Kenaikan Harga Pangan, Tradisi Jelang Ramadan?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Managing Editor CemerlangMedia.Com

Penimbunan bahan pangan tidak akan ditemukan ketika negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Penerapan syariat Islam secara kafah oleh negara merupakan fondasi awal yang melahirkan kesejahteraan. Sistem Islam tidak hanya mewujudkan ketahanan pangan, tetapi juga melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

CemerlangMedia.Com — Ramadan tinggal hitungan hari. Bulan yang dinanti-nanti umat Islam pun akan segera datang menghampiri. Sayangnya, kegembiraan menyambut bulan mulia ini dicederai oleh perasaan resah karena naiknya harga sejumlah bahan pokok.

Kenaikan harga bahan pokok terjadi di sejumlah daerah di tanah air. Oleh karena itu, pemerintah akan melakukan operasi pasar murah dengan melibatkan berbagai pihak terkait guna menjaga kestabilan harga. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman pada Senin (antaranews.com, 17-2-2025).

Problem Sistemik

Sudah menjadi rahasia umum, setiap menjelang Ramadan dan Idulfitri, harga sejumlah bahan pokok melonjak naik. Seolah sebuah tradisi, kenaikan harga terus berulang dan setiap tahun terjadi.

Opini bahwa terjadinya kenaikan harga disebabkan tingginya permintaan terus berkembang di masyarakat. Masyarakat pun dipaksa menerima bahwa kenaikan harga menjelang Ramadan dan Idulfitri merupakan hal yang wajar terjadi.

Sejatinya, fenomena kenaikan harga yang terus berulang bisa diprediksi. Para pemangku kebijakan bisa pula belajar dari tahun-tahun sebelumnya sehingga kenaikan harga bisa diantisipasi. Jika problem naiknya harga karena tingginya permintaan, tentunya negara akan berupaya memenuhi kuota tersebut sebelum Ramadan tiba sehingga stok terjaga dan harga tetap stabil.

Sayangnya, selama ini belum ada tindakan khusus yang dilakukan negara melalui para pejabatnya. Negara hanya memastikan stok nasional terjaga di gudang-gudang pangan tanpa melihat distribusinya sudah berjalan dengan baik atau belum. Alhasil, meskipun stok terjaga, lonjakan harga-harga tetap saja terjadi dan rakyat sulit untuk mengaksesnya.

Bukan hanya itu, setiap kali kekurangan stok, pemerintah pun lebih mengutamakan impor ketimbang memberdayakan sumber daya lokal untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Pemerintah seolah menyukai cara cepat dan instan tanpa memikirkan solusi jangka panjang. Oleh karenanya, selama distribusi pangan tidak dibenahi, maka selama itu pula lonjakan harga akan terus terjadi.

Monopoli Dagang

Adanya problem pada distribusi pangan disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah adanya praktik penimbunan, monopoli/oligopoli, kartel. Pada 2023 lalu, Kepala Bulog Budi Waseso dalam sidaknya menemukan dugaan mencampurkan beras Bulog dengan merek lain di Gudang Food Station. Alhasil, beras Bulog yang seharusnya dijual maksimal Rp8.900 malah melonjak hingga Rp12 ribu per kilogram.

Bukan hanya beras, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga menemukan indikasi penimbunan MinyaKita. Kondisi ini menyebabkan pasokan MinyaKita yang merupakan program subsidi dari pemerintah berkurang dan harganya melonjak naik saat sampai ke tangan rakyat.

Tidak hanya itu, dugaan adanya mafia pangan menjadi batu sandungan bagi perekonomian. Pada 2024, ekonom senior dari Universitas Paramadina Wijayanto Sarmin pernah mengungkapkan, mafia impor pangan sulit diberantas karena menghasilkan dana rent seeking puluhan triliun. Dana ini pula yang digunakan untuk membeli pengaruh dalam dunia perpolitikan. Menurutnya, tanpa back up yang kuat dari tokoh-tokoh berpengaruh, tentu mafia tersebut bisa diberantas dengan mudah (tirto.id, 7-11-2024).

Meskipun pemerintah telah menetapkan sanksi pidana bagi para pelaku penimbunan sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 18/2012 tentang Pangan Pasal 53, tetapi para pelaku tidak pernah jera. Kasus yang sama terus berulang. Bahkan, tidak hanya menjelang Ramadan dan Idulfitri, tetapi juga momen lainnya saat konsumsi masyarakat meningkat.

Demikianlah, para pemilik modal (pengusaha) mampu mengendalikan dan mengatur harga pangan dengan leluasa. Mereka pun makin leluasa karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah meminggirkan peran penguasa sebagai raain. Praktik kongkalikong antara pejabat dan pengusaha demi keuntungan pribadi dan kelompoknya adalah sesuatu yang lumrah terjadi.

Kapitalisme juga telah melahirkan oknum penguasa yang tidak bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Alih-alih memikirkan rakyat, mereka justru membuat aturan yang makin menjauhkan rakyat dari kata sejahtera. Dalih untuk kesejahteraan rakyat hanya pemanis guna menutupi rusaknya sistem kapitalisme.

Derasnya arus impor telah mengakibatkan sejumlah perusahaan lokal gulung tikar karena tidak mampu bersaing. Alhasil, PHK pun marak, pengangguran meningkat. Oleh karenanya, wajar saja jika daya beli masyarakat rendah.

Distribusi yang Adil

Islam memandang, penguasa adalah pengurus rakyat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, “Sesungguhnya imam (penguasa) adalah raain (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Pangan dan pendistribusiannya hingga sampai ke tangan rakyat merupakan tanggung jawab negara. Negara juga akan meningkatkan produksi lokal untuk memenuhi kebutuhan rakyat sehingga tidak bergantung kepada impor.

Negara akan mewujudkan ketahanan pangan dengan memberdayakan para petani, peternak, dan industri lokal untuk berproduksi sesuai dengan kebutuhan rakyat. Negara juga menyiapkan cadangan pangan untuk waktu-waktu tertentu (paceklik) atau momen khusus (Ramadan dan Idulfitri).

Melaui dana di baitumal, negara bisa memberikan bantuan guna mendukung peningkatan produksi pangan, seperti menyediakan bibit unggul, pupuk, pestisida, pengairan, dan lain sebagainya. Semua itu bisa diberikan secara gratis tanpa imbalan apa pun.

Tidak hanya itu, negara sangat mendukung industri dalam negeri. Kalau pun harus impor, negara tidak menjadikan hal tersebut sesuatu yang utama sehingga bisa mengakibatkan ketergantungan pada impor. Sebab, hal tersebut bisa mengancam ketahanan pangan dan juga negara.

Khatimah

Penimbunan bahan pangan tidak akan ditemukan ketika negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Penerapan syariat Islam secara kafah oleh negara merupakan fondasi awal yang melahirkan kesejahteraan. Sistem Islam tidak hanya mewujudkan ketahanan pangan, tetapi juga melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Dari Said bin al-Musayyab, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR Imam Muslim).

Wallahu a’lam [CM/N]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *