Ketika SK Marak Digadaikan Wakil Rakyat

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Ummu Rifazi, M.Si.

Materi bukanlah sesuatu hal yang diburu para pejabat dalam negara Islam karena negara menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, termasuk para pejabat negara dengan memberi gaji yang layak dan sesuai dengan manfaat pekerjaaanya. Negara juga memberi tunjangan yang cukup bagi para pejabat pemegang amanah penguasa sehingga tidak akan ditemukan pejabat yang kekurangan dalam hal ekonominya.

CemerlangMedia.Com — Awal September 2024, masyarakat kembali dibuat terkesiap dengan maraknya pemberitaan puluhan anggota DPRD di sejumlah wilayah tanah air yang menggadaikan SK seusai pelantikannya sebagai agunan pengajuan pinjaman ke bank. Salah satu bank yang menjadi tujuan pengajuan pinjaman tersebut mengatakan bahwa nominal yang diajukan berkisar antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Alasan peminjaman uang tersebut bervariasi, mulai dari untuk membayar utang kampanye, membeli rumah, merenovasi rumah, hingga untuk kepentingan keluarga.

Ketua Sementara DPRD Malang mengungkapkan bahwa penggadaian SK ke bank adalah fenomena yang wajar. Dia hanya mengimbau anggotanya untuk melakukan pinjaman yang sifatnya produktif, seperti untuk perbaikan rumah dan pembelian tanah kavling. Namun, dia sangat tidak mendukung pengajuan pinjaman untuk pembelanjaan yang bersifat konsumtif, seperti membeli mobil (detik.com, 07-09-2024).

Mahalnya Biaya Demokrasi Melahirkan Sikap Materialistis

Penggadaian SK sebagai agunan pinjaman uang merupakan kelaziman dalam sistem demokrasi. Pasalnya, biaya yang harus dikeluarkan para calon anggota dewan untuk bisa terpilih sebagai wakil rakyat memang tidaklah sedikit. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pun mengakui bahwa sistem demokrasi makin mahal dari waktu ke waktu (news.detik.com, 03-07-2024).

Jika sistem demokrasi dinilai makin mahal, sejatinya hal itu merupakan keniscayaan. Pendidikan berbasis sekuler yang diajarkan sistem ini telah melahirkan manusia-manusia yang menuhankan materi. Motivasi pencalonan diri mereka sebagai wakil rakyat bukan lagi sebagai penyampai aspirasi rakyat, melainkan ambisi pribadi untuk meraup kekayaan sebanyak-banyaknya.

Fakta membuktikan bahwa para wakil rakyat ini diangkat bukan berdasarkan kapabilitas kepemimpinannya, tetapi karena besarnya modal yang dimiliki. Tanpa modal besar, seseorang tidak akan mampu mencalonkan diri menjadi pejabat. Konsekuensinya, anggota dewan terpilih akan berusaha mengembalikan modal yang dikeluarkan selama pencalonan dirinya.

Selain faktor tersebut di atas, sistem ekonomi kapitalisme memang ‘mendidik mental’ para penganutnya untuk menjadikan utang sebagai salah satu sumber pendapatannya. Oleh karenanya, negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme akan membukakan peluang, bahkan memudahkan jalan bagi siapa pun untuk mendapatkan utangan, mulai dengan cara menggadaikan barang hingga SK.

Tidak peduli apakah pinjaman tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau untuk memenuhi ‘gaya hidupnya’. Lembaga pinjaman online pun makin bertebaran untuk memfasilitasi pemuasan hasrat berutang ini.

Hasrat pemuasan terhadap materi akan selalu terjadi dalam sistem kapitalisme karena sistem ini pun lahir dari pemikiran manusia yang memiliki tabiat dasar serakah. Dari Ka’ab bin Mâlik radhiyallahu anhu, Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda,

“Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.” (HR At-Tirmidzi no. 2376).

Oleh karenanya, jika dari sistem sekarang ini kita mengharapkan lahirnya para wakil rakyat yang amanah dan tanpa pamrih dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan umat, maka ibarat pepatah “jauh panggang dari api”. Ketika para wakil rakyat saat pencalonannya ‘berlomba’ untuk mendapatkan predikat sebagai sosok yang dianggap peduli rakyat, hidup sederhana dan relijius, maka semua itu tak lebih dari sekadar pencitraan.

Kemuliaan Syariat Islam Melahirkan Insan Amanah dan Tanpa Pamrih

Sistem Islam tidak mengenal istilah perwakilan rakyat. Dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah, yang ada adalah majelis umat. Majelis umat ini beranggotakan individu yang mewakili kaum muslimin. Keberadaan mereka dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi khalifah.

Majelis umat juga mewakili masyarakat dalam mengawasi dan mengoreksi (muhasabah) para pejabat pemerintahan (al-hukam). Orang-orang non muslim pun diperkenankan menjadi anggota majelis umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa maupun penyelisihan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Keberadaan majelis umat ditetapkan syarak berdasarkan keteladanan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam beserta para sahabatnya. Beliau merupakan pemimpin yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Para sahabat ini adalah ahlul ra’yi (para pemikir) yang memiliki kecemerlangan dalam berpikir.

Para sahabat ini berjumlah tujuh orang dari Anshar dan tujuh orang lainnya dari Muhajirin, yaitu Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, ‘Ali, Hasan, Husein, Ibnu Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad, dan Bilal. Mereka menyampaikan pendapat dan penjelasan berdasarkan kekuatan iman serta ketakwaan semata-mata untuk menegakkan dinullah karena paham bahwa yang mereka lakukan kelak akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah.

Para sahabat adalah pribadi yang sederhana. Kisah kesederhanaannya sudah sering kita dengar. Amirul Mukiminin Umar bin Khaththab semasa hidupnya hanya memiliki dua baju sederhana yang dipakainya secara bergantian. Beliau radhiyallahu anhu, bahkan tidak mau memakan makanan enak pada saat rakyatnya sedang kelaparan.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu pun sosok yang bijaksana, sederhana, dan adil dalam bertindak. Pada hari raya, makanan yang tersedia di rumahnya hanya makananan masyarakat pada umumnya, berupa hidangan daging rebus bercampur tepung (al-khazirah).

Kesederhanaan mereka lahir dari sistem pendidikan Islam yang berdasarkan pada Al-Quranul Karim dan as-Sunah. Mereka semata-mata menjalankan amanahnya sebagai pengurus umat dan sangat memahami bahwa mereka adalah teladan bagi umat, termasuk teladan dalam kesederhanaan hidup.

Materi bukanlah sesuatu hal yang diburu para pejabat dalam negara Islam karena negara menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, termasuk para pejabat negara dengan memberi gaji yang layak dan sesuai dengan manfaat pekerjaaanya. Negara juga memberi tunjangan yang cukup bagi para pejabat pemegang amanah penguasa sehingga tidak akan ditemukan pejabat yang kekurangan dalam hal ekonominya.

Maasyaallah, begitu mulia kehidupan umat dalam naungan negara Islam. Tidakkah kita merindukan kemuliaan hidup ini? Allahumma akrimna bil Islam. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : [email protected]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *