Kepercayaan Kian Merosot, DPR dan Parpol Patut Disorot

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Pahriati
(Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan)

CemerlangMedia.Com — Wakil rakyat idealnya akan mendapat dukungan dari rakyat karena mereka dianggap sebagai representasi dari rakyat. Namun, saat ini faktanya justru berkebalikan. Makin hari tampaknya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang menjadi wadah aspirasi rakyat justru makin menurun.

Kepercayaan Publik yang Kian Merosot

Beberapa waktu lalu, Indikator Politik Indonesia melakukan survei terkait kepercayaan publik terhadap sembilan lembaga negara. Survei ini tepatnya dilakukan pada 20—24 Juni 2023 dengan wawancara tatap muka terhadap 1.220 orang. Toleransi kesalahan atau margin of error sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasilnya menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menempati urutan kedua terendah diikuti partai politik (parpol) di posisi terakhir.

Masyarakat yang cukup percaya pada DPR mencapai 61,4 persen, yang sangat percaya 7,1 persen dan kurang percaya 26,6 persen. Adapun terhadap partai politik hanya 6,6 persen yang sangat percaya, sedangkan yang cukup percaya 58,7 persen, dan kurang percaya 29,5 persen (Kompas.com, 02-07-2023).

Mengapa lembaga yang notabene menjadi wakil rakyat nyatanya tak dipercaya rakyat? Bagi yang memperhatikan kondisi kekinian, hal itu tak mengherankan. Terlalu banyak masalah yang menyelimuti, hingga kedua lembaga tersebut telah mengalami disfungsi.

Banyak kebijakan yang ditetapkan lembaga DPR justru tak berpihak pada rakyat. Misal penetapan UU Omnibus Law Cipta Kerja, tetap disahkan meski mendapatkan banyak penolakan. Begitu pula dengan UU Kesehatan yang menimbulkan polemik akhir-akhir ini. Sebelumnya ada UU IKN, UU BPJS, dan sederet UU lainnya yang nampak tak ramah rakyat.

Selain itu, banyak anggota DPR baik tingkat pusat ataupun daerah yang tersandung kasus korupsi. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, mencapai angka milyaran. Akibatnya banyak program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terhambat karena dananya ditilap oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Hal lainnya yang mengoyak rasa kemanusiaan di tengah kehidupan masyarakat yang serba sulit, yakni anggota DPR justru mendapatkan gaji dan tunjangan dengan nilai fantastis. Viral beberapa waktu lalu, dalam sebuah talkshow seorang anggota DPR yang juga seorang artis blak-blakan menyebutkan angka-angka yang menakjubkan. Di saat banyak rakyat yang kelaparan dan tak punya tempat untuk bernaung, mereka justru hidup bergelimang kemewahan. Lebih parahnya, tanpa empati mereka memamerkan kekayaan yang dimiliki. Mungkin di antara mereka masih ada orang-orang baik yang tulus berjuang untuk rakyat atau bersifat dermawan dan gemar berbagi. Namun, semua itu tidaklah mampu menutupi kebobrokan di lembaga tersebut.

Setali tiga uang, kondisi partai politik juga penuh dengan permasalahan. Partai politik semestinya menjadi alat bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi justru saat ini tidak lebih hanya sebagai kendaraan pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Dengan kekuasaan yang didapat, para elite partai membangun dinasti politik yang pada akhirnya makin menguatkan kekuasaan oligarki.

Pejabat yang terpilih dari partai politik kebanyakan tidak independen dalam membuat kebijakan. Hal ini terjadi karena mereka dianggap sebagai “petugas partai” yang berarti harus tunduk pada “sang juragan”. Jika demikian, kepentingan rakyat hanyalah nomor ke sekian untuk dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan.

Di sisi lain, landasan seseorang bergabung atau direkrut ke dalam sebuah partai kebanyakan bukan karena memperhatikan apa yang diperjuangkan, melainkan keuntungan apa yang bisa didapatkan. Begitu pula ketika partai politik melakukan koalisi, kebanyakan bukan memperhatikan kesamaan visi misi, tetapi melihat peluang untung rugi. Maka tak heran kita dapati, di satu daerah dua partai berkoalisi, di daerah lain mereka berkompetisi memperebutkan kursi.

Mendudukkan Kembali Fungsi Wakil Rakyat dan Partai Politik

Politik di alam demokrasi memang tak bisa diharapkan membawa kebaikan. Sistem ini hanya akan melahirkan manusia yang egois, mementingkan keuntungan pribadi dan golongan. Pejabat yang terpilih bukan orang yang amanah lagi mumpuni. Mereka terpilih hanya karena adanya popularitas atau kekuatan dana politik yang dimiliki.

Hal tersebut berkebalikan dengan politik dalam sistem Islam. Politik dalam Islam adalah riayah su’unil ‘ummah, yakni pembahasan bagaimana mengatur pelayanan terhadap masyarakat. Demikian pula dengan fungsi wakil rakyat dan partai politik dalam Islam, sangat berbeda dengan sistem demokrasi.

Dalam demokrasi, wakil rakyat yang diwadahi oleh lembaga DPR memiliki wewenang utama membuat dan mengesahkan perundangan. UU itu sendiri adalah hasil “musyawarah” yang katanya mewakili suara rakyat. Kenyataannya, suara rakyat hanya tameng, suara pemilik modal-lah yang lebih diutamakan.

Lebih dari itu, demokrasi tidak menjadikan agama sebagai landasan. Akhirnya, sangat mungkin dibuat aturan yang bertentangan dengan syariat. Misal riba yang jelas-jelas diharamkan, dalam demokrasi malah dibenarkan. Contoh lain terkait miras (khamar) yang juga diharamkan, tetapi dalam demokrasi tidak dilarang secara mutlak, hanya diatur penggunaan dan penjualannya. Begitu pula dengan sederet kebijakan lain yang justru bertentangan dengan syariat. Ini tentu kesalahan fatal.

Berbeda dalam Islam, wakil rakyat yang disebut sebagai majelis umat merupakan perwakilan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Jika aspirasi yang disampaikan terkait kemaslahatan mereka, maka pemimpin yang diberikan amanah kekuasaan wajib untuk memenuhinya. Selain itu, majelis umat juga bisa melakukan muhasabah atau koreksi atas kebijakan yang dilakukan penguasa jika terjadi pelanggaran atau kezaliman.

Lantas di dalam Islam, selain berperan mengedukasi masyarakat tentang politik dari sudut pandang Islam, partai politik juga berfungsi sebagai lembaga yang mengontrol pelaksanaan hukum berdasarkan Islam. Jika terjadi penyelewengan, maka mereka harus melakukan koreksi atas kebijakan tersebut. Semua itu dilaksanakan atas dasar ketaatan kepada Allah. Dalam QS Ali Imran: 104 Allah berfirman yang artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

Pejabat atau wakil rakyat yang amanah tentu akan dipercaya oleh rakyat. Hal ini sangat sulit bahkan mustahil dihasilkan dalam sistem demokrasi kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tolok ukur perbuatan. Tak ada harapan kecuali dengan kembali kepada aturan Islam. Aturan yang akan melahirkan pribadi yang bertakwa, yang sangat berhati-hati mengemban amanah. Aturan yang akan membangun keharmonisan di antara pejabat dengan rakyat, pejabat yang mencintai dan dicintai oleh rakyat. Mari berjuang untuk mewujudkannya. [] [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *