasan antar pelajar seakan tiada habisnya. Terus terjadi, berulang tanpa henti, dan tanpa solusi pasti. Hal ini kian membuktikan betapa suramnya dunia pendidikan tanah air, juga gagalnya negara dalam menjamin keamanan serta kenyamanan pada ranah pendidikan saat ini. Para orang tua makin dibuat ketar-ketir terkait keamanan buah hatinya saat berada di lingkungan sekolah. Kondisi ini sungguh membuat miris dan menimbulkan kekhawatiran yang luar biasa untuk para orang tua tentunya.
Seperti yang baru- baru ini terjadi, beredar dua video terkait kekerasan di halaman sekolah SMP Cimanggu Cilacap yang dilakukan oleh pelaku yang sama, yaitu ketua dari sebuah geng yang mengatasnamakan geng basis (barisan siswa). Tampak dalam video tersebut FF (14) dianiaya berulangkali hingga tersungkur, beberapa temannya yang berusaha melerai justru malah mendapatkan ancaman dari pelaku. Setelah diusut polisi, terungkaplah motif dari kekerasan tersebut yang hanya masalah sepele. Diduga hanya karena korban mengaku-ngaku sebagai anggota geng tersebut sehingga membuat sang ketua marah lantas menghajar korban tanpa ampun (detik.com, 1-1-2023).
Pemicu Perilaku Kekerasan
Biasanya ada beberapa faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi terjadinya perilaku kekerasan antar pelajar. Pasalnya, di usia remaja, pada umumnya sedang terjadi krisis identitas karena mereka sedang dalam pencarian jati diri. Biasanya di usia tersebut juga mengalami perubahan hormon yang cukup pesat dan para remaja tersebut cenderung tidak dapat mengontrol dua hal itu yang akhirnya rentan terjadi gangguan atau ketidakstabilan emosi sehingga mereka akan lebih agresif, tidak terkontrol hingga akhirnya melakukan tindak kekerasan.
Adapun faktor internal lainnya adalah terkait kontrol dari para remaja yang sangat lemah. Mayoritas mereka belum bisa berpikir panjang dan matang, tidak dapat membedakan antara perilaku baik dan buruk yang bisa dan tidak bisa diterima di tengah-tengah masyarakat. Mereka cenderung bertindak berdasarkan nafsu dan emosi sesaat. Padahal jelas-jelas hal tersebut akan merugikan, tidak hanya dirinya, tetapi juga lingkungan sekitar.
Sementara itu, faktor eksternal penyebab munculnya perilaku kekerasan di kalangan pelajar di antaranya akibat lingkungan keluarga yang tidak kondusif, kondisi keluarga broken home, serta kurangnya perhatian orang tua ataupun orang dewasa dalam mengayomi para remaja tersebut. Padahal mereka sangat rentan melakukan kekerasan yang tujuannya agar mendapatkan perhatian yang menurut mereka selama ini dirasa tak ada. Atau bisa juga dipengaruhi dari lingkungan sosial, misal teman-teman yang banyak melakukan kenakalan remaja, maka biasanya secara otomatis akan terpengaruh. Tak hanya itu saja, bahkan kekerasan biasanya juga terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang norma agama dan norma sosial.
Sejauh ini, upaya yang dilakukan pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi kasus kekerasan di kalangan pelajar adalah melalui penerbitan Permendikbud nomor 82 tahun 2015, yaitu tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Permendikbud tersebut bertujuan membangun proses belajar mengajar yang aman dan membebaskan warga sekolah dari aksi kekerasan. Aturan tersebut turut serta mengatur sanksi bagi siswa yang melakukan tindak kekerasan. Bahkan kepala sekolah dan satuan pendidikan juga akan terancam sanksi jika diketahui di tempat mereka bertugas masih ada kasus kekerasan. Permendikbud ini juga mewajibkan pihak sekolah memasang papan layanan pengaduan aksi kekerasan. Keberadaan papan layanan tersebut harus mudah diakses oleh siswa, orang tua siswa, tenaga kependidikan, dan masyarakat umum.
Dan baru-baru ini, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim bahkan secara resmi meluncurkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Permendikbudristek) nomor 46 tahun 2023 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan (PKSP) sebagai merdeka belajar episode ke 25. Peraturan tersebut sekaligus menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang PKSP. Peraturan yang baru ini menurut Nadiem juga sangat tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan tindak kekerasan baik dalam bentuk surat edaran, nota dinas, surat keputusan, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain (ditpsd.kemendikbud.go.id, 8-8-2023).
Namun, Wakil Sekretaris Jenderal PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir justru mengatakan bahwa Permendikbudristek yang baru diluncurkan tentang KSKP tersebut tidak akan mempan untuk mencegah kasus-kasus kekerasan yang belakangan terus-menerus terjadi di lingkungan sekolah, jika tidak ada edukasi terhadap para warga sekolah (mediaindonesia.com, 10-8-2023).
Maka dalam hal ini jelaslah bahwa pemerintah seharusnya lebih menekankan aspek pendidikan agama dan karakter bagi warga sekolah juga melakukan pembinaan terhadap para guru dan kepala sekolah dengan harapan mereka dapat menjadi garda terdepan dalam menangani kasus kekerasan antar pelajar yang makin meningkat. Seharusnya agama (Islam) dibiarkan mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk ruang lingkup dunia pendidikan. Sebab, hakikatnya syariat agama akan mampu mengontrol tindak-tanduk manusia selama di dunia.
Islam Memandang
Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan, sebaliknya justru kedamaian yang selalu Islam tebar dan ajarkan. Maka jelas di dalam Islam, tindakan kekerasan atau anarkis hukumnya adalah haram juga terlarang. Sebab, hal tersebut akan menghadirkan berbagai macam fitnah dan huru-hara di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini tentu saja tidak akan menciptakan kedamaian, keharmonisan, dan kerukunan apabila tindakan anarkis merajalela dan terus terjadi di mana-mana.
Bahkan untuk tujuan apa pun, kepada siapa pun, atas nama apa pun, sekalipun untuk kepentingan agama Allah, cara-cara kekerasan tidak dibenarkan dan harus dihindari. Sebagaimana ditegaskan di dalam surah Al-Baqarah ayat 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
Secara prinsip, agama Islam mengharamkan segala bentuk tindakan mencederai, menyakiti, melukai diri sendiri, atau orang lain, baik secara nyata ataupun verbal terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi utama dari kenabian Muhammad saw. merupakan rahmat bagi seluruh alam. Secara otomatis kekerasan sekecil apa pun sangat bertentangan secara diametral dengan misi kerahmatan yang di emban Nabi. “Dan tidaklah kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk (menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107).
Para pelaku kekerasan di dalam Islam dapat dikenakan hukuman ta’zir sebagai bagian dari ‘uqubat (hukuman) yang terdapat dalam hukum pidana Islam atau sebuah balasan terhadap sesuatu jarimah (kesalahan) seperti maksiat yang sudah dilakukan oleh seseorang. ‘Uqubat dalam hukum pidana Islam ada beberapa bentuk, yakni jarimah hudud, jarimah ta’zir, dan jarimah diyat atau qisas. Ta’zir sendiri adalah sebuah hukuman yang sudah ditentukan untuk jarimah ta’zir. Bentuknya bermacam-macam sesuai bentuk kejahatannya, tetapi penentuannya diserahkan kepada pihak berwenang atau pemerintah, yaitu sebuah lembaga legislatif atau hakim (waliyul amri atau khalifah). Wallahu a’lam. [CM/NA]